Pernah nggak
sih, kalian kerja setiap hari, dari pagi bahkan sampai malam tapi malah nggak
bahagia? Yang ada malah ngerasa capek sendiri padahal kerjanya lagi santai. Atau
ngerasa kerjaan begitu-begitu saja dan kita ngerasa nggak berharga. Hmm,
sejujurnya saya pernah.
Setiap matahari
pagi datang rasanya nggak semangat dan tarik selimut lagi, kerja sering telat,
dan akhirnya aku memutuskan resign hehe. Katanya sih, hal itu disebabkan
burnout. Apa itu burnout?
Pada dunia
kerja, istilah burnout adalah istilah baru yang digunakan untuk
menunjukkan satu jenis stres. Para ahli mengatakan burnout adalah suatu
sindrom kelelahan fisik, emosional dan mental. Hal ini juga ditunjang oleh perasaan
rendahnya self esteem dan self efficacy. Penyebabnya stres yang intens dan berkepanjangan.
Biasanya reaksi
emosional ini dirasakan pada mereka yang bekerja pada pelayanan kemanusiaan dan
bekerja erat dengan masyarakat. Penderita burnout banyak dijumpai pada
anggota polisi, guru, pekerja sosial dan perawat di rumah sakit. Jadi burnout
banyak dialami oleh mereka yang pekerjaannya melayani orang lain dan bekerja
dengan orang banyak.
Apalagi seperti
saat ini dimana ritme hidup yang berubah drastis akibat pandemi. Penelitian
dari Program Studi Magister Kedokteran Kerja FKUI menunjukkan fakta bahwa
sebanyak 83% tenaga kesehatan di Indonesia mengalami burnout syndrome
derajat sedang dan berat. Hal ini secara psikologis berdampak pada kualitas
hidup dan produktivitas kerja dalam pelayanan kesehatan.
Semua
pekerjaan berisiko menjadikan kita mengalami burnout. Termasuk pekerjaan
sebagai ibu rumah tangga. Kewajiban ganda akibat sekolah di rumah dan beban
pekerjaan rumah tangga semakin meningkat bisa menyebabkan para Ibu juga bisa mengalami
burnout.
Ciri-ciri Burnout
Para ahli (Baron
dan Greenberg) memberi gambaran ciri penderita burnout seperti dibawah
ini :
1.
Kelelahan fisik
2.
Kelelahan emosional
3. Kelelahan sikap/mental
(sinisme, penilaian
negatif pada orang lain atau pekerjaan sendiri)
4.
Perasaan tidak penting (penghargaan diri
rendah)
Penyebab Burnout
Beberapa
penelitian menyebutkan sebab burnout sangat luas. Ada yang berasal dari
pribadi atau dari organisasi. Misalnya kondisi jabatan yang menyiratkan
usaha-usaha seseorang dalam bekerja sia-sia, tidak berguna, tidak efektif, dan
tidak dihargai. Dari kondisi ini maka semakin rendah penghargaan diri.
Atau
kurangnya kesempatan untuk promosi dan adanya prosedur aturan-aturan yang kaku,
tidak fleksible sehingga membuat orang terjebak pada sistem yang tidak adil.
Akhirnya mamandang negatif pekerjaan yang dipegang. Bisa juga dari organisasi
misalnya gaya kepemimpinan yang diterapkan atasan atau supervisor.
Bagaimana Mengatasi Burnout
Evaluasi Tujuan
Menetapkan
tujuan yang DIRI SENDIRI sebagai kendalinya, bukan orang lain. Hal ini karena tujuan
adalah penggerak otak manusia. Tujuan yang menggantungkan hasilnya pada orang
lain rawan menghasilkan perasaan frustasi. Bagaimana teknisnya?
Lebih baik
mengatakan “aku akan menyelesaikan tugas sesuai job disc dan selesai sebelum
jam 17.00 WIB” daripada mengatakan “aku ingin bos selalu mengerti perasaanku
dan menghargai hasil kerjaku”. Karena jika kita kerja mati-matian tapi bos
nggak kasih pujian, kita nggak bakal stres.
Tujuan yang
dibuat pun harus terukur dan spesifik, misalnya “aku ingin menurunkan berat
badan 5 kg dalam sebulan” daripada mengatakan “aku ingin lebih kurus lagi”. Jika
tujuan nggak terukur, tangan dan kaki kita nggak kemana-mana.
Menetapkan
tujuan juga harus Selaras atau realistis. Misalnya “aku ingin menjadi perawat
teladan yang nggak akan pernah libur” padahal hal ini tentu tidak selaras
apalagi jika sang perawat sudah berumah tangga. Hati kecil akan menolak tujuan
ini.
Reframing
Joseph
Campbell, penulis Amerika mengatakan ‘Life without meaning. You bring the
meaning to it. The meaning of life is whatever you ascribe it to be. Being
alive is the meaning’. Kurang lebih artinya
adalah kehidupan ini tanpa makna, kita sendiri
yang kasih makna terhadap hidup.
Hantaman pandemi covid-19 bisa dimaknai bencana pada sebagian tenaga
kesehatan karena beban
kerja bertambah termasuk resikonya (kematian).
Namun bagi sebagian tenaga kesehatan lain menjadi anugerah karena ilmunya
bisa bermanfaat digunakan untuk menolong pasien.
Sesungguhnya setiap peristiwa adalah netral, alias tidak membawa
makna. Namun, kita sendiri yang melekatkan makna kepadanya. Manusia
bisa bahagia, sedih, nelangsa, marah, atau
kecewa karena makna. Bahkan kita mengeluh jenuh atau bersyukur itu juga
karena makna.
Ketika
peristiwa dibingkai makna dan menghasilkan emosi, akan mendorong manusia
bereaksi. Makna pertama yang kita pilih dari suatu peristiwa disebut framing.
Frame mempengaruhi respon dalam bentuk tindakan atau
perilaku.
Misalnya suami
bilang “kamu nggak usah kerja lagi ya, dirumah saja karena anak butuh
ditemani belajar daring”, jika
saya memaknai omongan suami adalah bentuk
pengekangan, maka tentu saja perilaku saya yang muncul
adalah kesal dan marah.
Namun frame
bisa diubah. Caranya dengan memperluas cara pandang kita, hingga menjangkau
persepsi orang lain. Penggantian makna baru ini disebut reframing. Reframing
harus memberdayakan agar responnya menjadi positif.
Seperti
kisah suami yang menyuruh istrinya berhenti bekerja jika dimaknai kembali (reframing) “oh
suamiku bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga, sehingga mau banting
tulang memenuhi kebutuhan rumah tangga”,
tentu saja respon sang istri berbeda dari sebelumnya, dari kesal menjadi
bersyukur. Atau makna baru “oh mungkin pekerjaanku
diluar sangat menyita waktu sehingga anak kurang ditemani waktu belajar padahal
suami sibuk kerja” tentu
respon si istri menjadi evaluatif.
Karena burnout biasanya diderita oleh mereka yang
pekerjaannya melayani orang lain dan bekerja dengan orang banyak, maka reframingnya
adalah dengan mengubah makna sesuai pekerjaannya.
Misalnya pekerjaan
perawat dimaknai kembali sebagai pekerjaan terbaik karena tenaga kesehatan
sangat dibutuhkan berada di garda terdepan penanganan pandemi. Kita jadi bisa menjadi
“jalan” menyelamatkan banyak pasien karena penyakit Korona sangat mematikan.
Pekerjaan pada
Lembaga Sosial Kemasyarakatan dimaknai sebagai tabungan akherat, karena harus
melayani masyarakat meski mendapat uang tak seberapa asal cukup. Alhamdulillah
bisa berkontribusi untuk orang banyak.
Intinya, hayati kembali dampak pekerjaan kita bagi diri, keluarga, dan masyarakat. InsyaAllah bisa menguatkan. Saya pernah
menulis reframing untuk Ibu rumah tangga di link bawah ini ya.
(Baca juga : Reframing Ibu Rumah Tangga)
Melakukan Hobby
Masa pandemi
ini mulai banyak hobby baru yang aman, seperti bersepeda. Olahraga bisa memacu
hormon bahagia. Bila perlu, bergabung juga pada komunitas hobby, karena terkadang
pada komunitas kita bisa saling memotivasi, berbagi informasi, atau bahkan bergembira
bersama.
Alhamdulillah setelah resign dari pekerjaan 9-18 saya punya minat baru yakni menulis. Maka lahirlah blog ini yang membawa saya pada banyak jaringan pertemanan. Berkomunitas menambah teman untuk silaturahmi. Terkadang jika berkunjung ke blog rekan blogger, saya merasa masalah yang saya hadapi nggak ada apa-apanya dibandingkan beban yang mereka pikul. Disitu saya jadi bersyukur. Stres pun mereda.
Karena menulis pula, saya berani mencoba tantangan dengan mengikuti kompetisi blog. Dari hasil sayembara menulis tersebut, makin banyaklah teman. Bertambah pula ilmu yang didapat dari mereka.
Tadabur Alam
Mungkin sesekali butuh berhenti sejenak untuk menghayati kebesaranNya. Bisa
ke pantai, atau sesederhana naik genting liat langit dan bintang malam. Sebagai
penguat bahwa ada Allah yang senantiasa bersama kita menghadapi segala masalah.
(Baca juga : Menangkal Jenuh Kala Pandemi dengan Reframing)
Berkunjung Pada Yang Ahli
Jika gejalanya tak semakin membaik, alangkah bijaknya jika mendatangi tenaga ahli untuk menegakkan diagnosa. Kita bisa konsultasi ke psikolog atau psikiater (dokter spesialis kejiwaan) sehingga benang kusut yang dihadapi pada pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik.
Tidak perlu meyakini ciri-ciri yang kita alami dari satu bacaan artikel, karena takutnya bisa menghipnotis diri sendiri dengan kuat. Oleh sebab itu, kita harus punya data, kalaupun ciri-cirinya cocok, apakah terjadi setiap saat, berapa kali, hitung persentasenya.
Jika akhirnya mendatangi ahli untuk menegakkan diagnosa dan benar ciri-cirinya adalah gejala burnout, maka mereka akan memberi solusi sesuai masalahnya. Sehingga harapannya semakin produktif dalam berkarya di pekerjaan bidang apapun.
Jadi, yuk kita kenali diri apakah sedang mengalami burnout. Jika
iya, mari kaji ulang tujuan yang ditetapkan, lalu ubah makna semua peristiwa
(reframing), mulai lakukan hobby, bila perlu jeda sebentar untuk tadabur alam
dan jika kondisinya tak membaik segera kunjungi ahli ya.
Referensi :
Haryanto F. Rosyid, Burnout :
Penghambat Produktifitas Yang Perlu Dicermati, Buletin Psikologi, Tahun IV,
Nomor 1, Agustus 1996
https://fk.ui.ac.id/infosehat/banyak-tenaga-kesehatan-alami-burnout-selama-pandemi-kualitas-layanan-bisa-terdampak/
nice insight mbak septi.
BalasHapusReframing memang sangat penting karena akan sangat memengaruhi respon kita pada suatu peristiwa ya.. Sebagai ibu rumah tangga saya juga mengalami proses perubahan frame ini dan saya maknai sebagai perjalanan spiritual.
Thank you for sharing
makasih sharingnya
BalasHapusBurnout = lelah beib hehehe...
BalasHapusIya sih, ketika hantaman tekanan datang bertubi-tubi tiada henti hingga akhir hari, pastinya capek juga. Capek fisik, capek mental.
Kalau saya, lagi nyoba mensyukuri apapun itu capeknya sebagai cara-Nya membuat saya menjadi pribadi yang bermanfaat. Mungkin supaya saya menjadi orang yang terbaik di hadapan-Nya, karena Rasulullah pernah berkata bahwa sebaik-baiknya orang adalah yang paling banyak manfaatnya.
Bukan begitu?