Baru kejadian semalam, jam 10 malam HP bergetar. Semua kawan nelp dengan suara bergetar, ada kekhawatiran yang amat sangat :
“saudara saya kesulitan napas, bagaimana? Keluarganya
ga mau dibawa ke RS (Rumah Sakit), takut dicovidkan, saya gagal meyakinkan
keluarganya”
Saya speechless, sudah sekian lama pandemi ini and some people just won’t learn.
Selain wabah, ada pula yang tak kalah mematikan dari pandemi ini : Fitnah & Hoaks. Hanya bisa mendoakan –
Ady Setyawan pada status Facebook 10 Juli 2021
Saya tercenung lama
membacanya. Kalimat diatas saya ambil dari status mas Ady, ketua komunitas
sejarah di Surabaya.
Selain bertarung dengan pandemi Coronavirus Disease 2019
(Covid-19) yang sudah berlangsung lebih dari satu
setengah tahun ini, ternyata kita juga MASIH perang sama informasi menyesatkan bernama hoaks.
Sejak World
Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia secara resmi
mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi pada
tahun 2020, setiap hari kita di gerojok berita Covid-19. Setiap menit membuka grup WA ternyata isinya info Korona, lihat TV berita Korona,
percakapan antara teman juga Korona. Diantara mereka sering menjadi yang terdepan untuk share link mengenai penyakit
infeksius ini.
Semakin disuguhi berita Korona, semakin pusing dan lelah
jiwa raga.
Imun turun. . .
Apa yang saya lakukan saat itu? left grup beberapa
grup WA. Dan beralih ke media sosial.
Ternyata keadaan SAMA SAJA. Informasi Korona bak air
terjun dengan berbagai variasi. Apakah semua informasi yang dibagikan sudah teruji kebenarannya?
Saat pandemi melanda Indonesia, kita hidup pada era
digital yang canggih. Hal ini menyebabkan kita “bersandar” pada internet
sebagai sumber informasi, termasuk masalah kesehatan.
Berdasarkan laporan perusahaan media asal Inggris bernama We are Social, yang dirilis pada bulan Februari 2021
menunjukkan 61,8 persen masyarakat Indonesia adalah
pengguna aktif media sosial dengan durasi rata-rata 3 jam per harinya.
Nggak hanya itu, survei Badan
Pusat Statistik (BPS) yang digelar pada bulan September 2020 juga
menunjukkan
bahwa media sosial, televisi dan WhatsApp adalah media paling populer buat dapetin info tentang protokol kesehatan dan pentingnya
mencegah penyebaran Covid-19.
Hal ini membuat
penyebaran informasi sangat masif pada media sosial padahal NGGAK semuanya
benar alias akurat. Masih banyak informasi menyesatkan alias hoaks.
Mengacu pada survei Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo), Katadata dan Siberkreasi, status literasi digital di
Indonesia 2020 belum sampai pada level baik, ditunjukkan dengan skor indeks
angka 3 dari skor tertinggi 5.
Makanya masih banyak masyarakat atau bahkan keluarga dan
teman kita sendiri hanya menerima informasi tanpa kemampuan memahami informasi dengan baik, sehingga lebih mudah percaya pada hoaks.
Sehingga darisini, peran media dalam penanganan
hoaks selama pandemi Covid-19 tentu sangat
penting di tengah dominasi arus informasi
dari media sosial.
Dan untuk ngasih pengetahuan
ke masyarakat tentang peran media dalam
mengatasi persebaran hoaks kesehatan di berbagai media digital selama
masa pandemi Covid-19, maka
Tempo ngadain live streaming talkshow yang
diisi oleh narasumber dari berbagai latar belakang.
Ada mbak Siti Aisah (panggilan Icha) dari Tempo.co Health
Fellow dalam program Facebook - Global Health Fellowship, Ibu Anita Wahid sebagai Presidium Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), ada Pak Donny
Budhi Utoyo dari ICT Watch, dan Ibu Devie Rahmawati dari Universitas Indonesia sebagai perwakilan kampus yang bekerjasama mengadakan training cekfakta kesehatan.
Selain pembicara diatas, ada lagi yang ‘mau nggak mau’
kalian HARUS percaya karena salah satu narasumbernya saya sendiri,
Anggraeni Septi (eheeeem, cieee *apasih :p) sebagai perwakilan komunitas
bloger peserta training cekfakta kesehatan.
*mana tepuk tangannya yang meriah
*jangan dilempar panci yak wkwk :p
Acara yang dimoderatori oleh mbak Inge Klara Safitri dari
Pemeriksa Fakta Tempo ini juga dibuka oleh Mas Anton Septian dari Pemimpin Redaksi
Tempo.co
Sebagai asumsi, Tempo terpilih menjadi satu-satunya
organisasi pemeriksa fakta dari Indonesia yang
berpartisipasi dalam program Global Health Fellowship yang didukung oleh Facebook.
Tujuannya tentu saja untuk membantu
memerangi hoaks kesehatan.
Selain
menghasilkan konten edukasi seputar isu-isu kesehatan, peningkatan
literasi digital masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang dilakukan
dalam program Fellowship ini.
Mas Anton sebagai Pemimpin Redaksi Tempo.co mengatakan diharapkan
nantinya masyarakat bisa secara mandiri
mengidentifikasi kebenaran informasi sebelum membagikannya di media digital
sehingga arus hoaks lebih terkendali.
Live
streaming talkshow dilaksanakan pada Senin, 18
Oktober 2021 jam 11:00-12:00
WIB melalui broadcast di berbagai kanal Tempo (Youtube Tempo(dot)co, Facebook Tempo Media, Youtube TV Tempo,
Facebook TV
Tempo.
Sebab Masyarakat Masih Percaya Hoaks
Ibu Anita Wahid bilang
bahwa hoaks selalu menyasar emosi manusia. Menurutnya ada salah satu kelompok
emosi, ketika ada ancaman pada keamanan dan kesejahteraan kita maka kita bakalan
khawatir, was was, dan takut.
Ketika emosi, kita nggak
mikir lagi bener apa nggak. Yang ada malah semakin terpancing menyebar luaskan.
Itu salah satu sebab kenapa hoaks cepet nyebar dan mudah dipercaya.
Apalagi masa awal pandemi
dimana kondisi semua tidak jelas dan Covid-19 merupakan virus baru. Akibat
minimnya informasi, hoaksnya merajalela. Belum lagi polarisasi (kepentingan)
yang dikaitkan dengan politik dan agama.
Menurut pengamatan presidium Mafindo ini mengenai perkembangan hoaks selama pandemi Covid-19 yang paling tinggi adalah pas awal pandemi sekitar Maret
sampai Mei 2020.
Hingga kesini menurun,
kecuali kondisi tertentu. Misalnya ketika momen mudik, masuknya varian delta, pemerintah
gencarkan vaksin, pasti ada hoaks baru. Menurun tapi bukan berarti tidak
berbahaya. Karena hoaks-nya udah ber-evolusi pada awal pandemi. Hingga dianggap
kebenaran.
Namun karena pada awal
pandemi pemerintah lamban mengatasi hoaks, jadi ada imbasnya yakni hoaks yang
tetap ada sampai hari ini.
Tantangan Menangkal Hoaks Pandemi
Hoaks beredar lebih
cepat, jauh lebih dalam ketimbang klarifikasinya, menurut pak Donny Budhi Utoyo
dari ICT Watch. Ia memaparkan riset MIT di Amerika bahwa dalam 24 jam, hoaks mencapai
10 kedalammannya, namun untuk klarifikasinya butuh 20 hari. Kedalaman 10 ini maksudnya seperti bisnis MLM. Saling menularkan !!!
Kenapa bisa terjadi? Saat
masyarakat membaca informasi (padahal itu hoaks), ingin segera sebarkan. Namun ketika
terima klarifikasi, dia bakalan berpikir nggak perlu disebarkan lagi.
Pak Donny menambahkan
bahwa masyarakat kita cenderung memilih sesuatu yang sederhana walaupun
salah, daripada benar tapi terlalu kompleks klarifikasinya. Gampangnya orang
milih simple but wrong, atau right tapi kompleks pada
komunikasinya.
Makanya penting banget
komunikasi publik, menjelaskan yang seakan rumit namun bisa dipahami oleh semua
orang. Misalnya dalam hal peraturan pemerintah dan ilmu kesehatan.
(Baca juga : Pengalaman Mendapat Vaksinasi Sinovac)
Strategi Mengatasi
Hoaks Selama Pandemi Covid-19
Mbak Icha dari Tempo Health Fellow menjelaskan
bahwa pertama yang dilakukan program fellowship ini pendekatakannya dari
hulu dengan meningkatkan literasi digital masyarakat. Misalnya mengadakan
workshop cek fakta kesehatan yang segmennya bloger dan mahasiswa.
Untuk membuat artikel
sanggahan, mbak Icha mengisahkan bisa menghabiskan waktu 2 hari untuk mencari
studi literatur.
Ibu Anita Wahid juga menambahkan
ada 4 strategi mengatasi hoaks menurutnya, diantaranya :
(1) Meningkatkan fact
checking skill
Ini kemampuan wajib yang
harus dipunyai oleh pengguna sosial media. Yakni skill bagaimana memverifikasi
informasi, bagaimana menggunakan alat (cek fakta) yang sudah tersedia, harus
memperluas agar masyarakat bisa menggunakan alat tersebut
(2) Meningkatkan critical
thinking skill
Harus benar-benar ditanamkan, supaya orang nggak malas, karena fact checking adalah sesuatu yang rumit. Namun ketika ada kesadaran dari berpikir kritis di masyarakat, maka masyarakat menjadi tidak keberatan dengan kerumitan tersebut. Jadi mereka cari informasi yang bener karena didorong critical thinking tersebut.
(3) Meningkatkan emotional
intelligence
Yang sering kita skip
adalah emotional intelegence alias kecakapan emosional. Padahal ini penting.
Kenapa? Hoaks nyasarnya emosi, hal ini membuat kita hilang kendali, akhirnya marah dan maunya buru-buru nge-share.
Jika kita bisa identifikasi
emosi yang muncul, lalu mampu bisa mengelolanya, maka kita bakalan bersedia melakukan
pengecekan informasi secara netral
(4) Penanaman value
Misalnya nilai hidup, tentang
nilai persaudaraan, keadilan dan kemanusian. Kenapa ini penting? Karena hoaks
yang ada banyak sekali bertentangan dengan nilai-nilai.
Misalnya nggak peduli bagaimana
kondisi tenaga kesehatan, namun karena ada hoaks nakes meng-covidkan, maka kita
berhak mencaci maki. Itu kan jahat sekali ya.
Percayalah, asal kita kritis
pasti ada nilai yang tercederai dari informasi yang ada.
Upaya Mafindo sebagai organisasi berbasis relawan untuk menangkal hoaks juga banyak. Misalnya program tular nalar dimana tujuannya agar kita berpikir kritis yang segmennya untuk dosen guru, mahasiswa dan anak-anak sekolah.
Ada juga kelas kebal hoaks yang bisa diikuti siapapun. Juga kerjasama bersama AJI dan AMSI melakukan training cek fakta untuk jurnalis seluruh Indonesia.
Peran Generasi Muda termasuk Mahasiswa
Ibu Devi bilang bahwa penting bagi siapapun belajar bagaimana menjadi manusia digital yang sehat. Menurut dosen Universitas Indonesia ini, bahwa mahasiswa itu masih muda, periode belajar, mereka adalah anak kandung dari peradapan digital.
Makanya kudu berada di depan, menyebarkan bagaimana jadi manusia digital yang sehat.
Beliau juga sangat berterima kasih kepada Mafindo dan Tempo karena telah mentranfer ilmu cek fakta
ke mahasiswanya.
Baginya anak muda secara teknis punya ketersediaan waktu, makanya bisa jadi pasukan terdepan menjadi model manusia digital yang baik. Dan yang penting lagi adalah generasi muda harus punya etika, budaya dan keamanan.
Intinya meski dalam ranah digital harus
ada tata aturan, biar nggak terjadi kekacauan di dunia nyata.
Bu Devi memberikan
keoptimisan bahwa jika mahasiswa memiliki tambahan skill dan tanggung jawab
moral malah hepi dan semangat. Karena mereka menyadari bahwa menjadi pahlawan
masa pandemi ini nggak mudah, dan jihad salah satunya adalah dengan menangkal
hoaks.
Andil Bloger Mengatasi Persebaran Hoaks selama Pandemi
Mbak Inge
selaku moderator menanyakan ke saya. Intinya gini. Sebagai penulis blog
atau content creator, apa saja yang perlu diperhatikan ketika memberikan
informasi kepada publik di media digital? Ini jawaban versi saya.
Content
Creator termasuk bloger bebas
berkreasi namun harus sesuai batasan. Misalnya membuat konten ada beberapa hal yang tidak
boleh dilanggar antara lain adalah yang terkait perjudian, pemerasan, penipuan,
kekerasan, penghinaan, pencemaran nama baik, fitnah, provokasi (SARA). Dan
tentunya jangan sebar HOAKS.
Jangan lupa, tanya pada diri sendiri, tulisan ini tujuannya apa? Untuk sharing,
menginspirasi, berbagi fakta, menghibur, atau apa? viralkah? Jadi menurut saya,
poin konteks bloger adalah tulislah yang bermanfaat untuk orang lain.
Seperti apa?
o Memberikan opini berdasarkan fakta dan bukan asumsi.
o Menggunakan kata-kata yang layak dan sopan.
Tidak kasar dan
menyinggung orang lain. Caranya ya posisikan sebagai pembaca, sebelum di
publish. Biasanya saya bakalan baca berkali-kali agar saya tahu apa yang perlu dikurangi atau
bahkan di tambah dalam tulisan. Atau caranya bisa kita endapkan dulu.
o Tidak menggunakan judul/thumnail yang cenderung
provokatif dan menimbulkan kesalahan persepsi di masyarakat. Pakailah judul yang asyik saja tetapi
juga nggak bikin orang merasa tertipu.
o Fokus sama apa yang ada dikendali kita : menulis yang
baik, tidak menyinggung, tidak merugikan, tidak membahayakan siapapun. Tapi
tulisan kita viral apa enggak? Ya nggak usah fokus disitu. Diluar kendali kita.
Tapi saya percaya, konten yang bermanfaat, mengedukasi, menginspirasi akan
selalu dicari oleh pembaca.
Lalu gimana
kontribusi bloger dalam dalam mengatasi persebaran hoaks selama pandemi?
Saya nggak mungkiri bahwa ada beberapa media yang hanya mengejar klik bait
semata. Kadang judul sama isi, nggak sama. Padahal melawan pandemi ini
pemerintah nggak bisa sendiri, justru semua dari kita kini punya peran masing-masing.
Menurut saya peran blogger pada masa pandemi adalah menjadi SALAH SATU sumber
fakta. Karena kita menjadi pembuat informasi melalui tulisan di blog
yang bisa diakses kapan saja dimana saja, dan diakses siapapun.
Namun dalam hal penulisan kesehatan, satu yang harus diperhatikan adalah bahwa menulis masalah kesehatan adalah menyangkut nyawa manusia.
Dampak jika menulis tema kesehatan yang salah khususnya konteks Covid-19 bakalan seperti status
facebook teman saya di awal paragraf. Sungguh,
jahat banget orang yang nyebar hoaks masa pandemi seperti ini.
Maka, kita harus memberikan berita yang benar dalam setiap tulisan kita. Bagaimana caranya?
(1)
Cari sumber terpercaya
Untuk penggunaan referensi : pastikan yang dipakai dapat dipertanggung jawabkan. Misal dari situs WHO, kemenkes, IDI, IDAI, kawal covid, jurnal dan lainnya. Jika dari hasil interview pastikan dia kompeten.
(2)
Mengerti istilah kesehatan
Minimal paham apa itu pandemi, entar covid apa jadi endemis, donor
konvalesen plasma darah, new normal, herd immunity, efikasi vaksin, kontak
erat, hijau dan merah di peduli lindungi maksudnya apa, protokol kesehatan,
social distancing, ODP, OTG, isolasi mandiri dan lainnya
(3)
Tetap kritis dengan melakukan pembanding . Kita cek di berita mainstraim,
memuat berita itu juga apa nggak.
(4)
Mengurangi artikel HOAKS dengan artikel bermanfaat yang benar dengan belajar SEO.
SEO adalah kita mengoptimasi konten agar bisa ada di halaman pertama mesin
pencari. Menurut saya jika artikel kita bermanfaat, harus mudah ditemukan, jadi
bukan yang hoaks itu yang malah gampang dicari.
Misalnya bloger di komunitas Indonesia Social Blogpreneur (ISB) dibekali oleh foundernya, dengan ilmu 'gimana menulis artikel yang baik, menarik, bisa dipahami meski terkesan njlimet, NAMUN bisa dipertanggung jawabkan'.
Tidak hanya itu, pelatihan tersebut juga memberi kami bekal SEO dari seorang
pengurusnya.
(Baca juga : Belajar SEO untuk Bloger Pemula)
Peran Media dalam Menangkal Hoaks
Pak Donny bilang bahwa kanal media
konvensional itu nggak cukup, misalnya kayak majalah, koran atau radio. Media
saat itu perlu memberikan variasi kanal nya, seperti dalam bentuk video 1 menit kayak Tik Tok dan instagram. Sehingga bisa lebih luas
lagi penyebaran informasinya.
Sebenarnya bentuk kolaborasi berbagai media juga nggak kalah penting. Saat ini ada grup WA dari berbagai elemen seperti seperti dari Kominfo, Cek Fakta Tempo, Liputan 6, Kemenkes, Satgas Covid-19, Mafindo, untuk melakukan koordinasi yang sifatnya informasi yang kadang-kadang kumpul zoom dan saling update.
Intinya kudu kolaborasi antar
stakeholder. Jadi kalo ada 1 isu semua saling bantu membantu.
bangga sama diri sendiri berada dalam satu layar bersama orang hebat -.- |
Terakhir
saya ditanya pengalaman ikutan training Cek Fakta Kesehatan Tempo. Saya katakan bahwa baru
menyadari bahwa virus hoaks ini harus dibasmi dengan vaksin berpikir kritis.
Ketika saya mengikuti training cek fakta kesehatan, saya jadi nggak mudah
menelan mentah-mentah semua berita yang ada di jagad raya ini apalagi
hubungannya dengan pandemi. Karena kita dibekali kemampuan dasar agar bisa
secara mandiri cek berita kesehatan benar atau hoaks.
(Baca juga : Training Cek Fakta Kesehatan dari Tempo)
Namun bila kalian belum berkesempatan ikutan training dari Tempo, bisa liat aja di cek fakta tempo, ada yutubnya kok. Misalnya disana pernah jawab apakah susu 'beruang' bisa nyembuhin covid, benarkah Cina sendiri nggak pakai vaksin Sinovac dan lainnya.
InsyaAllah dijawab tuntas karena Cek Fakta Tempo
adalah organisasi kredible mengenai fakta kesehatan.
Atau kalo kamu ingin dapetin informasi terkait klaim yang beredar di media sosial bisa langsung kunjungi laman https://cekfakta.tempo.co/ atau WA cek fakta tempo di 081315777057
Semua yang saya jelasin diatas selengkapnya ada di video youtube dibawah ini ya :)
Penutup
Kerja melawan hoaks penuh tantangan, pemerintah nggak bisa sendiri, tapi harus kolaborasi. Salah satunya bloger yang dunianya tulis menulis. Maka penting buat kita untuk ngasih artikel edukatif. Menulis konten kesehatan itu berhubungan dengan nyawa manusia.
Semoga dengan kolaborasi berbagai pihak, literasi digital masyarakat semakin membaik. Minimal punya kesadaran untuk saring sebelum sharing. Berpikir kritis dan mengelola emosi dengan baik.
Sehingga lebih nggak mudah percaya pada berita menyesatkan bernama hoaks. Hingga akhirnya masyarakat dan kita semua hanya sharing berita baik yang valid dan bisa dipertanggung jawabkan.
Ayo bersama keluar dari jerat pandemi salah satunya dengan menangkal hoaks.
Salam kenal dan salam perpisahan para narasumber live streaming talkshow Tempo. Makasih kesempatannya :) |
Jalan-jalan ke panti
jompo
Jangan lupa membawa beras
Bangga dengan TEMPO
Yang terus perangi hoaks
Kembali berwisata
Sembari berburu soto
babat
Terus cek fakta
Agar Indonesia sehat dan
selamat
(Devie Rahmawati)
Omong-omong,
kalian punya tips apalagi nih untuk memutus hoaks di tengah pandemi Covid-19?
Yuk berbagi di kolom komentar
Salam
Betul. Sebagai bloger kita juga harus hati2. Jangan sampai justru kita jadi penyambung rantai hoaks di dunia maya, ya
BalasHapusTantangan menangkal hoaks alias berita bohong ini memang banyak tapi bukan berarti kita tidak bisa melakukannya. Kerja sama dan komitmen insyaallah bisa dong ya mengalahkan semua itu. Yuk kita sebarkan konten positif untuk mengalahkan hoaks
BalasHapusMasyaALLAH TabarokALLAH, kece bangeett dirimu sist !
BalasHapustrus berkibar dan menebar kemanfaatan ya.
Memang yg namanya hoax tuh kayak kanker, menjalar ke mana2.
Susah buat ngobatinnya
Keren banget mb Septi. Kangen denger suaranya yang renyah dan riang. Iya nih, masih pe-er banget menangkal hoaks. Belum lagi kalau penyebar hoaks ditegur malah galak.
BalasHapusYuk, cek & ricek sebelum sharing...
Bener banget sekarang tuh yang namanya sebaran berita bohong dan ujaran kebencian lebih dipercaya sebagian manusia daripada fakta dan data.. mungkin krna manusia pd dasarnya hanya ingin mendengar apa yg ia dengar..jadi krna maunya dengar yg hoax maka telinga dan hatinya tidak bisa terima kalau info yang datang bukan hoax
BalasHapusKeren mbak Anggraeni, jadi salah satu pembicara dalam acara Tempo Cek Fakta.
BalasHapusHoaks ini emang bikin gerah ya mbak, kadang bisa bikin uring-uringan juga buat saya. Apalagi saat menegur seseorang yang menyebarkan berita hoaks di group wa, padahal saya negurnya japri lho, nggak di group. Eh malah dianya nggak terima, terus menyinggung dan bawa masalah saya negur itu ke di group.
Memang menjadi pr tersendiri bagi masyarakat agar bisa menangkal hoax. Apalagi zaman sekarang era digital, setiap informasi terbaru akan dwngan mudah kita dapatkan, padahal belum tentu juga semua itu benar. Btw selamat mbak Septi menjadi salah satu pembicara di acara ini.
BalasHapusnarasumbernya kerennnn....
BalasHapusselain dari Tempo, Mbak Anita Wahid juga ada Mbak Septi
Tempo emang keren ya? Peduli untuk meningkatkan literasi bangsa Indonesia
Aku kasih tepuk tangan yang meriahh, keren mbaa
BalasHapusTempo itu emang media yang aku suka dari dulu.
Wah seru banget mba bisa gabung sama pembicara-pembicara hebat. Apalagi ini misinya mulia lagi, memberantas hoaks di tengah pandemi Covid-19.
BalasHapusBeginilah susahnya hidup di era disrupsi dan disnformasi ya mba. Tantangannya terkait pemberitaan dan informasi sangat besar. Meski demikian, kita yang mengerti ini jangan putus mengedukasi.
Terbaikkkk emang mama Lui ini!
BalasHapusBtw yang klikbait itu nyebelin ya, judulnya memancing, dan discreenshoot sebagian orang yang suka nyebarin hoax, buat dipajang di medsos, sering kayak gini langsung banjir komentar, padahal ya isinya lain, ckckckckck
MasyaAllah keren euy, dirimu. Rezeki banget bisa bergabung sama pembicara-pembicara keren. Untuk menangkal hoax ini memang perlu edukasi, mbak. Alhamdulillah, saya juga terbiasa diingatkan untuk 3B sebelum menyebarkan sebuah berita, apakah informasinya baik, apakah informasinya benar, dan apakah informasinya bermanfaat bila kita sebarkan. Mantap kakak, sukses terus. Bersama kita tangkal hoax.
BalasHapusBersama Tempo membuka ruang cakrawala informasi menjadi lebih baik salah satunya mengerti cara tangkal hoax
BalasHapusPentingnya mengontrol emosi ya kalau kayak gini, biar enggak terpancing Hoax, kebanyakan karena gak bisa mikir jernih ya. Thanks infonya, Mbk
BalasHapusKeren banget Mbak bisa hadir sebagai nasarumber bareng pemateri2 keren di Tempo. Ku ketinggalan ikut acara kive streamingnya ini untung ada rekamannya ya. Bahasannya menarik nih, saat ini sudah banyak yah edukasi untuk menangkal hoax ini tapi masih ada aja yang percaya gitu. Untungnya di Tempo sendiri ada laman ya buat kita bisa cek sendiri mengenai suatu berita apakah itu fakta atau hoax.
BalasHapusAku berdiri dan bertepuk tangan dong, mosok lempar panci hihihi
BalasHapusKeren Mbak Septi, salut untuk inspirasinya dalam melawan hoaks as a blogger. Semoga makin sukses ke depan ya...Semangat kita berantas hoaks dengan menulis banyak hal bermanfaat:)
Setuju banget kalau HOAKS itu termasuk salah satu SILENT KILLER. Apalagi jika berita yang disebarkan itu sedikit banyak berpengaruh pada sendi-sendi kehidupan yang krusial. Yang tak punya kemampuan menyaring, berpikir kritis atau kurang ilmu pengetahuannya, bisa dengan mudah terpengaruh.
BalasHapusTapi dibalik semuanya, menurut saya, tanggung jawab utama agar HOAKS tidak tersebar adalah TANGGUNGJAWAB MORAL dari si pembuat berita. Jika kesadaran ini muncul di setiap nurani para pembuat berita, inshaAllah yang namanya hoaks tidak akan ada.
Jadi diingatkan lagi kalau menjadi seorang bloger itu ada tanggungjawab moril tentang info yang disebarkan melalui tulisan.
BalasHapusMasyarakat harus tetap diedukasi tentang berita hoaks juga. Untung banget Tempo menyediakan informasi valid yang dapat dijadikan rujukan ya, sebuah berita benar atau hanya hoaks semata.
Dengan banyaknya blogger yang ada di tanah air, maka besar juga senjata untuk memerangi hoaks dengan media blog. Karena hingga saat ini, memang hoaks masih meresahkan. Khususnya bagi mereka yang terbatas aksesnya untuk cek fakta ....
BalasHapusberita hoaks memang perlu diberantas, apalagi bila ada berita yang dapat mempengaruhi kehidupan, jadi jangan telan langsung harus ditelaah terlebih dahulu beritanya
BalasHapusHoaks memang kayak belut, lincahhh banget, susah ditangkep juga ya.
BalasHapusYang jelas, kolaborasi semua pihak diperlukan, agar kita bs melawan hoax.
Hoax yang cukup masif ini memang kudu cerdas kita menangkalnya. Jangan lagi disebarkan, atau malah dikomentari postingannya, yang ada malah tambah view ya
BalasHapusHoaks nih kenapa ya susah diberantas suka gemes sendiri saya ama penggemar berita hoaks padahal masih banyak berita baik dan bisa jadi inspirasi serta menyejukkan ya mbak..
BalasHapusPernah baca status seseorang kalau mau hidup tenang, berhenti ngikutin berita atau apa pun yang membahas corona.. Tapi apa yang ada? Kita hanya hidup dalam ketenangan semu penuh kepalsuan...bahkan jadi mudah termakan hoax karena menutup mata pada informasi yang benar.
BalasHapusYang penting kita punya filtrasi ya, berita seperti apa yang perlu kita ikuti dan tidak. Itu saja untuk manajemen hati dan pikiran.
Menurut saya peran blogger pada masa pandemi adalah menjadi SALAH SATU sumber fakta. Karena kita menjadi pembuat informasi melalui tulisan di blog yang bisa diakses kapan saja dimana saja, dan diakses siapapun. <-- Yess, sepakat banget, Mbak.
BalasHapusBtw, dirimu keren banget ih, yuk, banjiri dunia digital dengan konten2 yang jujur, informatif, damai, dan bermanfaat bagi masyarakat digital kita. Dan juga cerahkan warga digital agar mampu membedakan yang mana hoax dan mana berita terpercaya, sehingga tidak menimbulkan kesesatan dan kekacauan, terutama di masa pandemi ini, yess?
Tantangan untuk blogger ini. Bikin tulisan jangan sekedar curhat, tapi penting untuk memberikan informasi yang benar dan bermanfaat.
BalasHapusYang paling sebel adalah ketika itu berita hoax, maka semakin orang menyukainya dan lebih dibesar-besarkan lagi. Bener-bener bikin resah kalau yang terkan hoax adalah orang yang mudah menerima berita apa adanya ((misalnya orangtua, orang yang tinggal di daerah pedesaan, minim akses internet, dan lin-lain)).
BalasHapusKemampuan check and ricek juga kecerdasan mengelola emosi, ini sih yang aku setuju banget.
Setuju nih, selain virus itu sendiri, yang cukup berbahaya dan juga sangat menular adalah bahaya Hoax. Bahkan sampai saat ini masih ada yang ngak mau vaksin dan ngak percaya dengan virus, padahal di sekelilingnya banyak yang terkena dan berujung pada kematian. Semoga makin banyak elemen masyarakat yang ikut berpartisipasi membrantas bahaya hoax dan fitnah.
BalasHapusProud of you, kece ih jadi pematerin di acara semenarik dan sebermanfaat ini
BalasHapusYes, blogger juga punya andil dalam memberantas hoaks ya
Sebagai blogger kita juga punya tanggung jawab ya memberikan berita yang benar dan jangan sampai turut menyebarkan hoax ke pembaca kita
BalasHapusPenyebaran hoaks selama pandemi ini memang gila-gilaan. Bikin orang jadi gak mau vaksilah, menganggap remeh protokol, dan lain-lain. Gemes! Paling parah memang penyebaran hoaks lewat grup-grup whatsap. Hoaks tentang isu kesehatan termasuk yang tertinggi.
BalasHapusAncaman hoax selama masa pandemi setahun ini luar biasa ya mbak. Beruntun Dan semuanya kacau. Kasihan para orang tua yang memakan informasinya mentah-mentah begitu
BalasHapusBener mbak, kita harus pinter memfilter semua berita yang kita terima.
BalasHapusAkupun lelah membaca berita tentang Corona, udah jarang buka sosmed, beberapa saya uninstall. Paling baca status wa orang-orang terdekat. Mending buka YouTube, dengan berita-berita edukasi, bbc earth, Narasi, dan so pasti kajian untuk naman iman.