Siang yang terik, udara nan panas Surabaya, aku
berdiri didepan mereka
“aku mau ke Jakarta!”
Kataku seperti aktifis mahasiswa sedang antusias berdemo,
mengajukan tuntutan didepan gedung pemprof.
“disana khan tidak ada Saudara”
“tapi aku mau kerja disana”
“disana banyak kriminalitas”
“aku mau belajar, Buk. Disana juga banyak teman. Pokoknya
aku mau ke Jakarta”
Semangatku berapi-api
Itu tahun 2011. Kala itu perasaanku teraduk-aduk. Bahagia
akhirnya aku akan bekerja di Jakarta. Namun juga pilu, karena tahu pasti akan
berpisah dengan Ibuku. Yah, perpisahan adalah keniscayaan yang menyerta dalam
keputusan hidupku ini.
Kutatap dengan perasaan sedih, Ibuku dengan mata yang
berkaca-kaca.
“Cuma dua bulan, Buk. Lebaran Tia pulang ke rumah
lagi”
Siang yang panas itu disaput kabut. Langit yang
cerah, tapi tak mampu mencerahi hati kami. Kami terbenam dalam perasaan
masing-masing. Mungkin tak pernah ada dipikirannya, anak bungsunya yang manja,
yang apa-apa harus Ibuk, memutuskan merantau. Merantau jauh.
…
Aku meminta Bapak membelikan koper untuk mengusung
segala keperluanku di Jakarta. “Apa semua bajumu akan dibawa semua? Bawalah
sedikit saja. Kalau kurang, bisa Ibuk kirim. Kamu membawa semua baju, apa akan
tidak kembali?" Tanya Ibu padaku.
Kata-kata Ibu membuyarkan lamunanku akan perjuangan
di Jakarta nanti.
“oh enggak Buk, tidak semua dibawa”
Ada perasaan bergemuruh dalam dada.
Sampai akhirnya dalam jarak 700 km aku akan sampai ke
kota impian. Kota yang membawa mimpiku menari-nari. Jakarta. Aku akan berada di ibukota
(bersambung)
Baca juga : bagian 2
Baca juga : bagian 2
#30dwcjilid6.
Tidak ada komentar