Menyusuri Jalan Braga, Menuntaskan Rasa Lapar dan Bertemu Hantu

 


Sekitar jam 19.30 kami tiba di Stasiun Kiara Condong, Bandung, Jawa Barat. Hari mulai gelap. Fisik sudah semakin lelah. Gocar membawa kami menuju RaflessHom Hotel yang sudah kami pesan jauh-jauh hari melalui aplikasi platform perjalanan.


(Baca juga : Rasanya Naik Kereta Api Ekonomi)

 

Setelah membersihkan diri, kami lebih memilih melanjutkan perjalanan untuk mencari makan dan menyapa Jalan Braga pada pukul 21.00 WIB. Yaaah namanya petualangan. Meski lelah, kami nikmati saja.


Jalan Braga di jantung kota Bandung, ternyata tetap hidup meski malam semakin larut. Jalan Braga adalah jalan terusan dari Gedung Konferensi Asia Afrika.




Deru kendaraan bermotor bersautan beradu dengan suara musisi jalanan dan musisi kafe. Sejauh mata memandang, Jalan Braga sangat ramai dengan orang-orang yang kuliner, jalan-jalan atau berfoto bersama atau selfi di sepanjang jalan.




 





Dari sudut lain, suara musik di kafe atau rumah makan pun juga tak membiarkan Braga sunyi. Jujur kami bingung menentukan harus makan apa? Ingin makanan simple agar segera masuk lambung karena cacing perut sudah mulai kelaparan. Kafe yang berderet, jajanan jalanan benar-benar bikin bingung. Di kota inilah batagor, siomay, dan bakso cuangki berasal.

 

Langkah kaki terhenti di trotoar dan melirik steak di kafe SteaKation. SteaKation menawarkan berbagai pilihan steak ayam dengan saus yang menggugah selera seperti mushroom, BBQ, blackpaper, atau mentai saos. Luigi memilih BBQ saos. 


“di bungkus saja ya Kang” ujarku, karena masih ingin melanjutkan jalan-jalan.




 



Tak jauh dari kafe SteaKation, kami menemukan “Bakso Cuangkie Pangeran”. Kami pun pesan 2 untuk aku dan Luigi, dan duduk di kursi. Dua mangkok cuanki beraneka isi datang. Aroma kaldu yang khas siap menggoyang lidah.

 

Luigi memakan lahap cuanki yang dipesan. Ia sebenarnya sudah ingin beli cuanki di kereta. Satu mangko cuanki habis dalam hitungan menit. Sementara Ayah beli makanan Angkringan Jogja yang bisa kami lihat dari kaca Cuangkie Pangeran.




 













Angkringan cukup ramai apalagi ada alunan musik live dari musisi kafe. Mereka tak hentinya bernyanyi lagu cinta untuk muda-mudi yang kasmaran. Kadang mereka membawakan lagu band 90an yang membuat nostalgia masa muda. Ahaaaay.

 

Setelah kenyang, kamipun tak ingin melewatkan Jalan Braga begitu saja. Ada kereta Odong Odong sedang berhenti. Kami naik meski tidak tahu berapa biayanya. Menyusuri Jalan Braga, Jalan Asia Afrika, Jalan Ir Sukarno, dan entah jalan apa lagi.




Sesuatu terjadi saat Odong-Odong berhenti. Tiba-tiba aku dikagetin dengan hantu valak. Sumpah sampai deg degan saking tegangnya. Si hantu mencoba menenangkan aku sementara Luigi tertawa puas. Temannya hantu Suzanna pun juga mengunjungi Odong-Odong kami.




 



Ternyata mereka adalah para hantu jalanan yang tujuannya sebenarnya adalah menghibur wisatawan dengan cara misterius. Mereka pun minta sawer namun tidak memberikan tarif khusus, seikhlasnya wisatawan.

 

Meski awalnya sebel, namun aku cukup apresiasi dengan usaha mereka, dari pakaian, make up, softlense, dan semua properti yang digunakan. Sangat totalitas. Akupun memberikan 2 uang kertas untuk mereka.

 

Ternyata sepanjang jalan Braga dan Jalan Asia Afrika banyak sekali hantu yang berjajar di pinggir jalan. Yang kulihat ada hantu Mak Lampir, hantu sundel bolong, bahkan ada hantu berkepala 3, huaaaaah takut euuuuy.

 

Setelah puas menyusuri Jalan Braga dengan Odong-Odong, kami berjalan kaki menuju hotel. Hotel kami melewati gang di samping bangunan kuno yang sangat unik, khas peninggalan kolonial Belanda. 


Bangunan itu adalah gedung Warenhuis de Vries yang berseberangan dengan Gedung Merdeka dan Museum Konferensi Asia Afrika.




 



Dilansir ayokebandung, gedung yang dinamai Warenhuis de Vries tersebut awalnya merupakan sebuah toko serba ada (toserba) milik pria kebangsaan Belanda bernama Andreas de Vries.

 

Menurut Sudarsono Katam dalam Album Bandoeng Tempo Doeloe, bangunan toko tersebut telah ada sejak 1895. Gaya arsitektur yang diadopsi pada bangunan tersebut adalah Oud Indisch Stijl atau gaya Klasik Indies. Salah satu cirinya adalah memiliki tiang-tiang kolom yang besar. (sumber : ayo ke Bandung




“Sigaren Landbouw Benodigdheden Import Commissionairs Venduhouder Warenhuis De Vries Export Kunst Boek Papierhandel” adalah kalimat yang nampak pada bangunan toko De Vries.

 

Kami bertiga cukup lega menyusuri Jalan Braga. Lapar yang tuntas dan melihat sisi lain jalan yang terkenal di Bandung ini.

1 komentar

  1. Sebelum pandemi seriiing ke bandung, tapiiii yg aku tuju selalunya daerah atas, kayak Lembang 😅🤣. JD daerah macam braga ini justru ga pernah mba. Padahal asiiiik banget yaa. Apalagi skr ada banyaaak kafe dan tempat wisata asyik dr yg kubaca.

    Ketemu dengan 'hantu2' pasti JD pengalaman seru juga 🤣👍. Pengen tahu reaksi anakku

    BalasHapus