Sejak bayi
sepertinya Luigi sudah jadi “anak mall”, terbiasa jalan-jalan berdua sama saya.
Ketika Luigi bisa berjalan sendiri, lebih sering lagi ke mall. Kami tidak
pernah sekalipun membawa stoller ke mall, jika capek ya gendong, ingin pindah
ke lantai atas ya naik eskalator, kadang gendong, kadang ya berdiri sama saya.
Namun
setelah usia 3 tahun, entah apa mulanya, Luigi sekonyong-konyong takut naik
eskalator. Dulu jika ia merasa gugup, akan minta digendong terlebih dahulu saat
pijakan pertama, dan minta diturunkan ditengah-tengah perjalanan eskalator.
Tapi sekarang memandang eskalator dari kejauhan ekspresinya menjadi panik dan
wajahnya pucat. Kemana “anak mall” Surabaya ini?
Sebenarnya
saya tidak masalah membopong Luigi ketika naik eskalator, namun bebannya
semakin bertambah jika membawa tas. Di mall Surabaya masih ada pilihan naik
lift, kami bisa memilih masuk lift.
Mempertahankan
ketakutan atau membantu anak menyelesaikan masalah ‘eskalator’ adalah pilihan.
Dan saya memilih membantu Luigi menyelesaikan masalahnya.
***
Ketajaman
Indera dan Editing Submodality
Manusia
menyimpan memori dalam bentuk visual (gambar), auditif (suara) dan kinestetik
(rasa dan penciuman) ((VAK)) yang disebut Modality. Bagian dari VAK disebut
submodality. Rekaman submodality akan menentukan emosi yang muncul. Dengan
mengubah masing-masing komponen ketiganya, bisa mengubah emosi terhadap sebuah
memori. Jadi rekaman submodality kita susun ulang atau diedit pengalaman yang
sudah tersimpan dibawah sadar.
Saya
pernah mencoba cara mengedit eskalator secara visual “yuk Lui kita kecilkan eskalatornya, eskalatornya tingginya seberapa,
saya rentangkan tangan, segini? Kita kecilkan segini ya? (regangan tangan
semakin dekat)”. Trus saya paksa langsung naik. Luigi tetap takut. (ternyata
sebabnya karena emosi belum diselesaikan, saya bergegas “main suruh” saja, hiks).
Setelah dievaluasi, ternyata saya editnya berdasarkan asumsi. Asumsi saya ketakutan
Luigi pada eskalator adalah karena ketinggian.
sumber gambar diambil dari : https://giphy.com/explore/panic |
Ketika
dirumah sambil ngobrol santai, saya tanyakan lagi “apa yang bikin Lui takut naik eskalator?” (ketajaman indera).
Ternyata karena eskalatornya terlalu cepat jalannya. Hiyaa pantas cara pertama gagal (ya tidak sesuai substansi
masalah). *ok maafin Mama
Lalu saya
menggunakan cara mencari eskalator yang sepi (sebagai asumsi eskalator yang
sepi, tidak dipakai orang, akan melambat. Ketika sudah dinaiki maka eskalator
berjalan cepat). Di Gressmall dia mau naik eskalator karena melihat jalannya
eskalator lambat sekali (iyalah mallnya sepi hehe).
Namun
akankah menggunakan cara seperti ini terus? Menjawab masalah tapi tidak
efektif. Emang mall selalu sepi, gitu? gak khan -.-
***
Balik lagi
cara edit submodality. Kalo Lui ngerasa
eskalatornya kecepetan, maka editnya secara visual. Kalo cepat, berarti
lawannya dilambatin. Tapi gimana ya caranya menggambarkan Luigi yang tiga tahun
gambaran slow motion. Jika menggunakan gawai, khawatir membuatnya salah
fokus sama ponsel dan terfikir minta main youtube. Maka yang saya lakukan
adalah :
Selesaikan
emosinya
Saat ke
mall dan dia takut naik eskalator, maka jangan saat itu juga dipaksa
menyelesaikan dengan edit submodality, namun selesaikan dulu emosinya. Luigi
khan masih merasa takut, obrolannya saat dirumah adalah “samakan perasaan”
Mama : “Pas lagi di mall, Lui kenapa ya gak mau
naik eskalator?”
Lui : “Aku iki gak seneng Ma, eskalatore
kecepeten”
M : “Hmm Mama ngerti Lui takut sama eskalatornya
yang cepet. Hmm, Lui seneng main di mall?”
L : “he em”
M : “Gimana kalo
Mama bantuin Lui bikin eskalatornya jalannya jadi pelan” “Biar kita bisa makin
seru ngemallnya, naik lantai jadi gampang, gak susah nyari eskalator sepi di
baju-baju” (baju-baju = maksud saya eskalator seperti di dalam Matahari
lebih sepi, jadi jalannya lambat).
L : (mikir,
kayak mencerna maksud saya)
Edit Visual
Melambatkan Eskalator
M : “Lui bayangin kalo eskalatornya cepet Mama
jalannya gini (memperagakan orang yang jalan cepat ditempat). Kalo eskalatornya lambat Mama jalannya gini
(jalan kaki pelan-pelan) ((*pelan bahasa Jawanya=mlaku timik-timik)). Ok
bayangin Lui lambatin eskalatornya dengan jalan timik-timik kayak Mama
gini. Coba sekarang Lui jalan timik-timik kayak Mama .
((jalan
pelan untuk menggambarkan slow motion))
L : (mempraktekkan)
M : “sekarang Lui pejamkan mata, dan bayangin
eskalatornya pelan dengan Lui jalan timik-timik kayak tadi”. “gimana,
eskalatornya pelan?”
L : “iyo Ma”
M : “Jadi, kalo Lui bayangin eskalatornya
lambat, takut ndak?”
L : “tidak”
M : “nanti coba sama Mama ya”
L : “iyo”
Menceritakan
kembali pemahaman edit submodality ada di video ini
Praktik
Naik Eskalator setelah di Edit
Jumat
malam (2/8) Luigi saya bawa ke Plaza Gresik, untuk mengajak dia naik eskalator (tujuannya
cuma naik turun eskalator). Saat itu jam menunjukkan pukul setengah 9 malam (sengaja
memilih jam sepi Plaza). Didekat pintu masuk Plaza saya bilang ke Lui
“Lui
kita akan naik eskalator, kalo Lui Mama gandeng, Lui gak takut”.
Mendekati
eskalator, Lui jalan pelan-pelan (seperti saat dibriefing) dan melakukan pijakan pertama dengan seimbang. Dan untuk
pertamakalinya setelah SELALU gendong naik eskalator, kali ini dia berdiri
sendiri. Videonya naik eskalator disini, divideo dia bilang ini :
Lui : “aku gak takut Ma”
M : “oh Lui gak takut. Kalo Lui digandeng Mama,
Lui gak takut ya”
Lalu saat
sampai diujung eskalator kami berpelukan. Untuk turun, Lui sudah bilang diawal “Ma aku mau turun, tapi gendong dulu, trus
aku ditaruh”. Saya bilang OK. Sepakat, tos. Ternyata saat eskalator meluncur
Lui semakin mantap mengatakan “mudah Ma,
kalo turun”
Video saat
turun eskalator ada disini
Menanyakan
perasaan setelah mencoba
“Gimana perasaan Lui naik dan turun eskalator?
Takut apa tidak?”tanya
saya “tidaaaaaaak”jawab Lui mantap.
Puji
Efektif
“wah makasih ya, Lui sudah berani naik dan turun eskalator”, sambil peluk
Pasang
anchor
“Ok lain kali, kalo Lui ditepuk pundaknya sama
Mama seperti ini, Lui berani naik eskalator dimana aja”
Menumpuk
dengan Pengalaman Membahagiakan
Tidak jauh
dari eskalator Plaza Gresik, ada arena mainan pasir buatan. Karena Luigi senang
main pasir, dan selepas mengalahkan ketakutannya, maka saya tumpuk dengan
pengalaman senang dengan menawarkan “apa
mau Luigi main pasir disini?” “mau mau” (jawaban yang sudah saya duga).
Ternyata
karena kami ke Plaza sudah malam (sengaja nyari waktu eskalator sepi buat
latihan), mainan pasirnya jam 9 tutup. Penjaganya bilang “maaf Buk, mainannya tutup 15 menit lagi”. Kubilang Luigi sambil
memperlihatkan jam tangan bahwa jika jarum jamnya yang panjang di angka dua,
Lui selesai ya mainnya, karena mbaknya mau pulang, mainannya tutup.
Alhamdulillah dia mau. Sepakat tos.
Setalah
saya ingatkan jarum jam yang panjang di angka dua, dia dengan ikhlas melepas
semua mainan. Dan kami pulang tanpa drama.
meski sebentar karena sudah kesepakatan, jadi pulang dengan hati lapang |
Membagi
“Kue Yang Enak” ke Pak Bojo
Setelah
dari Plaza Gresik kami pulang kerumah, dan saya langsung WA suami. Dibalas cuma
“gak usah divideo, demi safety”. Eh
iya, kubilang buat kenang-kenangan. Ok lain kali kalo diingatkan suami bilang
terimakasih. Paginya suami baru tanya lagi, kogh bisa Luigi mau naik eskalator
lagi? *ciiee akhirnya penasaran juga
khan?
Briefing and Role Playing Menggunakan Eskalator
Saat saya
dan Luigi naik eskalator malam itu, Luigi sengaja digandeng bersisian dengan
saya untuk meyakinkan bahwa dia aman, ada saya disampingnya. Harusnya ketika
naik eskalator bersama anak, anak didepan, orangtua menggandeng posisi
dibelakang.
Bahan
Briefing Naik Eskalator bersama Luigi
Kadang
kita memandang anak sebagai orang dewasa yang dikecilkan, memandang anak-anak “harusnya”
sudah fasih dengan diajarin sekali. Maka penting memberi wawasan mengenai
eskalator dan cara aman menaikinya. Jadi ya ngobrol berdua sama Luigi.
“Eskalator adalah mesin yang berbahaya jika Lui
ndak hati-hati. Bagaimana cara agar hati-hati naik eskalator?”
“Luigi harus memakai sepatu dan kaos kaki sebelum
naik eskalator”.
“Lui harus barengan sama Mama ketika menginjak
eskalator pertama kali”.
“Mama beri hitungan 1,2,3, baru kaki diangkat dan
naik ya.”
“Berdiri di garis aman (bukan garis kuning)"
"Selama di eskalator Lui hadap depan dan lihat kedepan” (meminimalisir rasa takut).
"Selama di eskalator Lui hadap depan dan lihat kedepan” (meminimalisir rasa takut).
“Jika naik eskalator Luigi didepan, Mama
dibelakang, tapi tetep gandengan”.
“Jika turun eskalator, Mama didepan, Lui
dibelakang tetap gandengan sama Mama. Kalau turun, Lui digendong Mama dulu,
baru diberdirikan lagi sama Mama.”
karena Luigi dalam masa peka terhadap simbol, saya sangat terbantu dengan gambar yang dia tanyakan ini. Dok pribadi |
Bahan
Role Playing Naik Eskalator
Karena
dirumah Gresik kami gak punya tangga, jadi saya akan gunakan dua kursi. Kursi
yang satu lebih tinggi, dan kursi satu lebih rendah. Mempraktekkan bagaimana
berdiri depan belakang saat naik dan turun eskalator. Tidak berdiri bersisian,
karena sebelah kiri eskalator untuk orang yang berdiri diam. Sedangkan sebelah
kanan untuk orang yang naik eskalator sambil berjalan karena kondisi
tergesa-gesa.
Moment Utilization dengan Gossip
Esoknya di
siang Gresik yang panas (3/8) kami bertiga naik mobil ke Cerme Gresik. Saya
bilang ke Ayahnya berbisik dengan nada yang bisa didengar Luigi.
“Ayah tadi malam ada anak yang berani naik
eskalator loh, trus habis naik eskalator anaknya main pasir” kata saya dengan nada antusias
“oh iya ta Ma, wah pinter ya anak itu Ma” jawab Ayahnya bersemangat
Seketika
Lui menyahut “arek itu aku Ayah, iku aku, iyo aku iki wani naik eskalator, tapi pas
turune aku digendong Mama sek, trus ditarok Mama” (anak itu aku Ayah,
iya aku berani naik eskalator, namun saat menuruni eskalator digendong terlebih
dahulu, lalu ditaruh lagi sama Mama). MashaAllah senengnya mendengar ocehan
Luigi siang itu.
***
Setelah
menulis ini, saya ternyata menemukan istilah escalaphobia.
Yaitu orang yang ketakutan luar biasa pada eskalator. Seperti sangat irrasional karena phobia seperti ini diidap oleh dewasa, bukan anak tiga tahun
seperti Luigi.
sumber gambar diambil dari : https://giphy.com/explore/panic |
Bahkan
mereka lebih memilih naik puluhan anak tangga dan bercapek ria, daripada naik
eskalator yang membuat panik. Ada juga orang yang dengan terpaksa, dengan muka penuh
malu meminta tolong satpam Mall untuk mematikan eskalator terlebih dahulu, saat
ia akan turun eskalator dan menuruni secara manual karena tidak menemukan lift.
Saya
menghela nafas panjang. MashaAllah. Membaca itu semakin menghayati bahwa ilmu
yang saya pelajari di kelas EP dan TBS adalah alat yang memudahkan hidup. Terimakasih
bu Okina Fitraini dan tim fasilitator atas segala guyuran ilmu selama ini. Nikmat
Tuhanmu Manakah Yang Kau Dustakan?
Gresik, 3 Agustus 2019
Menulis adalah untuk mengingatkan diri sendiri
Menulis adalah sebagai catatan perjalanan
peningkatan skill menjadi Ibu dan Istri
Baca juga cerita lainnya :
Tidak ada komentar