Menangkal Jenuh di Kala Pandemi dengan Reframing (Membingkai Makna)


Mungkin tak pernah terlintas dalam pikiran atau gambaran kita, akan mengalami masa pandemi Covid-19 ini. Mungkin cerita the black death yang hampir memusnahkan Eropa hanya nyanyian yang pernah kita dengar dalam berita televisi sambil lalu saja. ‘Oh dulu ada cerita penyakis pes yang membunuh 60% persen populasi Eropa ya’ respon ungkapan itu aja yang muncul tanpa kita menghayati bagaimana pandemi ini menjadi sejarah kesehatan dunia.

Hingga tahun 2020 menjadi catatan betapa pandemi Covid-19 yang menjangkiti banyak negara dunia, termasuk Indonesia telah ikut kita rasakan langsung dampaknya. 



Sudah sebulan lebih kita dituntut dipingit di dalam rumah, apalagi di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa kota besar, termasuk tempat tinggal saya –Surabaya Raya- . Karena Covid-19 sangat cepat penularannya apalagi dengan bersentuhan, maka digalakkan seruan physical distancing.

Bagi kita yang terbiasa berinteraksi sosial, hal ini tentu tidak mudah. Stay at home dampaknya banyak, ekonomi salah satunya. Untuk sebagian orang ada yang memutar otak untuk meneruskan mencari rezeki di masa yang semakin sulit ini. 

Dampak psikologis tentu saja rasa jenuh yang kian mendera, karena semakin panjang seruan untuk terus isolasi di rumah. Meski sehari-hari saya banyak menghabiskan waktu di rumah, namun tak pernah dalam waktu 24/7. Ada kalanya berkumpul dengan keluarga besar, ada kalanya jalan-jalan di mall untuk sekedar jajan pentol gila level 5, atau sesekali liputan bersama teman-teman bloger. Saling bercanda dan bergembira.

Semua berubah sejak negara api menyerang. Sekarang harus berkutat dengan anak, suami, tembok dan dapur. Mencuci piring 1.700 kali, TV nyala seharian untuk rungon-rungon (dengar-dengar saja), AC bekerja hampir 24 jam, semakin kreatif (dan pusing) menyiapkan bahan bermain dan belajar agar kegiatan di rumah tetap menarik. Mengajari cara cuci tangan dan memastikan anak tetap nyaman di dalam rumah. 

Jenuh rasanya, ingin sesekali menghirup udara dingin mall, berlama-lama ngintip judul baru di toko buku, dan pegang-pegang barang di toko mainan lalu beli untuk anak. Jenuh kian parah karena menelan kekecewaan. Sebabnya saya merencakan untuk liburan bertiga pada bulan Maret kemarin.

Kadang saya merenung ‘seandainya pandemi nggak ada’ atau penyesalan ‘seandainya aku kemarin begini, sehingga saat pandemi aku bisa begitu’.

Tak ada yang tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Atau jangan-jangan lebih lama dari perkiraan kita (bahkan pemerintah). Lalu setelah pandemi, uban bermunculan, karena stress sepanjang karantina di rumah *elus elus rambut*

Setiap peristiwa adalah netral
Joseph Campbell, seorang penulis dari Amerika mengatakan ‘Life without meaning. You bring the meaning to it. The meaning of life is whatever you ascribe it to be. Being alive is the meaning’. Intinya adalah kehidupan ini tanpa makna, kita sendiri yang kasih makna terhadap hidup. 

Kejadian anak suka loncat-loncat bisa dimaknai bencana pada sebagian orangtua karena mengganggu fokus nonton drama korea *eaaa kok aku bisa tahu sih. Namun bagi sebagian orang tua lain menjadi anugerah karena bisa loncat adalah hal yang dinanti dari serangkaian terapi tumbuh kembang. 

Sebenarnya setiap peristiwa adalah netral, alias tidak membawa makna. Kecuali setelah kita sendiri yang melekatkan makna kepadanya. Manusia bisa sedih, nelangsa, marah, kecewa, atau bahagia karena makna. Bahkan kita mengeluh jenuh atau bersyukur itu juga karena makna. 

Ketika peristiwa dibingkai makna dan menghasilkan emosi, akan mendorong manusia bereaksi. Makna pertama yang kita pilih dari suatu peristiwa disebut framing. Frame mempengaruhi respon dalam bentuk tindakan/perilaku. Misalnya menyuruh Luigi diam saat ia keasyikan loncat di kasur dan Luigi menjawab ‘nanti aja Mah sampe aku capek’, jika saya memaknai jawaban Luigi adalah dia sedang ngelawan emaknya, maka tentu saja perilaku saya yang muncul adalah kesal dan marah.

Namun frame bisa diubah. Caranya dengan memperluas cara pandang kita, hingga menjangkau persepsi orang lain. Penggantian makna baru ini disebut reframing. Reframing harus memberdayakan agar responnya menjadi positif.

Seperti kisah Luigi yang loncat di kasur jika saya maknai kembali (reframing) ‘oh anakku sehat wajar butuh menyalurkan energinya yang besar’, tentu saja respon saya berbeda dari sebelumnya, dari kesal menjadi bersyukur. Atau makna baru ‘oh di rumah nggak ada kegiatan motorik kasar yang asyik, makanya kasur jadi sararan’ tentu  respon saya evaluatif dan kreatif mencari aktivitas yang yang menarik. 

Baca juga : Reframing Seorang Ibu Rumah Tangga

Sebab jenuh
Apa sih yang bikin kita jenuh di rumah aja? Karena mungkin melakukan pekerjaan monoton selama 24 jam. Belum lagi tidak ada interaksi sosial karena seruan jaga jarak, belum lagi keuangan yang kembang kempis. Nonton berita di TV isinya Korona melulu, buka WA grup isinya Korona, lihat timeline Facebook bahasannya Korona. Korona ada di mana-mana *mumet gegara si Korona

Semakin jenuh karena kurang memaknai kenapa harus dirumah aja dan hikmahnya buat kita dan keluarga. 

Reframing 
Jika sebelumnya saya merenung sambil setengah bermimpi ‘seandainya pandemi nggak ada’ atau penyesalan ‘seandainya aku kemarin begini, sehingga saat pandemi aku bisa begitu’ yang ada saya nggak kemana-mana. Kaki dan tangan tetep meluk bantal dan guling sambil sesekali menangisi keadaan.

Tapi manusia ini satu-satunya makhluk Allah yang diberi akal, dalam keadaan sulit ia pasti berupaya mencari jalan keluar. Salah satunya mencari cara bagaimana agar tetap bahagia dengan mamaknai ulang yang sedang terjadi. 

Yang tadi meratap, yuk kita ubah dengan menerima kenyataan, bahwa pandemi ini nyata dan butuh waktu yang lama untuk kembali normal. Kita tidak sedang bermimpi yang ketika bangun tidur bisa bergegas ke mall. Menerima kenyataan memang butuh perjuangan, tapi toh mau gimana lagi. 

Kedua yuk kita reframe lagi segala makna yang tidak memberdayakan selama masa karantina ini. Jika sebelumnya memaknai masa pandemi adalah masa krisis, bikin anak-anak jadi terpaksa homescholling, bikin keuangan kita carut marut, dan gara-gara Korona bikin kita nggak leluasa pergi keluar rumah, maka kita ubah makna dengan cara yang mencerahkan agar respon perilakunya lebih positif. 

Cara reframingnya adalah dengan bersyukur meski di rumah aja. Bangun tidur masih bisa menikmati udara pagi tanpa sesak napas adalah sebuah kemewahan tiada banding. Kita tidak bisa membayangkan jika salah satu yang dikabarkan terjangkit Covid-19 adalah saudara dekat kita, atau bahkan kita sendiri.

Sendirian di dalam ruang perawatan tanpa keluarga yang menjaga dan berkunjung. Belum lagi melewati serangkaian penanganan yang ketat dan proses yang tidak sebentar. Tak tahu akankah berakhir pulang ke rumah atau pulang kepada sang pemilik jiwa. Sehingga, pengabnya rumah lebih baik daripada merasakan dinginnya ruang isolasi. 

Bersyukur di dalam rumah masih dekat dengan keluarga, anak dan suami. Karena semakin pandemi mengalami puncaknya, semakin lama pula para tenaga medis tidak bertemu keluarganya di rumah. Mereka pasti dilema, mau pulang takut membawa penyakit, sehingga memilih menginap di tempat lain.

Karena pelarangan mudik dari pemerintah juga, banyak anak-anak yang untuk sementara tidak bisa bertemu Ayahnya yang sedang mencari rezeki di tempat jauh. 

Tidak apa-apa berkutat mengajari anak dan menemaninya sepanjang hari, daripada berjauhan karena terpisah jarak. Jarak rumah petak pengab dan rumah sakit. 

Jika kita anggap pandemi adalah masa krisis keuangan keluarga, ingatlah berita yang berseliweran di media massa mengenai banyaknya pemutusan kerja oleh perusahaan. Kadang saya pernah menangis, bagaimana jika pandemi berlangsung lama. Namun kembali bersyukur Alhamdulillah masih ada tabungan dan dana darurat. Diluar sana banyak yang bahkan harus berpikir makan apa untuk esok.

Dengan bersyukur akhirnya jauh dari respon menggerutu, malah semakin meningkatkan empati pada sesama. Meski serba sulit tapi masih bisa sedikit berkontribusi untuk menangani dampak pandemi meski kepada yang terdekat.

Karena Korona kita tak menyepelehkan hal kecil namun berefek sangat besar. Salah satunya menjaga kebersihan dengan cuci tangan. Sepele, tapi justru yang penting. Ada sebuah hadist mengatakan kebersihan sebagian dari iman. Mungkin ini saatnya kita perkuat iman dengan pola hidup bersih.  

Seperti kalimat saya diawal bahwa manusia ini satu-satunya makhluk Allah yang diberi akal, dalam keadaan sulit ia pasti berupaya mencari jalan keluar. Mungkin tidak terpikir oleh saya yang malas masak akhirnya harus turun gunung ke dapur. Karena meyakini bahwa masakan di rumah meski sederhana namun sehat dan lebih bersih daripada beli di luar. Dan insyaAllah seumur hidup saya, saya berniat untuk jualan kecil-kecilan. *semoga terlaksana *jangan lupa dibeli :p 

Meski diisolasi di rumah, Alhamdulillah pandemi ada pada zaman internet. Jika jenuh melanda bisa berselancar di dunia maya. Akses untuk belajar dan meningkatkan skill ada banyak, tinggal pilih yang sesuai minat. Bahkan kita tetap dapat nonton konser meski di dalam kamar. Ruang pertemuan berubah menjadi komunikasi virtual, dan ini akan menjadi sebuah kebiasaan baru, nantinya. 

Alhamdulillah Alhamdulillah, bersyukur meski tak lagi normal.

Itulah beberapa pemaknaan baru yang bisa kita usahakan untuk menangkal jenuh. Kita arahkan pikiran menjadi lebih memberdayakan. Sehingga sikap kita akan positif menghadapinya. 

***

Sejujurnya di rumah saja membuat saya menyadari bahwa akhirnya sepatu dan tas bagus nggak ada artinya lagi. Selama di rumah saya memakai apa yang saya butuhkan, bukan apa yang saya inginkan. 

Kehidupan stay at home entah kapan berakhir. Namun semoga kebiasaan baru yang terbentuk karena karantina mandiri ini bisa diteruskan. Gaya hidup sehat, menghargai lingkungan, melihat sekitar dan tentunya terus solutif meski dalam kondisi sulit. 

Salam sehat buat semuanya, semoga kita termasuk orang-orang yang selamat saat pemerintah mengumumkan pandemi Covid-19 telah usai. 


Salam
Anggraeni Septi

31 komentar

  1. Banyak hal berubah karena corona.. Manusia harus bisa menyesuaikan diri meskipun pahit rasanya. Mau tak mau harus dijalani dengan rutinitas yang baru.

    Tetap di rumah dan tetap produktif berkarya


    www.ipung.net

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mas, tetep produktif aja dirumah. InsyaAllah semua ada hikmahnya ya :))

      Salam

      Hapus
  2. Tulisan yang memberdayakan😍😍. Love it😘

    BalasHapus
  3. Masa lalu diberikan bukan untuk disesali, tapi untuk dijadikan pelajaran.
    Stop. Step back. Reframe. And when we open our eyes, we'll see life from different view.
    Terimakasih :)

    BalasHapus
  4. Salam sehat juga, kak.
    Terimakasih telah berbagi kisah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam sehat juga buat Kakak :)) Kembali kasih

      Hapus
    2. Balik lagi mampir disini sambil tanya, sekarang masih kerasa bosan ngga stay lama di rumah, kak 🤭 ?

      Hapus
  5. Setiap manusia pasti ada rasa jenuh dalam hidup apapun bentuknya. Seperti yang telah dijelaskan diatas dengan lengkap dan Real, Tentang bagaimana bertahan dirumah karena Covid 19 yang belum kita tahu kapan berakhirnya.😊😊


    Akan tetapi mau tidak mau. Enak tidak kita harus menerima kenyataan bahwa Covid 19 kini merajarela di negara kita Indonesia.

    Mungkin dengan adanya Covid 19 ini bisa jadi pelajaran berharga dalam hidup kita ini. Intinya sebagai manusia yang cerdas dan berakal tentunya kita tahu apa yang terbaik buat diri kita dan keluarga. Meski harus dirumah saja.😊😊

    Dan untuk kita ingat jika kita ikhlas semuanya meski harus dirumah tuhan tidak tidur & selalu memberi rezeki kepada umatnya. Meski terkadang harus ada duka & air mata, Semua itu pelajaran serta hikmah yang harus kita petik Selama Covid 19 belum berakhir.😊😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kak, insyaAllah pasti ada hikmahnya asal kita curi terus, cari lagi dan lagi. :))


      Semoga pandemi akan berakhir, Amin

      Hapus
  6. Astaga sudah serius baca sejak awal. Begitu di akhir cerita, "ternyata sepatu dan tas bagus nggak berarti apa-apa"

    Sungguh ini perkataan yang menohok para pengoleksi tas dan sepatu bagus euy. Yuni nggak termasuk lah ya.

    *kepedean. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. aduh aku gak bermaksud nyindir sapa2 nih mbak, wkwk :p Kadang pengen gitu goreng ikan pakai sepatu hak tinggi yang biasanya buat nonton di mall :D *elus elus sepatu *semoga gak jamuran

      Hapus
  7. Sekarang rame di timeline FB, the new normal. Untuk kondisi CoVid yang berkepanjangan. Kita jadi udah biasa di rumah aja, biasa komunikasi via Zoom, Meet, belanja online, dll...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya nih bunda, akupun andalannya ya online sekarang ini hehe

      Hapus
  8. Akupun sempat mengeluh dan menyesali keadaan, tapi segera refreming agar bisa selalu berpikiran positif. Mencerahkan sekali mbak eni postingannya. Trims ya udah mau berbagi

    BalasHapus
  9. Setiap peristiwa pasti ada hikmahnya. Tergantung cara kita memandang setiap peristiwa yang terjadi. Termasuk pandemi ini ya, Mbak. Banyak hikmah yang bisakita syukuri

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya teh, insyaAllah kita semua bisa beradaptasi sama ke abnormalan ini hehe

      Hapus
  10. Wah, tipsnya boleh juga tuh Mbak. Smoga bisa diaplikasikan juga bagi kami, para pekerja yg bukannya work from home melainkan work from hospital. Hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. semangat ya pejuang, garda terdepan dalam menangani pasien :D

      Hapus
  11. Betul sekali mba'. Dibawa enjoy aja, kalau dipikir memang jenuh dan bosan pasti melanda setelah hampir 2 bulan penuh di rumah saja. Insya Allah, semua ada hikmahnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo bosan lihat yang lebih susah daripada kita mbak, hehe

      Hapus
  12. Dua hari yang lalu aku baru saja membahas masalah new normal sama anak-anak. Mungkin nanti aku mau bikin postingan juga. Intinya kami mulai realistis sama anak. Mulai berdamai dengan cara-cara menjaga diri yang kami sebut new normal. Memang selama belum ada vaksinnya kan gak bisa jamin gak bakal tertular. Memang berat dan sedikit menakutkan, tapi kita harus realistus, life must go on.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayo lang ditulis dong, the new normalnya :D mau nyimak *eh

      Hapus
  13. Hi mba, maaf baru berkunjung balik :D

    Memang semuanya kembali pada bagaimana kita mengambil makna dari setiap kejadian yang ada. Melihat dari sudut pandang lain dan memahami nggak hanya dari satu sisi tapi dari sisi mana saja :D yang tadinya kita berpikir nggak akan bisa kalau selalu di rumah, ternyata bisa. Dan pada akhirnya kita as manusia ini punya daya survive yang tinggi, jadi dalam keadaan apapun kita ditempa, kita akan mencari cara untuk survive termasuk survive dalam menangkal kejenuhan yang terjadi akibat pandemik Corona :D

    Semoga si Coro cepat pergi ya, mba :>

    BalasHapus
  14. Semua tergantung sudut pandang kita sendiri ya, apakah di rumah saja ini termasuk berkah atau bukan.

    Bagi yang bisa bekerja dari rumah tapi tetap dapat gaji sih Alhamdulillah, tapi yang non formal itu yang terasa, tidak bekerja tidak dapat uang untuk makan anak istri. Jualan juga berkurang karena banyak karyawan di PHK atau dirumahkan tanpa gaji.

    Bingung jadinya.😔

    BalasHapus
  15. Pandemi ini benar-benar bikin lelah dan jenuh
    Kalau sebulan masih bisa bertahan, ini sudah tiga bulan, benar-benar peninglah
    Pening memenuhi kebutuhan hidup.
    ingin berpikir positif, kebutuhan hidup terus menuntutnya

    BalasHapus
  16. Wakakakakakkaka, cuci piring 1700 kali wkwkwkwkw.
    Saya cuci piring 2 kali sehari sekarang say.
    Enak juga selama puasa ini cuman bertiga.
    Jadi saya masak seadanya, kadang beli, jadi cuci piring maksimal 2 kali sehari.

    Waktunya diganti dengan kerja dan nemani anak-anak bongkar-bongkar mainan hahahaha.
    Alhamdulillah, meski kadang galau, selalu ada kelonggaran dari setiap kegalauan.

    Semangat saayy, diriku kangen ih, kapan gerangan kita bisa ketemu ngevent 30 menit, curcol 2 jam hahahaha

    BalasHapus