Luigi
Demam, Batuk, Pilek, dan Muntah 50X Sehari. Sebuah Upaya Kesembuhan di
Tengah Kondisi Lonjakan Pasien Covid-19
28 Juni 2021
Senin
siang yang mendung, kami bertiga pulang ke Gresik setelah menyelesaikan
semuanya. Menjemput Luigi dengan kondisi pilek, berharap kondisinya membaik dan
ini hanya “penyakit” anak-anak biasa.
29 Juni 2021
Pagi itu tetangga kanan rumahku meninggal karena Covid-19. Padahal beberapa hari yang lalu mengabarkan pada kami di WAG perumahan bahwa beliau minta maaf atas ketidaknyamannya. Beliau adalah pengusaha perencana bangunan terkenal di kota kami. Karangan bunga berjejer hingga depan rumahku.
Di rumah, Luigi sarapan soto yang aku beli dekat Pasar Sentolang. Karena pilek, makanan yang masuk hanya sedikit. Tak apa pikirku. Akupun jika “tak enak badan” juga nggak selera makan. Hingga pilek menjadi batuk. Saat jarum jam menunjukkan pukul 11 siang, Luigi muntah pertama kali. Hingga menyusul muntahan lain sebanyak 5 kali, dan semuanya berakhir di kasur.
Ada yang
tidak beres pikirku. Bahkan ia tidak menahan untuk segera ke kamar mandi. Maka
segera aku ambil ember kecil yang aku taruh di dekat kasur. Agar tak perlu lari
dan rasa mual yang ingin segera keluar tertadah dalam ember.
Satu kali
muntahan berisi riak dan makanan soto. Kusuruh ia minum yang banyak, dan air
putih dalam perutnya pun keluar lagi. Hmm, perutnya kosong. Kutawarkan nugget
yang bisa dimakan tanpa nasi. Ternyata makanan instan itupun dimuntahkan. Setiap
saat muntah, setiap makan dan minum muntah.
Akupun
punya ide ngawur agar Luigi stop muntah. Aku beri dia obat Antimo Anak,
berharap dia bisa tidur siang dan tak muntah. Lumayan bisa tidur 1 jam dan tidak
muntah sejenak.
Siang
berganti sore, sore berganti malam, Luigi tetap muntah. Obat apapun tak ada
yang sakti, termasuk Triaminic yang aku beli di apotik. Ayahnya yang bingung
menyuruhku membelikan pizza, dan segeralah aku menuju PHD Jalan Kartini. Pizza
seharga 91ribu Luigi makan dengan lahap sambil batuk-batuk. Ia mencoba
menikmati dan mengucapkan “ Hmmmm....” . Namun tetap saja, dimuntahkan. Ia
mulai demam.
Aku baca
di beberapa laman online, terutama ciri-ciri anak yang mengalami Covid-19. Dari
beberapa situs kutemukan kesimpulan bahwa salah satunya gejala Covid-19 adalah
demam, pilek, batuk, muntah dan pokoknya menyerang pencernaan. Kubaca lagi
dengan seksama, batuk seperti apa. Dan kudapati kesimpulan batuk kering.
Kuyakinkan diri, bahwa yang dialami Luigi adalah batuk berdahak.
Ya Allah,
anakku belum kemasukan makanan dan minuman sejak pagi!!! Ia muntah terus
menerus. Hampir setiap 15 menit muntah. Aku selalu menyuruhnya banyak minum agar tak dehidrasi. Malam itu kami
bertiga tidak bisa memejamkan mata. “mama kenapa batukku nggak berhenti” ujar
Luigi lirih.
Mungkin
dia sendiri capek menahan perut dan mengeluarkan makanan atau minuman yang
masuk. Mungkin ia sebal kenapa perutnya tak bisa menerima apapun.
“Sabar ya,
besok pagi kita ke dokter” jawabku menenangkannya.
“aku nggak
mau ke dokter Mama, aku nggak mau” tolaknya lantang
Aku
terdiam, karena lelah menemaninya. Aku harus bolak balik membereskan
muntahannya.
“Luigi
mama nggak tahu gimana cara nyembuhin Luigi, makanya kita ke dokter”
“Luigi,
dokter bisa cari sebab sakitnya dan ngasih obat yang bikin lekas sembuh”
“selain ke
dokter, kemungkinan apa aja biar Luigi sembuh”
Hingga
akhirnya cara komunikasi terakhir di tengah kekalutan
“Luigi mau
ke dokter malam ini apa besok pagi”
Ia belum
menjawab
Hari itu
Luigi muntah 50X dalam sehari. Hingga ia berbisik padaku “Mama, aku mau ke
dokter”. “Aku mau sembuh”. Kulihat napasnya semakin capet dan pendek-pendek.
Aku nggak ingin menyesal. Kubilang pada suami :
“Luigi
harus dibawa ke Rumah Sakit”
“Rumah
Sakit di Gresik kota semua menjadi rujukan Covid-19”
“Aku mau
Luigi dibawa ke Surabaya saja”.
Suami
mengangguk.
30 Juni 2021
02.30 aku
membereskan semua urusan rumah. Aku cuci piring karena tak sempat semenjak
pagi-malam menemani Luigi. Akupun mandi, dan bersiap barang bawaan yang dibawa
ke Rumah Sakit, termasak wadah jika Luigi muntah. Aku menyempatkan tidur 1 jam.
Jam 6 pagi semua siap berangkat. Selama di mobil Luigi nggak terlalu batuk dan
tidak muntah.
Segala
kemungkinan sudah dipikirkan kami berdua, termasuk jika akhirnya Luigi harus
rawat inap di Rumah Sakit. Pikiran kalut karena ingin segera Luigi baik-baik
saja. Ia harus segera sehat seperti biasanya.
Jam 07.00
kita sudah sampai di RS Darmo Surabaya. Rumah sakit yang menurut kami PALING
AMAN dari segala pasien Covid-19. Sejak dulu Rumah Sakit ini tidak atau belum
mau menerima pasien BPJS, sehingga kondisinya akan jauh lebih aman, pikir kami.
Tanpa antri dan penanganan sangat cepat.
Akhir
tahun 2020 aku sempat menemani kakakku periksa sebelum operasi di Rumah Sakit
yang terletak di Jalan Darmo ini, dan kondisi IGD sepi. Kupikir kondisi tetap
sama. Sepi.
Ternyata setelah
masuk halaman Rumah Sakit kulihat banyak mobil berjejer, padahal itu masih
pagi. Suami mendekatkan posisi mobil di depan pintu IGD. Kukatakan pada satpam,
bahwa aku ingin memeriksakan anak yang sedang sakit ke IGD. Sambil menggendong
Luigi, kami tidak boleh masuk. “nanti perawat yang akan keluar ya, Bu. Tunggu
duduk disini dulu” jelasnya panjang lebar.
Saat itu
kulihat ada pemandangan seorang Bapak-Bapak baru turun dari mobil, dibawa
menggunakan kursi roda oleh perawat laki-laki sambil diberi alat bantu
pernapasan yang menutup mulut dan hidungnya. Ia terlihat susah bernapas dan
sangat lemah. Aku memeluk Luigi lebih erat. Sementara suami masih mencari
parkir. “apakah benar keputusan Luigi dibawa kesini” batinku bergejolak.
Perawat tak
segera menemui kami bertiga. Hingga dalam penantian itu satpam mendekati kami
“Ibu sudah pernah kesini?” “Sudah, Pak” “Ibu sudah tahu DCC (Darmo Children Center)?”
“Ohyaya, bagian khusus anak khan ya” “Kondisi di IGD ini kan sedang rame,
adeknya masih kecil, mending langsung dibawa ke sana saja, kasian adeknya kalo
masuk ruangan ini”
Aku
langsung tahu maksudnya. “kita jalan kaki ke belakang langsung apa mobilnya
dibawa kesana” “Sekalian saja sama mobilnya”
Kami pun segera membawa mobil menuju lokasi DCC yang letaknya di
belakang Rumah Sakit cagar budaya Surabaya ini.
“Suster,
saya ingin memeriksakan anak saya” ucap saya tanpa basa-basi di ruang depan
DCC. “Ibu, adeknya sudah pernah kesini?”tanya perawat jaga. “Sudah”jawabku
singkat. “Ibu, ini dokter anaknya baru ada jam setengah 11 siang” Kulihat jam
tangan masih menunjukkan pukul 7.30.
Suster
mengatakan apa tidak dibawa ke IGD saja. Kujelaskan bahwa di IGD kami diminta
ke DCC. “Sebentar Ibu, saya telponkan dulu” “Ibu mau dokter siapa, atau terserah?”
“Iya saya mau siapapun dokternya” “Ibu ini ada dokter anak jam 10 pagi”.
Terlalu
lama pikirku. Luigi harus segera bertemu dokter anak, ambisiku dalam hati. “Bagaimana
Ibu, jadi?” suster membuyarkan lamunanku. “Tidak jadi sus”. Dia memberi informasi
bawa ada dokter anak yang praktik pagi di Rumah Sakit Katolik St. Vincentius a
Paulo (RKZ) Surabaya.
“Bukannya
RKZ Rumah Sakit rujukan Covid-19?” sanggahku. “Oh saya tidak tahu untuk hal itu
Bu” ujar perawat sambil mengangkat dua tangannya setingga dada.
Kuminta
saran suami. Hingga dalam hitungan detik kami putuskan segera ke RS Katolik St. Vincentius a Paulo (RKZ). Pikir
kami, di RKZ ada bangunan khusus untuk anak tepatnya di BKIA. Jadi tidak gabung
dengan gedung utama Jalan Diponegoro. Kami mencari BKIA dalam asumsi kami.
Mulai jalan Jambi hingga menemukan gedung yang dimaksud di Jalan Ciliwung.
Parkiran
mobil penuh, kulihat dari kejauhan banyak orang mengantri. Antri apa?
Kutinggalkan suami dan Luigi di mobil. Kutemui satpam dan menanyakan lokasi
dokter spesialis anak. “Ibu dan yang sedang sakit cuci tangan dulu, lalu antri
dan di tes oleh petugas, nanti dokter anak ada di lantai 2” jawab petugas yang
kutemui. “itu tes apa ya”tanyaku penasaran “tes penciuman Bu”.
Sementara
kulihat antrian masuk Rumah Sakit sangat panjang, dan diantara mereka tidak ada
yang anak-anak. Semuanya dewasa, mulai yang berdiri hingga yang berkursi roda.
Tidak, aku
tidak mau disini. Kukatakan pada suami, apa pendapatnya dengan penolakanku.
Aduh ribetnya, katanya menyetujui. Terlalu ramai!!! Bahkan di sebelah kanan
gedung juga banyak orang mengantri vaksin. Lalu kita putuskan pulang dulu ke Banyu Urip.
Minimal mengistirahatkan Luigi sembari minta saran Ibuk atau Bapak. Ia lemas,
ia belum sarapan. Wajahnya pun makin kuyu.
Jam 08.00
suami menurunkan kami di depan gang dan ia kembali ke Gresik untuk kerja. Ibuk
yang mengetahui kondisi Luigi sangat kaget. Katanya semua Rumah Sakit di
Surabaya dalam keadaan genting dan tidak ada yang aman dari pasien Covid-19.
Ya saat
ini terjadi lonjakan pasien kasus Covid-19 di Indonesia, tak terkecuali di
Surabaya. Bahkan bed Rumah Sakit pun tak dapat menampung jumpah pasien yang
ada.
Ini beberapa berita terkait yang waktunya beriringan dengan sakitnya Luigi :
IGD RS William Booth Surabaya lockdown
Bed pasien RS di Surabaya penuh
RS non rujukan Covid-19 ikut bantu tangani pasien Covid-19 salah satunya RS Darmo Surabaya
Luigi
langsung masuk kamar dan tidur. Aku cek suhunya dengan termometer dan hasilnya
menujukkan angka 38.9. Hanya makan sedikit dan maunya tidur. Batuknya masih
menemaninya dalam istirahat.
Allah maha
Baik. Tetangga memberi informasi mengenai dokter anak. Singkatnya, malamnya
Luigi dibawa ke dokter anak yang praktik. Kubawa selembaran uang
seratus ribuan sejumlah sepuluh. Dalam kondisi masih lemah, jam 18.00 Luigi
dibawa dr. Syamsul Arief, Sp. A (K), MARS yang praktik di Jalan Taman
Putro Agung No. 2 Surabaya. Luigi mendapat antrian nomor 10. Kondisinya tidak
terlalu padat.
Ketika
dipanggil, Luigi diharuskan timbang berat badan. Saat itu susternya bilang
Luigi beratnya 19 kg. Entahlah aku percaya saja. Padahal timbangannya bukan
digital. Lalu Luigi disuruh tidur di bed pasien. Sambil memeriksa Luigi, aku
jelasin kondisinya yang kemarin muntah puluhan kali, dan batuk berdahak. Aku
bilang juga pada dokter bahwa Luigi batuk sejak senin, tapi parahnya kemarin.
Dokter
yang sudah sepuh ini mengarahkan stetoskop pada dada, perut, bahkan punggung
Luigi. Kupikir dokter pada masa pandemi seperti ini tidak ada yang mau pegang
pasien. Ternyata beliau sangat detail. Ia bertanya umur berapa, berat badannya,
dan tanya apakah Luigi mau obat puyer? Pilih puyer atau syrup. Aku katakan apa
saja obatnya, yang terbaik saja dok.
Sambil menulis
resep untuk Luigi, aku juga bertanya kaki Luigi yang bores-bores. “Padahal
orangtuanya kakinya mulus dok, nggak ada yang bores seperti ini” “Bisa
disebabkan alergi. Sementara banyak makan daging sapi, atau tempe tahu ya”
katanya. Akupun mengangguk sambil bertanya biayanya. Aku menyodorkan selembaran
uang seratus ribu dan limu puluh ribuan. Dokter mengembalikan lagi Rp. 20.000.
Kami meninggalkan ruangan. Ada sebuncah harap di dadaku.
Resep yang
diberi dokter yang bertugas di RSUD Dr Soetomo juga ini aku tebus di Apotek
Blessing, Jalan Kapas Krampung 67 A. Karena racikan, nunggunya lama. Sekitar 1
jam. Selama menunggu, Luigi minum teh Pucuk yang aku beli 2 botol dari kulkas
Apotik. Obatnya terdiri dari dua macam, antibiotik bentuk sirup dan obat batuk
bentuk puyer, totalnya Rp. 270.000.
Sesampainya dirumah obat yang berikan dimuntahkan. Lalu diulang setengah jam kemudian. Berhasil. Obat batuk puyer sudah masuk. Suhu badan aku cek lagi menggunakan termometer digital di ketiak dan angkanya masih menunjukkan pada 38.8 derajat celsius.
Huift Luigi masih tergolong demam. Imunnya sedang berusaha melawan kuman yang
masuk dalam tubuhnya. Aku pun ikhtiar mengompres jidatnya dengan kain dan air
suhu normal. Karena pengaruh obat atau efek kelelahan selama ke dokter, Luigi
tidur.
01 Juli 2021
Dini hari
Luigi membangunkan aku. “mama aku mau muntah”. Aku segera sodorkan ember kecil.
Cukup banyak riak dan air yang dikeluarkan. Lalu kubersihkan mulut Luigi dan
embernya, dan Luigi kembali tidur. Paginya ia diberi obat dan ternyata nggak
pakai lama langsung dimuntahkan lagi.
“Luigi,
obatnya memang pahit. Gimana ya caranya biar obatnya jadi nggak terasa pahit
lagi?”
“apa
dikasih gula ya?” aku memberi solusi
“aku nggak
mauuuuu”
“obatnya
bikin aku muntah”
Hingga ide
datang dari Bapak, semua obat dicampur dengan syrup Marjan. Lalu aku
menambahkan saran untuk diminumi es nutrisari dengan banyak es batu kecil-kecil. Kebetulan
aku tidak menganut minum es memperparah sakit batuk. Jadi aku bolehkan. Hal ini
karena Luigi suka makan es batu. Kutawarkan padanya ide ini. Dan ia mengiyakan.
Akupun
segera meluncur ke Indomart mencari syrup Marjan. Kuambil rasa Coco Pandan dan
membayarnya senilai Rp.24.000. Untuk rentengan Nutrisari rasa jeruk sudah ada
di dapur. Percobaan minum obat kedua ini berhasil. Luigi tidak muntah dan tidak
terasa pahit katanya. Sarapan mie pun bisa diterima perutnya.
Hari ini
Luigi masih batuk tapi sudah tidak muntah. Ia sudah bisa duduk tanpa sandaran.
Sudah bisa jalan kaki. “sudah bisa ngomong juga, Ma” katanya menambahkan
progressnya. Suhu tubuhnya turun menjadi 37 derajat celsius.
Dan ia
bisa tidur siang. Selama tidur aku temani. Kulihat ia bolak balik memasukkan
tangannya ke hidung. Kubiarkan saja, karena kupikir mungkin gatal karena pilek.
Jam 17.00 Luigi aku bangunkan dan alangkah kagetnya aku melihat wajahnya penuh
darah.
Usut punya
usut berasal dari hidung kanannya. Ketika ingus disisihkan, keluar lendir
bercampur darah. Luigi mimisan !!! darah terus keluar bersama lendir pileknya. Kubilang,
jangan dimasukkan lagi, harus dikeluarkan. “Mama gatal” aku bilang kalo gatal,
hidungnya di elus elus saja dan ingus disisihkan.
Jam 21.00
aku sisihkan ingusnya lagi dan mimisannya sudah berkurang. Malam ini ia semakin
ceria. Makan bebek goreng 2X yang aku beli di depan sekolah Tunas Bakti.
Dikit-dikit yang penting sering, pikirku. Hal ini untuk menghindari muntah.
Malam itu
ia mencoba tidur malam ditemani batuk berdahaknya. Hingga terpejam sempurna.
Semoga lekas sehat anak baiknya Mama. Terima kasih atas kerjasamanya selama
proses mencari jalan kesembuhan di tengah kondisi lonjakan pasien Covid-19.
Ada
banyak hal yang disyukuri atas perjalanan ini, diantaranya :
1.
Suami bisa mengantar ke Surabaya padahal itu akhir
bulan
2.
Keputusan pembatalan untuk periksa di Rumah Sakit,
dan membawa Luigi pulang ke rumah Ibuk
3.
Mendapatkan dokter spesialis anak konsultan yang
mau praktik mandiri secara tatap muka
4.
Ada uang untuk periksa ke dokter dan menebus obat
5.
Kemudahan karena orang baik yang memberikan
informasi praktik dr. Syamsul Arief, Sp. A (K), MARS. Terima kasih Ratna yang
sudah mengantar
6.
Luigi mau kompromi atas semua keputusan dan
perubahannya yang cepat
7.
Hingga hari ini aku masih dalam kondisi sehat
sehingga bisa merawatnya dengan sabar dan kasih sayang
02 Juli 2021
Luigi sudah bisa nonton yutub di laptop dan bermain dengan kakaknya (keponakanku). Namun masih batuk. Ia sudah ceria. Bisa makan minum tanpa muntahan.
ya allah stres banget kan ya mbak anak sakit ky gt.. bbrpa waktu lalu anakku juga ngalamin. puersisss sprti Luigi.. aku ceritain d blogku juga hehe.. bedanya anakku ada diare.muntah jg. sampe setres nyuruh makan dan minum obat..ngamuk2 juga anak ya diminumin obat.akhirnya kubawa ke dokter anak di Bratang.. alhamdulillah sembuh..
BalasHapusYa ampuuun mbaaa, aku bacanya ikut ndredeg.... :(. Kebayang itu muntah 50x apa ga sakit dan lemes.. aku yg pernah muntah2 parah, tp ga sampe 50x an, udh kayak mau pingsan.. akhirnya diinfus.
BalasHapusSyukur yaa mba, Nemu dokter yg praktik mandiri. Selama pandemi aku berharaaaap bgt anak2 jgn sakit. Krn RS penuh di mana2 :(. Ini aja si Adek shrsnya vaksin lanjutan, tp aku tunda dulu. Ntr aja kalo udh sedikit aman. Ga berani aku :(
di zaman sekarang memang harus jaga jaga pola makan terutama jangan makan sembarang seperti minuman yang bersoda, minuman yang mengandung gula batu dan manisan buatan yang bikin tenggorokan sakit.
BalasHapus