Disuatu
siang (6/9) mba Fira tetiba menghubungi saya dan menawarkan membantu acara MOM_EP (19/10), saya sungguh
terkejut. Karena sebenernya saya pengen ikut, hanya duduk, dengerin dan mengupdate ilmu juga merevisi hal2 yang sudah saya pelajari dan lakukan. Takutnya kalo panitia jadi ketinggalan materi
*emang kamu bantuin masak konsumsi peserta?
*pikiran lagi ambyar haha
*maaf mba Fir :D
Akhirnya selftalk berkata “kapan lagi meningkat dan bermanfaat kalo gak ikutan bantu”.
*emang kamu bantuin masak konsumsi peserta?
*pikiran lagi ambyar haha
*maaf mba Fir :D
Akhirnya selftalk berkata “kapan lagi meningkat dan bermanfaat kalo gak ikutan bantu”.
Tibalah Hari H
saya harus perkenalan diri. Saya bukan team
sharing, hanya diminta membantu saja, jadi saya sedikit sungkan jika maju padahal saya ya sama
seperti peserta yang duduk. Namun, bismillah, saya akhirnya “sedikit” percaya
diri karena memang teknik EP banyak membantu “masalah” saya, komunikasi dengan
suami (sebelumnya saya drama queen,
eaa ;p), dalam menangani Luigi, dan khususnya bagaimana menghadapi Bapak dan
Ibuk. Dalam konteks materi hari itu, saya juga akhirnya pernah ajakin mertua
jalan2 meski hanya di mall Cito dengan Luigi dan suami. Remeh ya, tapi itu juga
berproses.
Peserta dan pemateri Merajut Cinta dengan Orang Tua dan Mertua |
Yang melatarbelakangi
Ini sebenernya
acara apaan sih? Buat saya acara ini cocok banget buat kita terutama yang
sedang bahkan sering berkonflik dengan orangtua atau mertua. Contoh konfliknya
jangan dibayangin yang gede, contohnya saya cuplik saja dari caption IG Bu
Okina. Teksnya kayak gini.
Saya kadang sedih kalau dicurhati teman “Ibuku itu
makin tua kok bukannya makin bijak ya mbak, kayaknya seneng kalau anaknya ribut”
“Bapakku makin ngeyeeel aja, padahal kan kami atur
itu biar sehat tapi diem-diem jajan sendiri mbak”
“Anakku udah aku kasih aturan ee dirusak sama
ortu/mertua, kalau saya kasih tau marah”
Atau mungkin
pengalaman yang masih membekas pada pengasuhan orangtua dulu yang membuat
hubungan kita hari ini kurang harmonis sama orangtua. Mungkin dulu ortu main
fisik, atau kata-katanya sangat menyakitkan, labeling dengan totalitasnya dalam
mendidik kita, dan ingatan itu masih ada, apalagi rasanya tertinggal dalam hati. Semakin hari kesalahan ortu semakin kita ukir bak prasasti.
Saat memiliki anak
kita janji tidak akan mengulangi perlakukan ortu, kita janji pasti bisa lebih
baik dari yang kita alami. Namun karena ingatan masih ada kadang secara gak
sadar kita ulang lagi kepada anak kita. Marah-marah ke anak misalnya.
Gimana kalo gak
ada masalah dengan orangtua atau mertua? Ya gpp, kita bisa tingkatkan lagi
bakti kita kepada mereka. Mungkin saja mereka belum “nyebelin” karena
ortu/mertua belum memasuki masa penurunan kondisi fisik yang parah. Mereka masih
asik diajakin barengan ngasuh si Kecil. Namun yakinkah kita bisa tetep merespon
“asik” ketika mereka memasuki masa geriatri? Masa dimana akan banyak mengalami
penurunan kondisi fisiologis.
Tujuan acara ini
adalah membantu kita untuk taat sama perintahNya, Birrul Walidain. Kita disini bukan mau merubah orangtua dan mertua.
Bukan. Hasil akhirnya nanti adalah sampe kita berkata “apa yang bisa saya
upayakan yang terbaik untuk mereka?”.
Menghadirkan
pengisi materi yang tidak hanya ahli, namun juga berpengalaman. Adalah mba Dini
Swastiana yang menjelaskan dari sisi psikologis ortu/mertua dan dr. Ferlianisa Maharani membagikan ilmu kesehatan lansia, dan teknik-teknik oleh mba Elfira Mahda.
Dan fasilitator yang mendampingi praktek teknik oleh mba Rininta Mahda dan aku
(sebagai penggembira forum ;p)
team pembicara dan para sahabat EP Surabaya ;p |
Orangtua zaman old
Dengan memahami
gambaran kehidupan orangtua jaman dulu, semoga memberi ruang empati pada
beliau.
Ibu kita dulu melakukan semua pekerjaan sendiri dari sebelum shubuh hingga malam. (gak kayak saya, apa-apa taruh laundry hiks). Sementara Ayah sebagai satu-satunya penghasil nafkah yang harus bekerja keras. Saya agak tergelitik ketika mba Dini memberikan analogi dengan jaman Pak Harto dengan meme “enak jaman ku tho”, padahal bisa jadi ekonomi dulu lebih keras karena gak ada banyak pilihan. Sekarang banyak start up yang memungkinkan opsi dalam pekerjaan.
Ibu kita dulu melakukan semua pekerjaan sendiri dari sebelum shubuh hingga malam. (gak kayak saya, apa-apa taruh laundry hiks). Sementara Ayah sebagai satu-satunya penghasil nafkah yang harus bekerja keras. Saya agak tergelitik ketika mba Dini memberikan analogi dengan jaman Pak Harto dengan meme “enak jaman ku tho”, padahal bisa jadi ekonomi dulu lebih keras karena gak ada banyak pilihan. Sekarang banyak start up yang memungkinkan opsi dalam pekerjaan.
Sudahlah mereka
hidupnya buat kerja, kerja, kerja (ala jargon Jokowi), eee hubungan sebagai pasangan
suami istri juga garing (istilah saya
aja ini ;p). Apa iya sih, ortu kita dulu dalam
keseharian rumah tangga isinya sayang-sayang layaknya SyahReino? Ngirim puisi
romantis ala Dilan “biar aku saja”. Yang ada hanyalah kewajiban selesai
dikerjaan, sudah. Bahkan mungkin gak punya “panggilan sayang” seperti pasangan muda
hari ini. Jangankan ada surprise ultah, kebanyakan lupa malah.
Mba Dini menyampaikan materi dari hati dengan penuh kelembutan |
Dulu jaman ortu
kita, kesadaran parenting belum
segencar sekarang. Enlightening Parenting belum ada (Bu Okina Fitriani belum lahir *eh).
Dulu mereka gak punya akses informasi, internet contohnya. Sementara ilmu
komunikasi juga gak paham, karena memang beliau gak ada yang ngajarin gimana
sih pola komunikasi efektif ke anak. Eh ini bener loh, Ibu saya dulu komunikasinya
kalo gak dengan teriak, nangis sambil bahas lahiran sakit, atau kemoceng
melayang. Sapa yang sama? Tos dulu.
Ya bisa jadi
beliau juga diperlakukan yang sama oleh mbah (nenek/kakek) kita. Mereka gak
punya role model dalam pengasuhan
anak. Jangan2 orangtua kita adalah korban. Tapiiiiii kalo nyalahin nenek, lha wong mbah kita juga gak punya ilmu
parenting. Bisa dibayanginlah, ortu kita bisa jadi membawa beban dimasa
kecilnya. Huhu.
SEHINGGA,
TANGKI CINTA ORTU
KERING KERONTANG. Udah gak dapat cinta dari orangtuanya, suami juga garing, masih dituntut anak bahkan
menantunya. Lalu kapan mereka bahagianya? Hiks -.-
Kita dulu diajari orangtua bicara, malah sekarang udah pinter ngomong buat ngelawan mereka. Kalo ortu bikin kesalahan, kita koreksi orangtua kita dengan kata yang kurang santun “khan udah aku kasih tahu” “itu khan memalukan Ma”, ”logikanya dimana?” dan itu pasti menyakitkan buat mereka.
balasan komen di IG bu Okina tentang postingan Geriatri |
Kita dulu diajari orangtua bicara, malah sekarang udah pinter ngomong buat ngelawan mereka. Kalo ortu bikin kesalahan, kita koreksi orangtua kita dengan kata yang kurang santun “khan udah aku kasih tahu” “itu khan memalukan Ma”, ”logikanya dimana?” dan itu pasti menyakitkan buat mereka.
YAKINLAH fitrah
manusia itu baik. Beliau pasti memilih yang terbaik saat itu yang bisa dilakukan.
Buktinya apa yang dilakukan ortu ketika kita kecil sakit? Gak bisa bayangin
jika mereka perhitungan ke anak, apa masih ada kita hari ini.
Mertua kita
Kita ketemu dengan
mertua barusan, namun sebelum pernikahan kadang mereka sudah mulai
ngatur-ngatur. Mertua dan menantu kayak saingan. Dan suami ada kejepit di
tengah. Mba Dini mencontohkan misalnya mereka komen tentang kesehatan atau tumbuh
kembang anak. Akhirnya hubungan jadi kurang harmonis, akhirnya ribut sama suami
gegara mertua. Dan hanya beberapa orang yang berani ngomong langsung mengkonfrontir
mertuanya. Yang banyak adalah posting di sosial media. Ea ea ea. Padahal udah gak ada
gunanya, buka aib sendiri, kadang dapet komen yang malah tidak memberdayakan.
Mana substansi masalahnya?
Mba Dini mencoba
menarik sebab utamanya, apakah iya masalahnya pada mertua? Jangan-jangan
masalahnya adalah komunikasi suami istri yang belum bener. Diawal menikah kita
gak punya kesepakatan hubungan dengan
mertua, bagaimana kalo keluarga butuh bantuan keuangan, bagaimana interaksi
kita dengan mertua dan anak. Idealnya pasangan punya visi misi yang juga
jabarin birrul walidain. Sehingga bukan mertua yang kita jadikan kambing
hitam masalah rumah tangga.
Geriatri
Ini bukan nama
orang ya? Itu Gayatri, anak temanku (haha apaan sih, garing -.-). Geriatri adalah
cabang ilmu kedokteran yang mempelajari kesehatan fisiologis lanjut usia. Usia lanjut
menurut WHO adalah usia 60 tahun keatas. Materi ini disampaikan oleh dr Rani,
yang banyak menangani pasien lansia di Rumah Sakit tempat beliau praktik
sehari-hari. Mengapa ini juga diberikan pada materi ini? Karena kesehatan usia
lanjut berbeda dengan usia muda kayak kita. Semua dari kita pasti akan menua,
dan kita gak bisa menahannya.
Materi dokter Rani bikin merenung -.- |
Pada orangtua
dengan usia lanjut mereka akan mengalami banyak perubahan fisologis. Bisa jadi
gak satu-satu datangnya, namun berbarengan. Contohnya awalnya Bapak diajak
bisik2 denger, sekarang suara TV dirumah makin kenceng. Membaca koran udah gak
kelihatan lagi. Itulah proses penuaan.
Sindroma
Geriatri
Keterbatasan
pergerakan. Misalnya untuk
berdiri dan berjalan memerlukan usaha yang besar. mungkin yang bisa membantu
adalah memfasilitasi dengan memakai kursi roda, atau tongkat/kruk. Dokter Rani
menyebutkan pasien geriatri yang tirah baring, hanya bisa tiduran di kasur,
punggungnya mudah lecet bahkan dari bisa menyebabkan infeksi.
Gangguan
keseimbangan.
Misalnya ortu yang mudah tersandung tanjakan di dalam rumah. Sebenernya bukan
tersandung, namun mereka sempoyongan. Kita bisa memfasilitasi dengan memakaikan
sandal yang nyaman, memberi penerangan yang cukup pada daerah yang sering
dilewati beliau. Bahkan dokter Rani cerita di Rumah Sakit tempat beliau praktik
ada tiang di dinding yang fungsinya untuk membantu lansia berjalan.
Beser
Disaat beser, ortu
kita acapkali karena gak mau anak2 kerepotan, dan gak mau bolak balik ke kamar
mandi, dengan cara mengurangi air putih. Padahal dengan mengurangi air putih
malah potensi dehidrasi. Padahal masalahnya karena respon kita melihat air seni
beliau yang tercecer. Bisa jadi mereka enggak ngerasa, ya karena otot di
saluran kemihnya sudah gak sempurna lagi.
Mba Rininta yang sabar mendampingi latian peserta |
Otak yang
menua
Maka akan terjadi
proses penurunan intelektual. Mungkin saja ortu kita dulu bos besar, dosen,
pinter, mimpin perusahaan keren, sekarang malah gak logis lagi. padahal ya
emang kemampuan intelektualnya sudah menurun. Atau bahkan efek dari obat yang
dikonsumsi. Kadang dikasih tahu cara mengcopy gak tahu, pindahin folder, gak
ingat lagi, karena fungsi otaknya menurun.
Baca juga : Ketika Bapak Tanya Melulu
Baca juga : Ketika Bapak Tanya Melulu
Mudah Infeksi
Buat lansia,
infeksi efeknya bisa serius bahkan kematian. Contohnya jika kita kena batuk
seminggu sembuh, beda dengan lansia, batuknya bisa menyebabkan infeksi dan obat
yang dikonsumsi bisa berefek pada jantung dan ginjal misalnya.
Gangguan
tidur
Ada pasien lansia
dr Rani di Rumah Sakit yang sulit tidur, lalu anak-anaknya dengan mudah
menyuruh dokter untuk memberi obat tidur saja. Obat tidur memang cara praktis
namun buat lansia efeknya bisa lebih panjang lagi. Apa yang bisa kita lakukan
dengan kondisi ini? Mending ditemenin, atau cerita-cerita seperti kita dongengin
anak kita menjelang tidurnya.
Gangguan
Pencernaan
Mungkin dulu ortu
sukanya makan tahu tempe, ee sudah tua malah maunya makan daging mulu. Gak tau
apa daging mahal, gak tau apa entar malah kolesterol. Padahal bisa jadi karena
emang pencernaannya sedang tidak baik, asam lambungnya naik. Sehingga butuh
makanan yang membuat pencernaannya nyaman. Makanan asin bisa gak jadi asin
dimakan lansia. Meraka melanggar hanya karena pengen makanan yang kerasa dilidah.
Gangguan
neurokognitif
Bahkan mandi,
buang air kecil, nyalain TV jadi terbatas. Karena otaknya fungsinya menurun.
Belum lagi dementia, sehingga ada gangguan
penurunan dalam memutuskan sesuatu. Jadi wajar lansia sering ditipu, karena “iya
iya” aja. Ngingat sesuatu yang barusan ditaruh aja sering lupa. Akhirnya mudah
nuduh. Ini pernah aku dapat cerita temenku, yang Bapaknya suka nuduh-nuduh gak
jelas. Dan dia sebel sama Bapaknya gegara itu.
Ada lagi gangguan visual dan parkison, nuang air
minum aja tumpah, megang gelas bikin pecah. Gangguan
bahasa, loncat-loncat ceritanya. Moodnya
gampang berubah, pagi seneng siang marah. Belum lagi alzheimers (semoga tulisannya bener). Kurang lebih sama cuma ditambahi penarikan diri sama
lingkungan sekitar. Misalnya arisan gak mau, karena curigaan.
INTINYA,
Kondisi ortu yang sudah
berusia lanjut sangat ringkih. Diawal mba Dini juga cerita untuk orang yang
terbiasa aktif, tetiba gak bisa ngapa-ngapain itu gak mudah. Ibunya sempet gak mau
pakai tongkat. Siapapun pasti gak mau dibilang gak mampu. Untuk orang yang
sudah menua, temennya pada meninggal, pasti mikir “kapan ya aku?” Siapa sih,
yang siap mati? Sanggup gak sih kalo hari ini diambil olehNya.
Sehingga dr Rani
menekankan apa yang bisa diupayakan agar ortu yang lansia ini bisa bahagia di
masa tuanya. Kasih support system dengan memberikan kenyamanan. Jangan berfikir,
udah deh Mama dirumah aja, kalo pengen nyalon, salonnya aja dipindah kerumah
padahal bisa jadi yang dibutuhin adalah
ke salon bareng dengan anak cucunya. Bahkan Mamanya dokter Rani pernah
bilang ketika mba Rani cerita masalahnya, Mamanya ngerasa seneng karena merasa
masih dibutuhkan.
Materi dari mba
Rani sungguh membuatku banyak berfikir. Sehingga besok pas aku udah tua pengen anak
cucu gimana ya ke aku? Diperhatikan? Sering kumpul dirumahkah? Trus sekarang
sudah ngelakuin apa ke orangtua agar ngerasain sama yang aku pengen saat aku
lanjut usia?
Teknik
memperbaiki hubungan dengan orangtua dan mertua
Mungkin kita
lumayan lupa dengan hal yang menyakitkan, namun rasanya masih ada khan? Di kelas
ini peserta diajarin beberapa teknik yang nantinya bisa membuat plong. Diantaranya Disosiasi dan Asosiasi, Reframing, Meta Model, juga Perceptual Position. Teknik ini adalah teknik yang sudah
banyak digunakan banyak orang. Terutama dalam menghadapi konflik. Dan tentu
saja bisa dipertanggung jawabkan. Teknik ini disampaikan oleh mba Elfira Mahfa,
seorang professional coach.
Tidak hanya beberapa teknik ala NLP yang diajarkan, namun kami semua dibantu trauma healing, dan diajarkan forgiveness therapy. Memaafkan bukan untuk orang lain, namun karena kita layak dapat kedamaian. Banyak juga perintah Allah tentang memaafkan, memaafkan atas sakit hati kepada ortu/mertua, karena disaat kejadian mungkin mereka GAK PUNYA pilihan lain, meraka gak tau kalo itu menyakitkan, sebenernya mreka gak berniat jahat pada kita.
Semua peserta juga
dibimbing untuk memaafkan diri sendiri karena sudah membawa beban emosi
bertahun-tahun.
Catatan Akhir
Tulisan diatas
adalah catatan untuk saya pribadi, dengan menulisnya semoga saya terus ingat
tentang iman. Bahwa Allah saja menyuruh hambaNya untuk berbakti pada
orangtuanya.
Mungkin dulu pernah tersakiti oleh orangtua, tapi itu sudah masa lalu, gak bisa diapa2in lagi, justru kedepan yang bisa dirubah. Reframing lagi bahwa pengalaman “sakit” dimasa kecil adalah privilege dari Allah untuk semakin taat, dan menambah pahala. Termasuk juga kepada mertua, karena mertua = orangtua.
Terimakasih kepada mba Dini dan dr Rani yang jauh-jauh dari Jakarta untuk mengingatkan dan membimbing kami berikhtiar Birrul Walidain. Juga mba Elfira dan mba Ninta sebagai inisiator acara. Dan tentu saja kepada cikgu kami, Bu Okina Fitriani atas segala guyuran ilmu, memberi banyak "alat" untuk berubah.
Surabaya, 23 Oktober 2019
Mungkin dulu pernah tersakiti oleh orangtua, tapi itu sudah masa lalu, gak bisa diapa2in lagi, justru kedepan yang bisa dirubah. Reframing lagi bahwa pengalaman “sakit” dimasa kecil adalah privilege dari Allah untuk semakin taat, dan menambah pahala. Termasuk juga kepada mertua, karena mertua = orangtua.
Terimakasih kepada mba Dini dan dr Rani yang jauh-jauh dari Jakarta untuk mengingatkan dan membimbing kami berikhtiar Birrul Walidain. Juga mba Elfira dan mba Ninta sebagai inisiator acara. Dan tentu saja kepada cikgu kami, Bu Okina Fitriani atas segala guyuran ilmu, memberi banyak "alat" untuk berubah.
Surabaya, 23 Oktober 2019
Tidak ada komentar