Bersyukur Bisa Melahirkan Caesar

Di suatu pagi ketika memegang hp, tiba-tiba mata tertuju pada caption pada akun Instagram teman masa kuliah. Panggilannya Sonya, teman ketika di Akademi Sekretari. Dia sekarang tinggal di Jakarta bersama suaminya yang seorang vocalis Band. Singkat cerita, dia mengatakan bahwa pasca melahirkan rambutnya rontok, sehingga kangen rambut panjang. Belum lagi setelah melahirkan jahitannya sering bocor, yang akhirnya tidak boleh menggunakan korset, olahraga dan diet. Jika naik mobil yang jalannya jelek, pasti flek darah. Di kolom komentar ia juga sempat membalas komentar seorang dokter yang ia jelaskan lagi bahwa setelah melahirkan sempat bocor nanah 3 kali, bocor darah 2 kali seperti rembes dari ujung jahitan, pagi-pagi dasternya pasti rembes basah. Jika di jalanan jelek, merasa nyeri di daerah jahitan. Dia meminta bantuan rekomendasi dokter untuk masalahnya ini.

Saya membacanya pelan-pelan. Usai membaca, saya tertegun, pikiran melayang di waktu setahun yang lalu. Dimana di suatu senja, saat matahari tak lagi menampakkan dirinya, saya di vonis caesar oleh dokter kandungan dalam ruangan Rumah Sakit. Down jelas, sedih pasti. Dari awal saya bercita-cita bisa melahirkan normal tanpa banyak intervensi medis. Saya ingin seperti Ibu saya yang melahirkan saya pervaginam. Mbak saya pun demikian. Semua keluarga besar saya tidak ada yang melahirkan caesar. Dan saya tidak pernah membayangkan akan dihadapkan pada banyaknya alat-alat menyeramkan dan ‘mereka’ menyayat perut saya yang halus. Saya ketakutan dan saya merasa sendiri, tidak ada yang bisa memberi rasa aman diruangan sangat dingin itu. Malam setelah efek anastesi berakhir, rasa nyeri itu mulai datang. Mungkin batas toleransi sakit saya tidak seperti wanita diluar. Entahlah, saya tetap merasa kesakitan. Jangan ditanya bagaimana rasanya ketika suster menyuruh saya belajar duduk, apalagi ketika dipaksa jalan. Ingin melambaikan tangan di kamera. Ketika pulang kerumah pun, gerak saya jadi terbatas. Jalan harus pelan-pelan.

Setaun lebih berlalu, sekarang Luigi 15 bulan. Namun pasca caesar sampe dengan hari ini, luka caesar saya tidak pernah sekalipun bocor, tidak pernah sekalipun menyusahkan. Memang bekasnya seperti menebal, membentuk jaringan parut, namun saya merasa baik-baik saja. Sesekali rasanya gatal, yang membuat keinginan menggaruk di bekas jaitan sangat besar. Tapi tidak pernah saya lakukan. Hanya saya elus-elus saja. Ketika bersepada motor sesekali 'nyeri-nyeri sedap', tapi tidak menggangu. Bahkan diusia Luigi 31 hari saya sudah PP motoran Gresik-Surabaya setiap hari untuk mengantar ASI. Tau sendiri khan jalanan Gresik-Surabaya seperti apa. Bergelombang, lubang, dan rusak dimana-mana.

Pengalaman caesar teman diatas, membuat saya merasa bahwa metode melahirkan yang saya alami adalah anugerah dari Allah. Bukankah pertemuan dengan Luigi dengan caesar adalah yang terbaik? Dalam rujukan ke Rumah Sakit Petrokimia Gresik, dokter menuliskan Transverse and Oblique Lie”. Entah tulisannya benar atau tidak. Yang saya pahami hanya bahwa posisi anak saya melintang. Kepalanya ada di samping.  Ada dua HPL (Hari Perkiraan Lahir) versi dua dokter, HPL 1 adalah tanggal 21 Februari 2016 dan HPL 2 adalah tanggal 1 Maret 2016. Rencana caesar saya adalah 24 Februari. Namun akhirnya perut saya disayat 18 Februari 2016. Ya caesar adalah sunatullah yang realistis untuk mempertemukan saya pertama kali dengan Luigi.

Caption Sonya membuat saya bersyukur, metode kelahiran yang terkadang saya sesalkan, ternyata banyak membawa keberkahan. Saya baik-baik saja hari ini karena operasi caesar setahun yang lalu. Dengan segala resiko caesar (meski saat ini ilmu kedokteran sudah canggih) saya masih bisa bersama anak saya, tanpa harus merasakan sakit yang berlarut. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana jika saya merasakan yang teman saya rasakan. Bocor darah atau nanah dari jahitan. Pasti sangat menyiksa sekali.

Hari ini tak lagi saya membandingkan mereka yang bisa melahirkan alami. Tak lagi saya berfikir bahwa yang alami pasti yang terbaik. Yang terbaik adalah yang menyesuaikan kondisi. Biarlah saya menjadi Ibu dengan tak dilihat bagaimana cara saya melahirkan. Saya tetaplah Ibu untuk anak saya. Menjadi perempuan yang sesungguhnya tidak dilihat dari apakah dia melahirkan pervaginam atau caesar. Sampai hari ini saya seorang perempuan. Ibu untuk anak saya.

Untuk Sonya, semoga segera mendapatkan dokter terbaik ya. Dan Kent segera mendapat adek hehe. Terimakasih banyak, telah membuat saya sadar bahwa kenikmatan yang Tuhan beri itu dekat, ada di dalam diri kita. Dia bernama pengalaman pembedahan. Salah satunya merasakan nikmat melahirkan dengan Caesar.

Terimakasih untuk tim dokter yang menangani saya, diantaranya dokter spesialis anak yang cantik, dr. Natalia Ericka Jahja, Sp.A, dokter spesialis kandungan yang sabar dr. Edika Wahyulianto, Sp.OG, dan dokter spesialis anastesi.

Bekas garis melintang di perut ini adalah kenangan seumur hidup. Perjuangan saya yang tak pernah hilang dalam hati, hanya untuk bertemu dengan seorang 'pejuang'.

19 Mei 2017
#30dwcjilid6
#day3

Tidak ada komentar