Pernah nggak sih, kita baper seharian gara-gara di komen Instagram yang
tidak mengenakkan? Komennya cuma 2 kalimat tapi mikirnya sampai membuat mata
sembab. Atau pernah nggak, punya bos menjengkelkan efeknya bikin tugas kita
berantakan? Lalu muncul respon aku tidak cocok kerja di instansi tersebut.
Alih-alih mencari solusi, yang ada dari kejadian itu bikin kita seperti
kompor mleduk, kecewa, marah dan jengkel. Semua orang disalahkan.
sumber gambar : Canva dan diedit oleh penulis |
Kalau aku sendiri pernah mangkel karena curhat betapa sakitnya melahirkan secar, dan menambahkan link tulisan yang mendukung pernyataannku di status Facebook. Langsung disambar komentar, intinya kita jangan manja jadi Ibu, apalagi link yang kusebar (katanya) bukan dari ahlinya. Aku dibandingkan dengan dia yang beberapa hari secar bisa mengurus diri sendiri.
Jleb,..
Sebagai mama baru dan mama muda, aku murka. Sejak itu nggak mau like atau
komen postingan dia, apapun itu.
Kemarin aku juga sedih karena anakku Luigi belum segera bisa membaca. Diajarin
huruf kayaknya kurang tertarik. Akhirnya sampai pada penerimaan “yaudahlah,
masih 4 tahun juga khan?” lalu stop ngajarin membaca.
Hmm, Jangan-jangan respon-respon seperti ini termasuk golongan orang yang reaktif?
Pribadi Reaktif
Sebelumnya aku maju jelasin, apa sih pribadi reaktif itu. Materi ini pernah
aku peroleh di training Transforming Behaviour Skills (TBS). Reaktif adalah pribadi
yang melakukan sesuatu sebagai respon atas situasi atau tindakan orang lain
berdasarkan perasaan, emosi atau suasana hati. Intinya kita tidak menjadi
subyek atas diri sendiri.
Ciri-ciri orang yang reaktif
1.
Emosinya dikendalikan sesuatu diluar dirinya
2.
Menyalahkan orang lain. Contohnya : “yang membuat aku begini adalah karena
dia begituin aku”,
3.
Menunggu sesuatu terjadi. Contohnya : “andai bos gak kayak gini karirku
bakalan cemerlang”
4.
Berubah bila terpaksa/diancam.
Orang reaktif = Remote Emosi Dikendalikan Orang Lain
Orang Reaktif semua perilaku nunggu respon, tidak menjadi subject. Aku mengibaratkan
kita punya sebuah remote. Jika mudah baper karena dikomentari nggak
enak di Instagram, berarti kita telah menyerahkan remote emosi kita
kepada orang lain. Nggak terpilih liputan event blogger, nyalahin penyelenggara
pilih kasih, suami nggak mau cuci piring, marah. Anak nggak segera beresin
mainan, nyalahin menteri Nadiem Makarim :p
Kadang sebabnya bermula dari self talk kecil tapi efeknya bisa emosi
yang tak kunjung selesai. “tuh khan dia ngeledek aku, berarti postinganku gak
menarik” padahal followernya 4.000 yang komen cuma satu orang. Atau “tuhkan,
anakku selalu nggak mau beresin mainan”, padahal kemarin
juga beresin mainan.
Kita jangan mau memberikan remote emosi kepada orang lain. Apalagi disuruh sama self talk “nakal”, harusnya kita yang ngatur self talk.
Jadi tuan atas diri kita sendiri. Karena dampak jika terus-terusan bersikap
reaktif adalah mudah marah dan suka mengeluh.
Pribadi Proaktif
Kebalikan dari orang reaktif, orang yang proaktif akan menyadari dan mampu memilih
kondisi emosi yang diperlukan. Ia dapat bertanggung jawab atas
pilihan-pilihannya dan berpikir sebelum bertindak. Jika menghadapi hal buruk
akan cepat pulih juga bertindak untuk membuat sesuatu terjadi. Intinya orang proaktif
akan fokus pada hal-hal yang bisa diubah.
Manfaat jika kita menjadi orang yang proaktif adalah tidak mudah baper dan
responsif. Selalu fokus pada solusi.
Reaktif dan Proaktif Beda dari Kata-Katanya
Untuk memudahkan membedakan orang yang reaktif dan proaktif, kita bisa melihat
dari kata-katanya, misalnya :
Situasi : terlambat liputan event blogger
Reaktif : “Jakarta macet sih” “KRL antrinya lama”
Proaktif : “jika ada undangan lagi, aku akan bangun lebih pagi”
Situasi : ketinggalan materi kursus blog
Reaktif : “anakku sih ngajak main mulu”
Proaktif : “besok bikin kesepakatan sama anak, dan menidurkannya sebelum kursus blog
dimulai”
Situasi : kalah lomba blog
Reaktif : “pasti yang menang settingan” atau “jurinya nggak kredibel”
Proaktif : “peluang buat menambah jam terbang lomba menulis”, “aku akan lihat tulisan
yang menang dan belajar bagaimana cara menulisnya sehingga dia menang”, atau “besok
interview ke mbak/mas yang langganan juara lomba, apa tips-tips menang lomba
blog”
Kata-kata Mempengaruhi Tindakan
Di kelas TBS dijelaskan bahwa bahasa verbal ternyata mempengaruhi sistem
saraf kita, yang diteruskan ke tubuh dan menjadi program bawah sadar. Sehingga kita
harus membuat perintah yang tepat ke otak agar bisa mengambil program yang
sesuai kebutuhan.
Namun kita bukan komputer yang ada keyboardnya, sekali enter semua bisa
berubah. Kodifikasi program kita adalah dengan linguistik atau bahasa verbal. Maka
untuk menjadi subyek atau orang proaktif dimulai dari kata-kata. Lalu memilih tindakan
yang memberdayakan dalam berbagai situasi.
2 Cara Menjadi Pribadi Proaktif
Fokus pada hal yang bisa
diubah
Pandemi Korona kapan selesai itu nggak bisa kita kendalikan. Maka, fokus
saja apa yang bisa kita ubah. Misalnya dengan menjalani pola hidup lebih sehat,
ketat terhadap protokol kesehatan dimanapun, dan memilih dirumah saja jika tidak
mendesak. Setelah ada informasi dari WHO kemungkinan Covid-19 bisa menular lewat udara,
maka lebih baik menjauhi ruangan ber-AC yang banyak orang seperti mall.
Punya temen menyebalkan, yang bisa aku kendalikan adalah semakin mendekat atau menjauh. Yang diluar kendali kita adalah mengubah sifat menyebalkannya. Maka, pilihan aku sih nggak usah deket lagi. Simpe khan?
Punya temen menyebalkan, yang bisa aku kendalikan adalah semakin mendekat atau menjauh. Yang diluar kendali kita adalah mengubah sifat menyebalkannya. Maka, pilihan aku sih nggak usah deket lagi. Simpe khan?
Lakukan yang bisa menjadi solusi
Contoh 1 :
Kadang dalam hati pengen Luigi segera bisa membaca minimal suku kata atau
gabungin fonik.
Self talk 1 bilang “khan anaknya masih 4 tahun, ngapain tergesa-gesa”. Tapi
dalam hati masih ngganjel.
Self talk 2 bilang “oyaya Luigi belum wajib bisa membaca, tapi apa salahnya
memberi stimulasi membaca, gimana ya caranya?” (lead to action)
Tentukan tujuan : Setiap pagi minimal 15 menit aku mengajak Luigi belajar
membaca (tujuan kendali di diri sendiri, 15 menit menyesuaikan rentang
konsentrasi seusia Luigi)
Suatu malam habis baca buku bareng dan bercanda, aku briefing Luigi. Kita
kesepakatan setelah sarapan minimal belajar membaca 15 menit.
M :“Mama lihat Luigi mulai seneng main-main sama huruf ya, gimana kalo kita
sempetin belajar huruf2an setelah Lui sarapan?”
L :“iya Ma, sambil corat coret juga”
“tos” (kesepakatan)
Apakah selalu terjadi pagi? Gak juga, kadang kita belajar malam. Minimal
setiap hari ada stimulasi meski sebentar. (Hidup flexible, cukup kanebo kering
yang kaku, kita jangan)
Contoh 2 :
Jika suami pergi keluar kota terkadang lupa mengabari orang rumah membuat
sakit hati. Karena WA sudah centang 2 tapi nggak di bales. Self talk
nakal bilang “pasti sengaja nih biar aku kepikiran”. Self talk baik lainnya
bilang : “khan tinggal dibicarakan aja sih, simple”
Maka, cara yang aku lakukan :
Tentukan tujuan dulu : aku akan mengajak suami diskusi kesepakatan ketika
pergi keluar kota. Tapi jangan lupa, beri dulu baru minta, kasih perhatian baru minta diperhatikan, dengan menyiapkan es cokelat.
Akhirnya malam ketika ngobrol santai, setelah menenggak es cokelat segelas
terjadilah obrolan.
A :“bi, kemarin sampe sore di Tuban kok lama banget ya sampe sore”
B : “oia aku (bla bla edit :p)”
A : “ohiya syg, kalo kamu dari pagi gak ngabarin bikin aku khawatir, hmm
kira2 apa ya yang bisa kita sepakati biar khawatirku yang besar jadi kecil,
hehe”
B : “oh kamu aku kasih nomernya mbak Ayuk atau mas E aja ya”
(aku kira jawabannya bakalan, iya deh aku rajin cek WA kamu, lha malah
dikasih nomer temen kerjanya, haha)
A : "oh gpp ya aku hubungi mereka?”
B : “iya gpp, khan tanya doang, tapi jangan dipantau terus lah”
A: “haha ya gak lah”
(haha ketawa bareng)
(Baca juga : Rebranding Pasangan dengan Detektif Kebaikan)
(haha ketawa bareng)
(Baca juga : Rebranding Pasangan dengan Detektif Kebaikan)
Dengan berfokus pada solusi, kita nggak akan marah pada hal sepele lagi. Dan
dengan fokus memperbaiki apa yang bisa kita kendalikan, nggak mudah mengeluh dan
selalu berpikir sebelum bertindak.
Kita diberi akal untuk bertanggung jawab atas pilihan kita sendiri. Menjadi tuan atas
pilihan diri sendiri. Sehingga, yuk ambil kembali remote emosi kita. Jangan dilepaskan, apalagi diberikan
pada orang lain. Jangan sampai orang lain yang menguasai diri kita.
Terakhir, aku ingin mengutip poster di kelas TBS yang menyatakan :
“tidak akan pernah maju dan
bertumbuh, orang yang selalu menyalahkan orang lain atas hal-hal yang menurutnya
tidak memuaskan dalam hidupnya”
“Be the master of our mind if not someone else will” (Okina Fitriani)
Referensi Diktat :
Okina Fitriani, Transforming
Behaviour Skills (Surabaya, 2019), hlm. 3-4
Poin yang membuat kesepakatan bersama suami itu menarik ya mbak. Bagian yang ini, "Tapi jangan lupa, beri dulu baru minta, kasih perhatian baru minta diperhatikan, dengan menyiapkan es cokelat."
BalasHapuspoin ini yang sering kulewatkan sih mbak, harus dengan strategi juga ya biar tujuan tercapai hihihi *evil grin*
mari berstrategi terus mba :) insyaAllah setiap ikhtiar dibalas kebaikan olehNya :)
Hapus