“Harta kekayaan
yang sejati adalah kesehatan, bukan kepingan emas maupun perak”, Mahatma Gandhi.
Sejak dulu,
orangtua telah berinvestasi satu hal yang sangat berharga sehingga saya dan kakak bisa tumbuh sehat. Bukan investasi saham, bukan
pula dalam bentuk reksadana. Investasi itu bernama imunisasi untuk semua
anak-anaknya.
Suntikan atau
tetesan yang dulu membuat takut, menjadikan saya sehat sehingga dapat meraih prestasi di sekolah. Sebuah kado
terbaik yang pernah Bapak dan Ibu berikan pada kami, anak-anaknya.
Kecemasan karena
suntikan memang dulu yang paling
diingat. Apalagi ada teman menangis keras ketika tiba gilirannya diimunisasi. Hingga akhirnya semua
anak-anak mendapat imunisasi baik di sekolah atau Posyandu.
Para orangtua rela
menginvestasikan imunisasi demi kesehatan anak-anaknya. Seseorang melakukan
investasi tentu ingin keuntungan. Investasi kesehatan dengan imunisasi berarti
meluangkan waktu, uang, dan tenaga untuk mendapatkan imunisasi demi kebaikan
masa depan.
Saya pun juga turut
ber-investasi kesehatan dengan mengimunisasi anak saya -Luigi- 7 tahun. Sejak
lahir, ia sudah mendapat imunisasi hepatitis B, polio, BCG, DPT, rotavirus,
campak dan lainnya.
Ketika Luigi usia
balita, Bidan dari Puskesmas Surabaya datang di Balai Pos RT. Tak ketinggalan, kami para Ibu membawa catatan KMS (Kartu Menuju Sehat)
lalu pulangnya diberi camilan dari kader kesehatan.
Ternyata “tabungan”
investasi untuk Luigi dipetik baru-baru ini. Pada pertengahan Ramadan, anak
saya mengalami diare. Syukurlah, tidak sampai rawat inap. Dokter anak memberi obat dan 3 hari
kemudian sembuh. Dokter bertanya, apakah Luigi sudah mendapat vaksin rotavirus.
Ternyata efek
vaksin itulah yang mencegah
‘diare berat’ padanya.
Dulu, saat ia berusia 2 tahun juga mengalami demam
disertai ruam merah. Awalnya hanya di punggung, lalu menjalar hingga
seluruh tubuh. Ternyata ia terkena
campak. Dokter
menyampaikan campak mudah menular, oleh karena itu Luigi harus berada di ruang
isolasi anak. Ia dirawat selama seminggu.
Karena Luigi
sudah mendapatkan imunisasi campak, gejalanya hanya ruam dan demam. Setelah sembuh
ia bisa beraktifitas seperti biasa, bermain dan bergembira bersama
teman-temannya.
Namun menurut
Guru Besar Fakultas Kedokteran Indonesia (FKUI)
Bidang Ilmu Kesehatan Anak Prof Soedjatmiko, jika tidak pernah diimunisasi maka dampak
ketika terkena campak bisa membuat
anak mengalami kejang dan radang otak.
Dr. Arifianto,
Sp.A (K) juga menuturkan, bahwa campak dapat menyebabkan kematian karena
komplikasinya berupa pheumonia juga radang otak. Tingkat penularan campak pun
sangat tinggi. Jika salah satu penderita campak berada di ruangan dengan 10
orang lain yang belum pernah diimunisasi campak, maka diperkirakan 10 orang
sehat tersebut akan terinfeksi.
Dari cerita
ini, saya ingin berbagi bahwa betapa pentingnya anak-anak mendapat imunisasi. Luigi
bisa selamat dari mengerikannya dampak ‘diare berat’ dan penyakit campak karena
imunisasi.
Prof.Dr.dr.Soedjatmiko,Sp.A(K)
pada laman Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan bahwa setelah
diimunisasi, anak memang masih bisa terkena penyakit yang bisa dicegah
dengan imunisasi namun kemungkinan kecil (5-15%), gejalanya lebih ringan
dan tidak berbahaya.
Penelitian epidemiologi
di Indonesia dan negara lain, jika ada wabah campak, difteri dan polio, anak
yang telah mendapat imunisasi dasar lengkap sangat jarang tertular. Bila
tertular pun umumnya ringan, sebentar dan tidak berbahaya.
Namun anak
yang tidak pernah mendapat imunisasi, ketika wabah datang lebih banyak yang sakit berat,
cacat bahkan meninggal. Imunisasi benar-benar terbukti sebagai investasi kesehatan yang
efektif untuk mencegah sakit berat, kematian atau cacat akibat
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).
“Imunisasi
adalah upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara
aktif terhadap suatu penyakit. Sehingga bila suatu saat berhadapan dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan” ujar
Direktur Pengelolaan Imunisasi Kemenkes dr. Prima Yosephine, MKM.
Saat SD dulu,
mungkin kalian pernah mendengar cerita dari guru bahwa penyakit cacar telah
membunuh jutaan orang. Yang mengerikan dari penyakit ini adalah tubuh akan
mengalami demam tinggi, pusing, kesulitan bernapas dan radang tenggorokan.
Selain itu terdapat luka berisi nanah di seluruh tubuh bahkan paru-paru.
Dengan keberhasilan program
imunisasi di Indonesia mampu mengeradikasi penyakit cacar bopeng
(variola/smallpox). Selain itu, pada tahun 2016 negeri kita juga berhasil
mengeliminasi tetanus pada ibu hamil dan bayi baru lahir.
Hal ini semakin
membuktikan bahwa imunisasi mampu mencegah dan menghentikan berbagai penyakit,
kecacatan juga kematian akibat PD3I.
Transformasi Imunisasi
Awalnya
program imunisasi dikenal dengan Imunisasi Dasar Lengkap. Akhirnya diperkuat
lagi paradigmanya menjadi Imunisasi Rutin Lengkap. Imunisasi rutin
lengkap terdiri dari imunisasi dasar dan lanjutan.
Hal ini karena
Imunisasi Dasar Lengkap saja, tidak cukup memberikan perlindungan terhadap PD3I
karena beberapa antigen memerlukan booster atau pemberian dosis lanjutan
saat usia 18 bulan, usia anak sekolah (melalui Bulan Imunisasi Anak Sekolah/BIAN)
dan usia dewasa (Wanita Usia Subur/WUS).
Bagaimana anak
yang tidak mendapatkan imunisasi rutin lengkap?
Anak yang
tidak diimunisasi lengkap, mereka tak punya kekebalan sempurna pada penyakit berbahaya.
Sehingga mereka gampang tertular penyakit, menderita sakit berat, mengalami cacat
bahkan meninggal dunia. Anak-anak itu juga menjadi sumber penularan penyakit
bagi orang lain.
Jika sekumpulan
anak tidak mendapat Imunisasi Rutin Lengkap mengakibatkan tidak akan terbentuk
Kekebalan Kelompok atau Herd Immunity. Hal ini bisa berdampak pada terjadinya
Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).
“sebagian
penyakit-penyakit infeksi penyebab kematian bayi dan balita dapat dicegah
dengan imunisasi seperti vaksin campak/MR, vaksin pertusis, vaksin hib, vaksin
pheumokokus, dan vaksin rotavirus. Inilah sebabnya, imunisasi menjadi hal yang
sangat penting untuk dilaksanakan di Indonesia dan harus mempunyai angka
cakupan tinggi” ujar penulis buku bestseller Berteman dengan Demam, dr. Arifianto, Sp.A (K)
Sementara itu,
baru-baru ini kasus polio terjadi di Provinsi Aceh dan Jawa Barat setelah
delapan tahun Indonesia bebas polio. Hingga akhirnya status Indonesia saat ini
menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio.
Berdasarkan
web Kementrian Kesehatan RI, penyakit polio sangat bahaya karena belum ada
obatnya. Dampaknya menyebabkan kelumpuhan kaki dan tidak bisa berjalan.
Padahal penyakit yang disebabkan virus polio ini dapat dicegah dengan imunisasi
polio lengkap (tetes bOPV atau suntik IPV).
Oleh karena itu
sangat penting dan mendesak, anak-anak mendapatkan imunisasi rutin lengkap.
Apa Saja Imunisasi
Rutin Lengkap?
Untuk bayi usia
0-11 bulan
mendapatkan imunisasi dasar lengkap yakni HBO 1 dosis, BCG 1 dosis, DPT-HB-Hib
3 dosis, Polio tetes (bOPV) 4 dosis, PCV 2 dosis, RV 3 dosis, Polio suntik
(IPV) 1 dosis dan Campak Rubela 1 dosis.
Untuk usia 12-24 bulan, sudah mendapatkan imunisasi
lanjutan Baduta lengkap yakni : DPT-HB-Hib 1 dosis, Campak Rubela 1 dosis dan
PCV 1 dosis.
Untuk anak usia
Sekolah Dasar/MI Sederajat, sudah mendapatkan imunisasi lanjutan yang ditujukan untuk
anak usia sekolah dasar yakni Campak Rubela 1 dosis dan DT 1 dosis pada anak
kelas 1 SD/sederajat. Td 1 dosis pada kelas 2 dan kelas 5 SD/sederajat dan HPV
1 dosis pada siswi kelas 5 dan kelas 6 SD/sederajat.
Kandungan dan Jenis Vaksin
Beberapa masyarakat
ada yang bimbang mengenai keamanan vaksin. Tenang saja, semua vaksin aman dan
efektif karena mengandung bahan aktif misalnya virus atau bakteri
yang merupakan antigen yang akan disuntikkan atau diteteskan sehingga
meransang antibodi terhadap antigen tersebut.
Selain itu dalam
sebotol vaksin juga mengandung Ajuvan atau bahan untuk meningkatkan
respons imun vaksin. Ada juga Stabilisator yaitu bahan tambahan yang fungsinya
untuk menjaga efektivitas vaksin dengan menjaga bahan aktif dan komponen lain
tetap stabil atau terjaga kualitasnya.
Terakhir, vaksin
mengandung pengawet untuk mencegah kontaminasi (pencemaran) bakteri dan
atau jamur ke dalam vaksin.
Untuk pembagian vaksin terbagi menjadi vaksin
hidup dan vaksin mati. Dokter Apin menyebutkan bahwa vaksin hidup
dibuat dengan cara melemahkan virus hidup atau bakteri hidup.
Ketika virus telah
dilemahkan dimasukkan ke dalam tubuh, tidak menimbulkan penyakit. Namun, virus
atau bakteri itu tetap merangsang respons imun yang adekuat. Contoh vaksin hidup
adalah vaksin campak, polio tetes, BCG, MMR, MR dan cacar air.
Sementara vaksin
mati adalah vaksin yang berupa virus atau bakteri utuh yang dimatikan atau
komponen-kompenennya saja. Contoh vaksin mati ada Hepatitis A, Influenza, Polio Suntik,
Rabies, Hib, Hepatitis B, Pheumonokokus, Meningokokus, dan Pertusis.
Vaksin hidup dan vaksin
mati ini nantinya akan berhubungan dengan imunisasi pada populasi khusus
seperti anak Imunokompromais HIV/AIDS dan Kanker.
Imunisasi Pada Anak Penyandang Disabilitas dan Imunokompromais
Pemerintah
melalui Kementrian Kesehatan telah menjamin setiap bayi dan anak di Indonesia
mendapat imunisasi yang dibutuhkan.
Memperoleh
imunisasi adalah hak setiap anak seperti yang diamanatkan Undang-Undang No.36 Tahun
2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak.
Orangtua,
masyarakat, dan negara wajib memelihara kesehatan anak, salah satunya
diwujudkan dengan memberi imunisasi rutin lengkap termasuk kepada anak
penyandang disabilitas dan Imunokompromais.
Anak Penyandang Disabilitas
Berdasarkan Pasal 1 UU No 8 Tahun 2016 Penyandang Disabilitas
adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama. Yang dalam berinteraksi dengan lingkungan
dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Adapun hak-hak penyandang disabilitas diatur dalam Pasal 5
Undang-Undang Disabilitas. Seperti Hak Hidup dan Kesehatan. Untuk hak Kesehatan,
mereka punya kesamaan dan kesempatan akses bidang Kesehatan yang aman, bermutu
dan terjangkau.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Profil Anak
Indonesia pada 2020 di laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, bahwa ada sekitar 0,79 % atau 650.000 anak penyandang
disabilitas dari 84,4 juta anak Indonesia.
Dalam pembahasan imunisasi ini, anak penyandang disabilitas
yang akan saya bahas adalah autisme, epilepsy, Cerebral Palsy (CP), dan kelainan
kongenital.
Autisme 👉 disabilitas mental
Epilepsi 👉 disabilitas mental
Cerebral Palsy 👉 disabilitas fisik
Kelainan kongenital 👉 disabilitas fisik, intelektual
atau perkembangan
Autisme
Sebenarnya autisme adalah satu dari Autism
Spectrum Disorder (ASD) yang mengalami gangguan saraf. Gangguan ini memengaruhi
kemampuan komunikasi dan berperilaku. Kadang mereka sulit mengekspresikan diri
melalui ekspresi wajah, sentuhan dan gerak tubuh.
Namun, mereka tidak punya gangguan
imunitas. Sehingga anak
autisme punya status kekebalan tubuh yang sama dengan anak-anak yang lainnya. Oleh
karena itu mereka harus diberikan imunisasi rutin lengkap, sesuai dengan jadwal
yang seharusnya.
Epilepsi dan Cerebral Palsy
Terkadang para Ibu takut nanti anaknya
jadi kejang kalau diimunisasi. Padahal menurut dr. Windhi Kresnawati, Sp. A, kejang
pada epilepsi adalah akibat gangguan elektrik di otak. Jadi kejang pada
epilepsi tidak ada hubungannya dengan gangguan imunitas.
Dengan rentannya kejang pada anak
Epilepsi, malah kita harus mencegah anak-anak ini dari infeksi otak. Penyebab
infeksi otak ada banyak misalnya Meningitis, Haemophilus influenzae, dan Pneumokokus.
Dan untuk mencegah infeksi otak sudah banyak vaksinnya.
Untuk anak Cerebral Palsy (CP) ada berbagai gejala klinisnya mulai yang ringan hingga
berat. Dr. Windhi Kresnawati, Sp. A memberi contoh Cerebral Palsy (CP) yang ringan : dia bisa sekolah seperti biasa, hanya
kakinya yang terganggu. Ada juga yang masih bisa main basket, dan bermain pada
umumnya.
Namun, terdapat CP sangat
berat, sehingga gangguan ototnya terjadi di otot pernapasan, otot pencernaan,
dan memerlukan alat-alat medis lainnya.
Selain itu ada Cerebral Palsy yang menyerang tangan dan kaki, hingga dia yang imobilisasi
atau tidak bisa bergerak. Ketika anak CP yang imobilisasi, maka
risiko infeksi paru lebih tinggi. Justru anak-anak Cerebral Palsy sangat perlu imunisasi, mereka sangat perlu dilindungi dari
berbagai infeksi.
Dr. Windhi Kresnawati, Sp. A juga
memaparkan pada penelitian Hunan tahun 2019, ada 1.000 anak yang ternyata
jumlah cakupan imunisasi pada anak epilepsi dan Cerebral Palsy yang rendah, penyakit PD3I justru tinggi. Padahal penyakit itu bisa dicegah dengan imunisasi. Pada kelompok
yang imunisasinya tinggi, justru penyakitnya rendah.
Jadi berikanlah imunisasi pada kelompok anak
epilepsi dan Cerebral
Palsy.
Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital adalah kelainan bawaan sejak lahir.
Penyebabnya bisa gangguan kromosom, mutase genetik, infeksi dalam kandungan, dan
pengaruh obat dalam kandungan. Gejalanya tergantung kelainannya.
Kelainan kongenital biasanya ada kelainan jantung, down
syndrome, kelainan tabung saraf dan pierre robin syndrome.
Anak dengan kelainan kongenital tertentu memerlukan dukungan
jangka panjang pada terapi wicara, terapi fisik dan terapi okupasi. Anak dengan
kelainan kongenital secara umum lebih
berisiko infeksi karena banyak prosedur medis yang dilalui.
Misalnya anak dengan pierre robin syndrome, mereka
sangat sulit bernapas melalui hidung, sehingga seringnya diberi bantuan tracheostomy
atau lehernya diberi lubang untuk memberikan jalan napas.
Pasien pierre robin syndrome rentan infeksi, karena mereka
bolak-balik ke Rumah Sakit seperti
operasi,
terapi dan
lainnya. Maka, justru anak-anak kelainan
kongenital sangat membutuhkan imunisasi rutin lengkap.
Anak
dengan Imunokompromais (HIV/AIDS dan Kanker)
Imunokompromais
adalah
keadaan saat terdapat kelainan pada fungsi normal sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan
anak rentan terhadap suatu infeksi. Karena terganggunya kekebalan tubuh, maka mereka
kesulitan melawan penyakit. Mereka lebih rentan terhadap PD3I dan memiliki kondisi nampak luar lebih parah.
Anak dengan Imunokompromais
bisa karena sebab primer (kelainan genetik atau sejak lahir nggak bisa
membentuk imun) dan sekunder disebabkan hal lain seperti infeksi
(HIV/AIDS), pasien kanker dalam kemoterapi dan kondisi lain (malnutrisi).
Secara umum, anak
Imunokompromais baik yang primer maupun sekunder nggak bisa dapat vaksin hidup.
Hanya vaksin hidup yang kontraindikasi pada anak Imunokompromais.
Namun, untuk sebab
sekunder ini berlaku sementara saat anak sedang sakit, dalam masa
pengobatan, dan daya tahan tubuhnya turun. Jika sebabnya sudah diatasi, berhenti
mengkonsumsi obat, imunitasnya sudah
mulai perbaikan, maka anak Imunokompromais bisa diberikan imunisasi.
Bagaimana anak dengan
Imunokompromais tetap
bisa sehat?
Karena kita yang tidak Imunokompromais melakukan imunisasi. Itulah namanya herd immunity
atau kekebalan bersama. Jadi kalau kita peduli dengan oranglain dan
diri kita, mari kita imunisasi.
Imunokompromais yang saya contohkan
di bawah ini adalah HIV/AIDS dan Kanker.
HIV/AIDS
Anak yang terinfeksi HIV/AIDS, ketika CD4
atau jenis sel darah putih/limfosit di bawah 15 persen, tidak bisa diberi
vaksin. Namun jika kekebalan tubuh atau “tentara”nya sudah mulai banyak (CD4 di
atas 15%) berarti dia sudah bisa diimunisasi. Sehingga vaksin itu bukan kontraindikasi
seumur hidup untuk anak dengan HIV/AIDS.
Pada tabel di bawah ini misalnya. BCG
adalah vaksin hidup sehingga tidak bisa diberikan. Kalau si kecil akan
diberikan vaksin campak (MR atau MMR), maka anak harus di tes CD4 terlebih
dahulu. CD4 ini menggambarkan kekuatan limfosit. Ketika jumlahnya diatas 15
persen, dia bisa diimunisasi.
Jadi imunisasi rutin lengkap pada anak terinfeksi
HIV/AIDS memang cukup bertahap. Tidak seperti anak lain yang sesuai jadwal
langsung, tanpa ada tes tertentu. Anak-anak dengan HIV/AIDS harus di cek dulu
kekebalannya, supaya mereka bisa menerima dengan baik. Dan tidak menyebabkan
penyakit pada vaksin yang hidup.
Kanker
Untuk anak-anak yang berjuang melawan kanker dan sedang menjalani
pengobatan, dokter anak spesialis Hematologi dan Onkologi, dr. Bambang
Sudarmanto, Sp. A (K), MARS menuturkan bertahap.
Jika si anak dalam masa pengobatan kanker, maka tidak
disarankan imunisasi. Namun anak yang mengidap leukimia bisa mendapatkan vaksin,
jika ia tidak lagi menjalani masa pengobatan kemoterapi atau dinyatakan
sembuh.
Hal yang juga penting, jika anak tak lagi mengkonsumsi
obat imunosupresan atau obat yang menekan kekebalan tubuh dan sembuh maka boleh
diberikan imunisasi.
Jangan Takut, Ayo Ajak Anak Imunisasi
Prof.Dr.dr. Hinky Hindra Irawan
Satari. Sp.A(K). MtropPaed selaku Ketua Komite Nasional PP Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi (KIPI), pernah mengatakan bahwa vaksin adalah produk biologi
yang telah diuji secara klinis dan bertahap sesuai pedoman dan disepakati
secara global.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
adalah reaksi alami dari tubuh untuk membentuk antibodi dan umumnya sifatnya
ringan dan sebentar. Bisa sembuh dengan atau tanpa pengobatan, misalnya demam.
“manfaat dari imunisasi lebih
besar daripada efek yang muncul setelah imunisasi” ujar Prof Hinky.
Tidak semua KIPI sebabnya adalah imunisasi. Ada juga sebagai reaksi kecemasan terkait imunisasi.
Jadi jangan ragu membawa anak diimunisasi. Termasuk anak-anak disabilitas dan
Imukompromais. Meskipun anak
Imunokompromais respons imunitas terhadap imunisasi lebih kecil, dibandingkan
anak yang sehat, namun manfaat imunisasi masih tetap diperoleh dan memiliki
manfaat yang sama.
Bawa anak-anak ke layanan imunisasi
di fasilitas kesehatan pemerintah seperti Rumah Sakit dan Puskesmas, fasilitas
kesehatan swasta pemberi layanan imunisasi seperti dokter praktek, bidan
praktek, klinik dan Rumah Sakit, juga ke Posyandu dan pos imunisasi lainnya.
Kesimpulan
Imunisasi
merupakan investasi kesehatan terbaik untuk anak-anak. Imunisasi
rutin lengkap adalah untuk mencegah sakit berat, kematian atau cacat akibat
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Orangtua harus memastikan anak
mendapat haknya berupa imunisasi rutin lengkap.
Anak Penyandang Disabilitas
juga membutuhkan imunisasi seperti anak-anak lain. Anak dengan Imunokompromais
hanya kontraindikasi terhadap vaksin hidup. Namun ini hanya sementara. Ketika
imunnya sudah membaik dan sembuh, mereka tetap bisa mendapat imunisasi.
Ketika anak-anak
mendapatkan imunisasi rutin lengkap, maka ia tidak hanya melindungi diri
sendiri, namun juga keluarga dan masyarakat.
Mengutip kalimat Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit (P2P) Kemenkes, Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS pada sambutan
buku panduan Pekan Imunisasi Dunia 2023, untuk kita bahu membahu berjuang melaksanakan
pembangunan kesehatan demi mewujudkan keluarga Indonesia yang berkualitas dan
tumbuh menjadi bangsa besar yang kuat.
Referensi
dr.Arifianto, Sp.A(K). (2019). Yakin dengan Vaksin dan
Imunisasi?. Depok : KataDepan
Kanal youtube
Lawan Covid-19 ID “Imunisasi Pada Populasi Tertentu” 28 Oktober 2020
https://www.kemkes.go.id/article/view/22112500001/ditemukan-tiga-anak-positif-virus-polio-di-kabupaten-pidie.html
https://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/imunisasi-penting-untuk-mencegah-penyakit-berbahaya
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3126/selamatkan-masa-depan-anak-penyandang-disabilitas-lindungi-dan-penuhi-hak-mereka)
https://www.suara.com/health/2021/02/18/175500/bolehkah-anak-dengan-kanker-dapat-imunisasi-sesuai-jadwal-ini-kata-idai
Aku lumayan kaget juga pas baca di Aceh ditemukan anak yg polio. Krn dulu 18 THN Lebih tinggal di Aceh Utara, aku jadi punya banyak kenalan di sana, yg sadly banyak yg memang ga setuju vaksin mba. Alasannya agama sih. Ntahlaah, gimana ceritanya sampe mereka bisa percaya kalo imunisasi itu haram.
BalasHapusPadahal salah satu kenalanku itu, sebaya Ama aku, dan ortunya juga rutin dgn jadwal vaksin anak2nya, termasuk ke temenku. Eh giliran dia punya anak, malah ga Diksh Krn ga percaya. Heran ....
Jadi tau kalo anak2 yg menderita Aids dan kanker ga boleh di vaksin dulu sampai pengobatannya selesai atau 'tentara' kebalnya mulai banyak. Good info sih mba👍👍. Semoga yaaa makin banyak orang sadar kalo vaksin itu penting buat kita semua