“Nilai dari seseorang itu ditentukan dari keberaniannya memikul tanggung
jawab, mencintai hiudp dan pekerjaannya.” Kahlil Gibran
Saat aku masih kecil sangat aktif,
suka lari kesana kemari. Ketika melihat karet gelang, segera aku kaitkan satu
dan lainnya lalu main lompat tali. Suatu siang, gerakan kakiku tak seimbang dan
aku terjungkal. Sambil menangis aku lapor pada Ibuku. Beliau menyeka butiran
air di pelupuk mata dan mengatakan aku jatuh karena ada kodok lewat.
Mungkin tak asing bagi kita perlakuan
seperti yang Ibuku lakukan. Orang
tua jaman dulu ketika melihat anaknya jatuh, segera memukul lantainya dan
mengatakan “lantainya nakal ya”. Atau saat anak kepentok meja, kita bilang mejanya nakal.
Ketika aku menjadi
Ibu, barulah tahu bahwa hal ini adalah salah satu kesalahan pengasuhan anak. Kesannya menghibur, namun menurut Bu Okina Fitriani, founder Enlightening Parenting kalimat seperti
ini akan mengajarkan anak-anak untuk mencari kambing hitam. Akhirnya anak tidak
bertanggung jawab atas peristiwa yang terjadi pada dirinya.
(Baca juga : Pengasuhan ala Enlightening Parenting)
Apakah orangtua kita salah?
Melahirkan kakakku tahun 1986, Ibuku
masih berusia belasan tahun. Tidak seperti sekarang yang sedang gencar ilmu pengasuhan
anak. Saat itu mungkin belum ada ilmu parenting. Bapak dan Ibu dulu belum tahu jika ada hal-hal yang dilakukan mereka bisa berakibat buruk pada
anak.
Bukan
berarti mereka salah. Bisa jadi nenek dan kakek kita
mengajarkannya juga seperti itu. Mungkin ahli parenting di masa lampau masih
belajar mengintisarikan dari
Al Qur’an, seperti apa menjadi orangtua yang baik.
Jadi, jika orangtua
dulu ada sikap keliru, kita
maafkan saja. Yah wajarlah karena keterbatasan pengetahuan di masa lalu. Kita tutup, kita
putus mata rantainya dengan belajar.
(Baca juga : Merajut Cinta dengan Orangtua dan Mertua)
(Baca juga : Merajut Cinta dengan Orangtua dan Mertua)
Anak dibekali potensi baik
Ketika lahir, manusia dibekali
potensi yang baik (fitrah) oleh Tuhan. Potensi baik itu salah satunya adalah
tanggung jawab. Ketika anak-anak masih kecil dan menumpahkan air di lantai, mereka
pasti jujur bercerita dan segera membersihkannya.
Jadi, bukan karena ajaran kita
sebenarnya, namun ibarat gawai sikap tanggung jawab itu sudah diinstal olehNya.
Namun terkadang orangtua datang dengan membawa amarah yang menyebabkan anak
berpikir untuk apa bertanggung jawab jika tak dihargai.
Dampaknya anak memilih berbohong
agar selamat dan menyalahkan keadaan agar aman. Misalnya dengan mengatakan “salah
sendiri Mama naruh gelasnya terlalu minggir, ya jatuh deh”, daripada kena
marah. Jika ini diteruskan hingga dewasa, maka ia mudah menyepelehkan amanah dan
rasionalisasi. Tugas belum selesai menyalahkan bos karena bikin tenggat terlalu
mepet. Telat ke kantor nyalahkan Bu Risma kenapa Surabaya masih macet, dan
lainnya.
Anak adalah tamu istimewa
Padahal anak adalah tamu istimewa
yang kita undang atas ijin Allah. Kelak akan dimintai pertanggung jawaban. Termasuk
bagaimana ikhtiar orangtua ketika dititipi seorang tamu. Sebenarnya tidak ada anak
nakal, berbohong, bahkan lalai. Yang ada potensi baiknya rusak karena pengasuhan
yang keliru. Maka, kita perlu menjaga potensi baik dari Allah agar tetap pada jalurnya.
Termasuk potensi baik bertanggung jawab.
Sebab rusaknya fitrah tanggung jawab anak dan solusinya
Meski anak dilahirkan dengan membawa
potensi baik, namun potensi butuh jam terbang agar menjadi kompetensi. Maka tugas
orangtua yang utama adalah menjadi teladan. Anak adalah mesin fotocopy tercanggih
di dunia. Mereka secara natural menjadi follower sejati orangtua. Maka penting
bagi orangtua untuk memberi teladan sikap tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya Ibu setelah masak segera cuci
piring, setelah jemuran kering langsung dilipat. Termasuk selesai nulis lalu
naruh buku dan laptop ke tempatnya semula. Aku sendiri tidak akan menyuruh anakku
-Luigi- membereskan mainannya, jika kerjaan dapur yang notabene “mainan”
ku di matanya juga tidak beres. Lalu berasalan, “Mama khan sudah capek seharian
ngurusin kamu” lalu diam-diam skroling Instagram.
Yang ada si kecil juga tidak segera membersihkan mainan dan ikut beralasan “aku khan juga capek Ma, seharian belajar, kenapa bukan Mama aja yang beresin”. Trus kalau sudah begini mau jawab apa kita, Hiks. Kids jaman now udah makin jago logika loh.
Yang ada si kecil juga tidak segera membersihkan mainan dan ikut beralasan “aku khan juga capek Ma, seharian belajar, kenapa bukan Mama aja yang beresin”. Trus kalau sudah begini mau jawab apa kita, Hiks. Kids jaman now udah makin jago logika loh.
Selain itu ada hal lain yang menyebabkan anak tidak mengambil tanggung
jawab. Yakni ketika suami dan istri berbantah-bantahan. Misalnya ketika istri dikritik
suami, istri marah-marah. Suami cuma nanya di rumah biasanya ada cemilan, Mama auto
jawab dengan nada tinggi “khan aku capek, bisa pesen gofood khan?”. Suami ikutan
emosi, lalu saling menyalahkan.
Orang tua
yang berbantah-bantah depan anak sangat berbahaya dan bisa menghancurkan fitrah
tanggung jawab jawab anak. Lho apa hubungannya? Karena anak belajar : jika dikritisi harus
bisa ngeles (cari alasan). Jaman aku masih kecil seingatku jarang membantah ortu, karena Ibuku juga tidak memperlihatkan membantah Bapakku *takut dikutuk jadi batu kayak malin kundang, hiks -.-. Membantah yang dimaksud ini bukan hanya dalam bentuk lisan, tapi juga komunikasi
non verbal seperti mulutnya tertarik satu ke atas.
Bagaimana
jika kita diingatkan pasangan, agar tidak menghancurkan fitrah tanggung jawab
anak? Bilang aja “Makasih ya sayang sudah diingatkan, aku lakukan sekarang” atau “iya sayang aku akan memperbaiki”. Beres
khan? Jadi gak perlu ngotot apalagi sambil melotot. Bukankah niatnya pasangan
pasti untuk tujuan baik?
Jika pasangan mengkritik hingga labeling (memberi karakter tertentu) yang negatif, caranya mudah saja. Tinggal cacah informasi dan katakan "masak sih sayang aku seperti itu 24 jam nonstop, seminggu 7 hari gitu terus?". Kalimat seperti ini menaikkan logika dan menurunkan emosi.
Boleh nggak
sih, tidak setuju sama pendapat pasangan? Ya boleh banget, tapi ada 2 cara. Pertama
tidak menyampaikan di depan anak. Kedua melakukan dengan bahasa yang santun. Jadi jika kelak anak sudah dewasa, dan mereka tidak setuju dengan pendapat kita sebagai orangtua,
namun tetap santun penyampaiannya, ya lakukan seperti itu juga kepada pasangan.
Karena sekali lagi, mereka akan melihat contoh dari
orangtuanya.
(Baca juga : Rebranding Pasangan dengan Detektif Kebaikan)
Yuk teman-teman, kita jaga fitrah
baik anak salah satunya fitrah tanggung jawab. Kelak anak-anak harus bertanggung jawab kepada diri sendiri, kelak menjadi suami yang harus bertanggung jawab memimpin keluarga, sebagai istri menjaga nama baik keluarga, atau bertanggung jawab pada jalan karir.
Kita jauhkan dari generasi yang
sulit mengakui kesalahan. Mereka adalah calon pembangun masyarakat yang
beradab. Maka ajarkan adab tanggung jawab sejak dini. Dengan menjadi teladan
dan tidak berbantah-bantahan dengan pasangan.
Referensi :
Okina Fitriani dkk, The Secret of Enlightening Parenting,
(Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta), 2017, hlm 23-24
Aku sendiri belajar untuk minta maaf kepada anakku dan bilang aku salah. Lalu anakku pelan-pelan menirunya. Kalau dia merasa bersalah, dia minta maaf duluan.
BalasHapusKadang-kadang sh*t happens, bukan dia juga yang salah. Tapi menyadari bahwa tidak ada gunanya melempar-lempar kesalahan, mungkin akan membuat masa depan anakku lebih baik daripada aku.
Tulisan yg sangat dalam. Tapi saya akui susah sekali melakukan semua itu. Apalagi pasangan punya karakter dan sifat beda. Selama ini saya hanya bisa diam. Mungkin karena itu anak jadi pemalu, ya?
BalasHapusSaya tidak pernah melihat ibu dan ayah saya bersenda gurau, bantah2an bahkan bertengkar. Saya tau berantem bantah2 an dan marah2 dari pergaulan hehe
BalasHapusDezig! Kesikut nih aku. Salah satu contoh burukku sebagai orangtua adalah membiarkan laptop, buku,pulpen, earphone, microphone, speaker, tongsis, berserakan di atas meja, saat mau pergi tidur. Alasanku sih simpel, kan tengah malam bangun dan mau kerja lagi. Padahal jangan-jangan ini yang bikin anakku membiarkan buku dan mainannya berserak di lantai, hahaha ...
BalasHapusMakasih sharingnya yaa mbak. Saya belajar banyak dari tulisan ini. Saya orangtua yang tentu saja masih ada saja kurangnya dan perlu terus belajar untuk dapat mengasuh anak-anak dengan cara yang tepat.
BalasHapusKarena itu saya setuju dengan Elly Risman tentang adversity quotient, anak jangan terlalu dilindungi, "belajar " jatuh agar bisa bangun lagi
BalasHapusSuka banget saya baca ini, Mbak. Berasa diingatkan, makasih banyak Mbak. Memang bener banget anak itu mencontoh orang tuanya. Kita enggak bisa menyalahkan orang tua atas cara mereka mendidik anak, mungkin karena keterbatasan ilmu saat itu. Seneng deh baca tulisan Mbak Septi
BalasHapusAhahhah....pas banget. Bebeerapa hari ini aku lagi serius mikir tentang tanggung jawab ini.
BalasHapusBtw, hasil pengasuhan yang "anak jatuh trus meja dibilang nakal" udah terlihat ya pada banyak orang berusia dewasa sekarang.
Benet banget ya kadang Kita keliru Cara didik anak..ngikutinyg dulu2 untungnya sekarang bnyk ilmu parenting Dan mbuat Kita ngerti setiapa anak Punya potensi diri dengn karakter yg berbeda
BalasHapusMasya Allah, senang sekali bisa mampir ke tulisan ini.
BalasHapusSalah satu alasan saya agak was was jika orangtua saya meminta ijin untuk membawa anak saya menginap lama sebenarnya adalah hal ini. Tanpa sadar, mungkin akibat ajaran di masa lampau, sedihnya orang tua saya masih begini.
berasa dicubit banget deh ini Mbak, makasih ya Mbak.
BalasHapusmasih sering nih silang pendapat juga ama PakSu, udah diusahakan gak saling bantah depan anak tapi masih sering keceplosan juga *upsss.
Membesarkan anak adalah mata pelajaran seumur hidup bagi orang tua. Dan menjadi contoh tauladan untuk anak adalah kewajiban yang tak akan terputus sampai kapanpun. 2 hal ini saya catat saat mendengarkan kutbah nikah saya 22 tahun yang lalu. MashaAllah sungguh sangat berarti bagi saya dan suami
BalasHapusDulu boleh deh begitu ya mbak,memaafkan saja jika pola asuh salah. Namun,sekarang ini sudah lebih modern dan banyak ilmu parenting yang bisa didapatkan lebih mudah maka harusnya sudah harus lebih tepat pola pengasuhan ke anak.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus
BalasHapusKeren nih ilmu parentingnya. Jadi ortu pun memang harus rajin instrospeksi diri, supaya bisa menjadi teladan bagi anak & memberi pengasuhan yang tepat.