Melestarikan Masa Lalu Dataran Tinggi Dieng di Tengah Pandemi

 

Masih hangat dalam ingatan setelah membaca catatan seorang travel bloger tentang Dieng Culture Festival (DCF). “Wow, keren banget!!!” itulah kalimat yang saya lontarkan selesai membaca cerita perhelatan yang menjadi magnet wisatawan di dataran tinggi Dieng tersebut. DCF adalah acara tahunan khas dataran tinggi Dieng dengan menampilkan seni dan budaya termasuk pemotongan rambut gimbal anak Dieng.



 

Sejak saat itu saya menargetkan berburu open trip untuk mendapatkan tiket dan mengikuti rangkaian DCF. Apalagi DCF termasuk Top 100 National Calender of Events 2020 Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI. Saya harus ke Dieng !!! Saya ingin melihat pertunjukan Ruwatan Rambut Gimbal di kompleks Candi Arjuna.

 

Namun, pandemi Covid-19 menunda mimpi itu. Hingga akhirnya ada informasi bahwa para pejalan harus berpuas menikmati gelaran ruwatan dari layar.

 

Wisata Budaya di Kompleks Candi Arjuna

Sore itu suami saya -Adit- memberi kejutan ulang tahun dengan mengajak ke Dieng melalui sebuah tour travel. Berdasarkan informasi yang kami dapat, kawasan wisata dataran tinggi Dieng mulai dibuka untuk umum sejak 1 Agustus 2020 dengan menerapkan protokol kesehatan.

 

Menurut pemikiran saya, untuk saat ini –pada era kenormalan baru- rasanya berwisata outdoor masih lebih aman, karena bisa menghindari kerumunan orang. Kami juga dalam kondisi sehat.

 

Setelah menikmati sunrise di Gardu Pandang Tieng, kendaraan kami melaju ke kompleks Percandian Arjuna pada (26/9/2020). Candi Arjuna adalah bagian dari kompleks Candi Arjuna. Mungkin kompleks candi Arjuna tak sepopuler candi Borobudur atau Prambanan. Namun, sejarah mencatat percandian Dieng diduga merupakan candi tertua di Jawa.

 

Selain itu, kompleks Candi Arjuna adalah lokasi sentral perhelatan DCF setiap tahunnya. Disanalah pelaksanaan Ruwatan Rambut Gimbal dipertontonkan. Sehingga pesonanya sudah menggetarkan banyak wisatawan domestik dan mancanegara.

 

Sebelum masuk kompleks candi, ada protokol kesehatan yang harus dipatuhi. Pengunjung dibatasi dan wajib bermasker. Di depan gerbang harus cuci tangan juga di cek suhu menggunakan pistol termometer. Kami hanya diberi waktu 1 jam. Akses masuk dan keluar juga dibedakan dengan batas tali.



Suasana pagi itu sungguh menyegarkan mata, kompleks percandian Arjuna sangat bersih dikelilingi berbukitan menghijau. Saya amati satu persatu, candinya terlihat terawat dengan baik.

 

Seorang tour guide dengan megaphone menuturkan bahwa dulu candi dibangun untuk mengagungkan Dewa Siwa. Setelah penemuan candi, oleh masyarakat setempat diberi nama tokoh-tokoh kisah Mahabarata, seperti Arjuna, Semar, Srikandi, Puntadewa, dan Sembrada. Sekarang candi yang berdiri berjajar ini tidak lagi digunakan sebagai tempat pemujaan, melainkan untuk sembahyang bagi masyarakat Hindu. Cerita itu menjadi jembatan penghubung bagi kita mengenai muasal candi Dieng.



Saya lihat tagar candi Arjuna di Instagram selama ini adalah wisatawan bisa berfoto secara dekat bahkan naik undakan candi. Namun ketika saya baru menjejak kaki disana, ternyata setiap candi dilindungi oleh pagar kayu bertali. Sehingga ada jarak antara pengunjung dan setiap candi.

 

Saya pun tak bisa sekedar menyentuh batu yang dulu dibentuk menjadi tempat pemujaan tersebut. Ada plang bertuliskan “dilarang menyentuh atau menaiki candi.”



Menurut saya, jika sudah ada larangan seperti itu maka kita jangan melanggar atau melakukan hal yang berpotensi merusaknya. Memegangnya saja tak boleh, apalagi membuat coretan, apalagi mencuri candi. Berilah apresiasi untuk warisan leluhur ini.

 

Jika candi yang menjadi peninggalan nenek moyang rusak, kita tak tahu bentuk asli candi. Efeknya tak ada lagi narasi sejarah yang bisa dijejaki. Karena sejarah percandian Dieng pada masanya dulu juga masih misteri. Hingga saat ini belum ditemukan informasi tertulis tentang sejarah Candi Dieng. Selain itu perusakan membuat candi yang menjadi cagar budaya nasional ini kehilangan keindahannya.

 

Maka sebagai wisatawan, secara bijak saya patuhi peraturan yang ada di lokasi kompleks candi Arjuna. Dengan tidak melewati pembatas yang disediakan, tidak menerobos bahkan menaiki undakan. Bangunan ini adalah kekayaan warisan budaya untuk generasi akan datang.




 



Berjalan mengelilingi setiap candi membuat saya semakin takjub. “Dulu, bagaimana leluhur menyusun candi di dataran tinggi?” hati saya bergumam.

 

Tak cukup mengagumi peninggalan peradaban kuno Hindu disini. Karena Ruwatan Rambut Gimbal yang menjadi puncak Dieng Culture Festival tak lagi digelar di kompleks percandian Arjuna, maka butuh cara agar para wisatawan tetap mau mengunjungi candi-candi yang berdiri megah ini.

 

Kita bisa turut ambil bagian dalam usaha pelestarian cagar budaya kebanggaan Dieng, baik secara langsung maupun tidak langsung.

 

Harus ada pewartaan untuk mengajak para pelancong berkunjung pada era new normal. Misalnya memamerkan foto Instagram dengan latar candi diiringi caption menarik. Tujuannya bukan agar mereka mencari spot foto untuk like instagram belaka. Ada banyak hal menarik disana seperti mempelajari struktur candi atau sejarah proses penemuannya. Karena kehadiran wisatawan ke kompleks percandian Dieng adalah salah satu upaya untuk melestarikan cagar budaya di bumi Dieng.


 

Setelah berpuas mengamati dan mengambil gambar di candi, saya dan Adit melanjutkan perjalanan ke beberapa wisata alam dan kembali pulang ke Surabaya. Perjalanan sehari menjelajah wisata alam dan candi Dieng membuat hati ini tertambat rindu.

 

Wisata Budaya dari Rumah

Sungguh selama bertandang ke negeri kayangan kami tak pernah dibuat kecewa oleh keindahan Dieng. Dataran tinggi Dieng juga menyuguhkan fenomena menakjubkan dari candinya yang megah. Sesampainya di Surabaya Senin (27/9/2020) dini hari, saya tidak langsung istirahat. Magnet Dieng sungguh menarik saya untuk menuntaskan penasaran akan wisata budayanya yang tak bisa saya lihat secara langsung.

 

Saya buka laptop dan mencari video Dieng Culture Festival virtual 2020 di kanal youtube Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Saya khusyuk menyimak bagaimana rangkaian DCF terutama gelaran Ruwatan Anak Gimbal yang tahun kemarin dilakukan di Kompleks Candi Arjuna.

 

Sejak tahun 2016 Ruwatan Rambut Gimbal menjadi salah satu dari 1.086 Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, yang tergolong adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan-perayaan.

 

Inilah uniknya dataran tinggi Dieng, yakni adanya anak-anak berambut gimbal, rambut yang menyatu satu sama lain. Mereka bukanlah anak yang tidak pernah keramas. Namun, muncul dengan sendiri pada sebagian anak Dieng.

 

Masyarakat Dieng percaya bahwa anak-anak yang terlahir berambut gimbal karena ia anak titipan Tumenggung Kolodete. Kolodete dipercaya sebagai penguasa atau penjaga yang memberikan pengayoman di dataran tinggi Dieng. Kolodete juga dipercaya sebagai nenek moyang Dieng.

 

Masyarakat Dieng ada yang mengganggap rambut gimbal adalah sebuah berkah dan ada pula yang menganggap sebagai sukerta (masalah). Rambut gimbal tidak boleh dicukur sembarangan. Pencukuran rambut gimbal hanya dapat dilakukan jika si anak gimbal sudah meminta ‘sebuah permintaan’.

 

Setelah ruwatan pencukuran, selesai sudah kegimbalan mereka. Masyarakat percaya setelah anaknya yang berambut gimbal diruwat, maka akan membawa keselamatan pada anak. Cerita ini menjadi jembatan informasi bagi kita tentang sejarah ruwatan anak gimbal.

 

Ternyata ada hikmah dibalik pandemi Covid-19, saya bisa melihat DCF gratis lewat ketukan layar. Untuk mengkondisikan suasana seperti di Dieng, saya nyalakan AC di kamar dengan suhu 16 derajat celcius. Biar terasa dingin seperti menyaksikan secara langsung di atas permukaan laut. Kali ini saya fokus pada puncak DCF yakni ruwatan. Ruwatan Rambut Gimbal virtual diselenggarakan pada (17/9/2020) di depan Rumah Budaya Dieng.

 

Dengung shalawat mengalun merdu nan syahdu. Pukulan alat musik rebana/banjari menggaung indah. Tak ada wisatawan yang melihat langsung. Semua pengiring musik tampak bermasker. Bahkan anak gimbal pun juga memakai masker dan face shield.

 

Tahun ini ada tiga anak gimbal yang akan dicukur rambutnya. Mereka diarak bersama rombongan menuju Rumah Budaya dengan hantaran ‘permintaan’ yang sudah disiapkan. Sebelum dicukur mereka melakukan jamasan yakni pensucian rambut oleh ketua adat.


proses Jamasan yang saya lihat dari youtube

Setelah jamasan, anak gimbal dipanggil bergantian untuk dicukur rambut gimbalnya dibarengi lantunan doa-doa. Kemudian hasil potongan rambut dimasukkan ke dalam kendi. Setelah selesai, mereka kembali duduk membawa permintaannya. Nantinya potongan rambut gimbal mereka akan dilarung atau dihanyutkan di Telaga Balekambang.

 

Melalui pertunjukan Ruwatan Rambut Gimbal saya terkesima akan tradisi ini. Menyadari bahwa Indonesia sungguh kaya keberagaman budaya dan kepercayaan yang tetap kokoh terpelihara di tengah modernisasi era globalisasi. Ritual ini unik dan sakral. Sebuah kearifan lokal untuk memohon keselamatan pada Sang Pencipta. Sehingga perlu dilestarikan agar menjadi tradisi yang tak lekang.


pencukuran rambut anak gimbal Dieng 

Pandemi Covid-19 bukan masalah untuk tetap melestarikan tradisi. Sekarang berbeda kondisinya. Justru di tengah pandemi, pagelaran tradisi membuka jalan baru. Cara menyajikannya pun menuntut adaptasi kebiasaan baru yaitu pemanggungan secara virtual.

 

Menurut saya ada manfaat ketika gelaran tradisi dilangsungkan secara virtual, publik mudah menyaksikan prosesnya secara detail. Pelaksanaannya juga khidmat tanpa keramaian pengunjung.

 

Sebagai generasi muda, saya mungkin terlambat mengenal potret Warisan Budaya Tak Benda di bumi Dieng ini. Padahal warisan budaya adalah hal penting karena ia memberi kita identitas yang menghubungkan masa lalu, sekarang dan masa depan.

 

Namun kita semua dapat berkontribusi untuk melestarikannya, dengan beberapa cara. Misalnya memahami cerita sejarahnya sebagai bagian dari keanekaragaman budaya bangsa. Setelah itu kita kenalkan pada khalayak luas. Dengan membagikan foto di media sosial, tulisan blog atau vlog diiringi narasi yang menggambarkan uniknya kekayaan budaya Dieng berupa Ruwatan Rambut Gimbal. Karena pencatatan dan dokumentasi digital tak akan hilang dan terus bercerita pada generasi mendatang.

 

Saat ini, kita ajak mereka wisata budaya virtual dari rumah. Kala pandemi bisa dikendalikan dan sudah boleh mengumpulkan massa, kita kembali menyeru teman dan keluarga untuk menyaksikan Ruwatan Rambut Gimbal secara langsung. Agar mereka tahu bahwa Dieng kaya akan warisan budaya.

 

Hanya di negeri kayangan akan kita temukan candi di dataran tinggi. Hanya di tempat bersemayam para dewa kita temukan anak gimbal istimewa yang membawa keselamatan tanah Dieng.

 

Mari kita lestarikan bersama !!!




 

Referensi

https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/public/objek/detailcb/PO2016051300004/percandian-dieng

https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?penetapan

https://www.kemenparekraf.go.id/event/dieng-culture-festival

https://www.youtube.com/watch?v=yoPey2vhGv4

Febriyanto, Alfian, Selly Riawanti, Budhi Gunawan.2017.Mitos Rambut Gimbal : Identitas Budaya dan Komodifikasi di Dataran Tinggi Dieng.Bandung:Departemen Antropologi FISIP Universitas Padjajaran

42 komentar

  1. Sepakat, Mbak, semua warisan budaya bangsa di Dieng harus kita lestarikan dan dijaga dari kepunahan. Semua itu supaya anak cucu kita juga bisa menikmati keindahan Dieng ya ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya nih, biar besok anak cucu kita bisa melihat karya moyangnya yang agung :)

      Hapus
  2. Banyak kebudayaan di Indonesia , memliki keunikan termasuk di Dieng. Tempat wisata yang dikunjungi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dieng bisa dikunjungi secara langsung dengan protokol kesehatan atau menikmati gelaran Dieng Culture Festival secara virtual mba :)

      Hapus
  3. Wah, aku terlewat menyaksikan gelaran Ruwatan Rambut Gimbal padahal ini diselenggarakan secara virtual. Ini betul-betul baru untukku. Benar sekali bahwa Indonesia begitu kaya. Kita punya tanggungjawab yang sama besarnya untuk tetap membuat Dataran Tinggi Dieng dan cagar alam di dalamnya tetap ada. Salah satunya, tentu dengan membuat tulisan dan foto yang menarik sebagai bahan informasi bagi setiap orang di luar sana, yang belum sempat berkunjung ke tempat ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. masih bisa ditonton kok mba, cek aja Ruwatan Rambut Gimbal virtual di yutub Pemprov Jawa Tengah, tipsnya setel AC biar kerasa kayak dinginnya Dieng hehe :)

      Hapus
    2. Wah, asyik. Hahaha, tips-nya kudu gitu ya? Tapi di Bogor udah dingin, nih. Ini aja rasanya pengen kaos kakian. Udah masuk musim hujan soale. Makasih infonya yaaa ...

      Hapus
  4. Memang dieng selalu istimewa. Saya pernah ke dieng sudah lamaa sekali. Tempat tempatnya itu lho
    Seger dan istimewa cantiknya

    Ternyata di saat pandemi ini bisa juga ya kita berwisata dengan nyaman di sana.
    Bagus bagus mbak foto candinya
    Jadi pengen ke dieng lagii

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya nih, Dieng gak pernah ingkar janji tentang keindahan dan kenyamanan :)

      Hapus
  5. jadi tetap dilaksanakan tapu dengan protokol kesehatan ya mba. Dieng memang selalu mengundang kaku menjejak ke sana

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih mba, sejak 1 Agustus udah dibuka untuk wisatawan umum :)

      Hapus
  6. Aku dua kali ke sini gak ada bosennya mbak, Niatnya lebaran kemarin mau ke DIeng tapi jadi batal dulu sementara. AKu pingin lihat Dieng Culturenya itu loh, udah kebayang dinginnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bisa wisata virtual dulu nih mba, hehe. buat ngeliat Dieng Culture Festivalnya

      Hapus
  7. Kalo denger kata Dieng, Auto inget manisan Carica wkqkqkq

    Ternyataaa kultural di Dieng menarik banget ya. ntar deh mau k sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya carica emang khas Dieng ya mba. Amin, semoga bisa jalan-jalan ke Dieng ya mba

      Hapus
  8. Dieng tempat wisatanya banyak. kalau kesana puas main seharian. Emang betul menjaga kelestarian cagar budaya kaya candi Arjuna penting bgt. jangan sampe kita wistawan merusaknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya nih, kalo candi-candi Dieng rusak kita bahkan gak bisa bikinnya lagi meski teknologi udah maju :(

      Hapus
  9. Ya Allah... saya nyesel ga mampir ke Dieng, Agustus lalu. Padahal lewat jalannya dan masih bisa ditolerir waktunya.
    Betapa saya ingin ke candi ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wisata virtual dulu aja mba, nonton Dieng Culture Festival di yutube hehe

      Hapus
  10. Saya pernah datang pas festival tahunan ini. Kecewa berat karena masyarakat tidak peduli akan kebersihan lingkungan. Sampah berserakan dimana-mana. Duuhh sayang banget. Semoga kedepannya tidak terulang lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. emang kita kudu taat sama aturan yang ada ya mba di setiap tempat wisata, termasuk jangan buang sampah sembarangan.

      Hapus
  11. Dieng emang kece ya..salah salah satu tempat favorit...dan dan kangen banget berkunjung ke Dieng

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dieng emang selalu mengesankan, dari keindahan hingga budayanya :)

      Hapus
  12. fotonya kerennnnn

    Saya juga pernah ke Dieng tapi fotonya ngga sekeren ini

    Dan lupa, bahwa disana ada budaya mencukur rambut anak gimbal

    Gimbalnya kurang jelas ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mbak, masih pagi jadi sepi bisa foto maksimal hehe. Kalo nonton yutubenya bisa detail mba, gimana gimbalnya. Yuk ikutan wisata virtual Ruwatan Rambut Gimbal hehe.

      Hapus
  13. Baca artikel mba jadi penasaran Dieng kayak apa, suasananya itu lho asri sejuk menghanyutkan sementara liburan virtual dulu lewat yutub mudah2an juga bisa ke sana, aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagus banget mba, cocok untuk menenangkan jiwa raga hehe.. :)

      Hapus
  14. Rata-rata candi selalu berlokasi di dataran tinggi mba. Kayaknya orang Hindu memang punya kebiasaan bersembahyang di tempat khusus yang identik dengan ketinggian dan suasana sepi.

    Mempelajari sejarah melalui candi di Dieng bikin kita sadar bahwa keberagaman sudah ada sejak jaman dahulu. Dengan begitu masing-masing tidak saling merasa paling baik dan benar. Kita ada sekarang juga karena nenek moyang kita yang tadinya memiliki tradisi berbeda dari yang kita lakukan sekarang.

    BalasHapus
  15. Indonesia kaya akan wisata budaya dan cagar alam, sudah sepatutnya kita bangga menjadi bagian dari bumi kita tercinta. Melestarikannya adalah tugas kita agar warisan leluhur tetap bisa dinikmati sepanjang masa....di saat pandemi agenda ke Dieng tertunda, semoga pandemi segera berakhir

    BalasHapus
  16. jadi pas tahun 2015 itu aku diajak ke Dieng dan penasaran dengan cerita rambut gimbal, tapi aku ngga jadi ikut karena sakit padahal udah sampe di Malang, malah tinggal di hotel aja deh.

    BalasHapus
  17. Pernah sekali ke Dieng bareng sama keluarga. Waktu itu masih SMA kayanya. Sejuk banget memang. Jadi kangen ke Dieng lagi deh kalau baca postingan ini.

    BalasHapus
  18. Pertama tahu tentang tradisi di Dieng soal anak gimbal ini dari majalah Bobo. Sampai sekarang ternyata tradisinya masih dilestarikan. Memang lebih marem melihat langsung ya. Tapi karena kondisi, jalani virtual juga bisa jadi jalan menambah informasi

    BalasHapus
  19. Pernah ke Dieng sekali, tp dulu bangettt dan sayangnya gak pernah ktm anak rambut gimbal. Ini skrg sdh virtual ya, coba cusa ah ke youtubenya

    BalasHapus
  20. Saya baca tulisan Mbak Septi jadi penasaran ingin lihat langsung prosesi Ruwatan Rambut Gimbal di Dieng, semoga bisa segera main ke sana.

    BalasHapus
  21. Waaa jadi kepo sama acara ruwatan rambut gimbal di dieng deh, mau coba cari di Youtube aaaah hehehe

    BalasHapus
  22. Salah satu mimpiku bisa lihat langsung DCF. Sayangnya dulu pas ada eventnya dan pas aku pulang, aku masih punya bayi kecil jadi khawatir mau ke Dieng. Harga tiketnya juga lumayan mahal sih ��

    BalasHapus
  23. wah sudah dibuka ya mbak wisata dieng. Aku pengen kesana kalau pandemi sudah selesai. Cuma di Indonesia ya ada candi di dataran tinggi.

    BalasHapus
  24. Dieng itu destinasi favoritku di seluruh Indonesia. Secara aku ga terlalu kuat panas, jadi udh pasti tempat2 dingin seperti Dieng bakal aku favoritin mba.

    Pas trakhir kesana aku datang pas bukan festival rambut gimbal ini. Jd ga prnh melihat secara lgs. Menarik yaaa... Tapi memang Dieng penuh dgn cerita legenda.

    Aku slalu penasaran Ama cerita yg suatu kotanya "kejatuhan puncak gunung" yang membuat seluruh penduduknya tewas, ato cerita yg ttg kawah beracun sileri. Guide dulu yg bercerita ke aku.

    Pengen banget nanti bisa DTG lagi ke Dieng mba. Ga akan bosen kalo ksana :)

    BalasHapus
  25. Aku pikir yang dicukur rambut gimbalnya ini hanya untuk anak laki, ternyata anak perempuan pun yaa..
    Aku salut dengan tradisi yang masih diadakan hingga saat ini.

    BalasHapus
  26. Eh kakaknya Luigi abis jalan-jalan nih :D
    Btw bajunya bagus say, beli di mana? kupengen juga *malah fokus ke baju, plak! wkwkwkwkw.

    Diriku belom pernah ke Dieng say, kayak Bromo ya?
    Penasaran juga ama yang berambut gimbal gitu, maksudnya, kalau dikeramasin dan disisir apa tetep gimbal? atau memang nggak pernah disisir?

    Btw selama pandemi ini memang udah bikin kangen jalan-jalan dong, tapi saya masih parno, semoga segera berakhir pandeminya, kurindu halan-halan :D

    BalasHapus
  27. Mbak Septi, aku sampe mau nangis bacanya. Kangen banget sama langit Dieng. Aku ga dari sana sih, tapi temenku banyak disana. Jadi kalau pulkam,.aku sering riyungan disana.

    Makasih ceritanya. Sedikit jadi obat rindu

    BalasHapus
  28. ah foto di candi arjuna bagus yaa.. apalagi hari cerah begitu ^^ kangen deh aku pengen liburan. pengen ajak anak2 juga liat cagar budaya seperti ini. semoga pandemi cepat berlalu ya dan kita bisa traveling lagiii

    BalasHapus