Tahun ini rencananya, anak saya -Luigi- 4 tahun memulai
tahun pertama sekolah formalnya di TK-A. Kami mendaftarkannya sejak setahun lalu
alias sejak usianya 3 tahun karena penerimaan siswa baru di calon sekolahnya
ini dimulai lebih awal. Luigi dites atau lebih layak disebut diobservasi tentang
potensi motoriknya juga hal lain. Uang masuk sekolah sudah mulai dicicil sejak
dinyatakan diterima TAHUN KEMARIN. Termasuk sudah mengukur seragam (yang saya
lebihkan beberapa cm karena baru dipakai tahun ini)
Saya tidak menyangka akhirnya merasakan
pandemi Covid-19. Sekolah ditutup sejak bulan Maret lalu. Sementara kondisi saat
ini belum ada tanda grafik menurun, bahkan melihat berita kasus positif semakin
bertambah hingga dalam 1 hari mencapai hampir seribu orang.
Jika Sekolah Dibuka Bulan Juli |
Saya berandai-andai, tahun ajaran baru
akan dimundurkan minimal 1 semester, dan akan mulai berjalan Januari. Hingga
kondisi memungkinkan anak-anak siap ke sekolah. Ternyata saya kaget pemerintah melalui
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mulai mewacanakan sekolah dibuka
pada bulan Juli 2020. Juli itu 1 bulan lagi loh *gak kerasa pokoknya
Dalam hati terdalam tentu saja tidak rela
melepas anak saya mulai belajar formal bersama banyak teman dan beberapa
ustadzah (guru) dengan kondisi krisis seperti ini.
Namun disisi lain tidak ingin rugi uang masuk
sekolah (yang bagi kami tidak kecil) yang dikeluarkan melayang jika akhirnya harus
menunda sekolah. Karena dalam perjanjian, jika memutuskan untuk mundur maka
segala uang muka masuk sekolah dianggap hangus. *emak-emak gak mau rugi HAHAHA
Hingga akhirnya Allah menjawab segala
kegalauan saya ketika menyimak ulasan dari Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K),
FAAP, FRCPI (Hon) yang merupakan Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) Pusat. Kali ini dokter menyampaikan materi dalam IG live Ayah Bunda pada
(20/5) bertema Anak dan Kesehatannya di Masa Pandemi Covid-19. Dibantu oleh
moderator Gracia Danarti pemimpin redaksi dan komunitas Ayah Bunda, dan pemimpin
komunitas Parenting Indonesia.
Baca juga : Sekolah Anak Usia Dini Menurut Ahli Tumbuh Kembang
Sumber gambar : Instagram @Ayahbunda |
Baca juga : Sekolah Anak Usia Dini Menurut Ahli Tumbuh Kembang
Kasus Covid-19 Pada Anak
Sebagai asumsi, bahwa kategori anak
menurut IDAI adalah usia 0-18 tahun. Selain ketua IDAI, yang juga sebagai ketua
dokter anak Asia Pasifik dr Aman juga mengumpulkan data dari Wuhan, Malaysia,
Singapura, India dan negara lain. Di Malaysia, Singapore dan Philipine tidak ada
anak yang meninggal karena Covid-19. Namun berbeda data lapangan di Indonesia.
Hingga 18 Mei 2020, IDAI melakukan upaya deteksi
kasus pada anak secara mandiri dan mendapatkan data bahwa ada 3.324 anak PDP, 129 anak berstatus PDP
meninggal, 584 anak terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia. Dan 14 anak meninggal akibat Covid-19. Menurut
dokter Aman, ini merupakan angka kesakitan dan kematian anak yang tinggi akibat
Covid-19. Bahkan tertinggi di Asia. Harusnya tidak boleh ada anak yang
meninggal karena Covid-19 ujar beliau.
Sumber gambar : Instagram IDAI |
Sungguh kaget mengetahui data ini, karena
sejauh yang saya tahu anak-anak tidak mudah terkena Covid-19. Karena tidak ada
data pasti berapa anak yang terkena bahkan meninggal karena Covid-19. Data yang
selama ini saya konsumsi adalah yang di paparkan Gugus Tugas Pusat sebagai data
makro.
Gejala Covid-19
Pada Anak.
Gejala Covid-19 pada anak hampir sama dengan ciri khas orang dewasa yakni batuk, panas dan sesak. Namun dari data di lapangan, ada gejala tambahan yakni saluran cerna misalnya mual, muntah dan diare. Sehingga pada anak, penularannya tidak hanya droplet saja namun juga dari feses. Feses anak bisa menularkan Covid-19. Sebagai asumsi bahwa anak Indonesia juaranya infeksi. “Kita (di Indonesia), (penyakit) pembunuh anak no 1 adalah pheumoni dan diare” ujar dokter Aman.
Gejala Covid-19 pada anak hampir sama dengan ciri khas orang dewasa yakni batuk, panas dan sesak. Namun dari data di lapangan, ada gejala tambahan yakni saluran cerna misalnya mual, muntah dan diare. Sehingga pada anak, penularannya tidak hanya droplet saja namun juga dari feses. Feses anak bisa menularkan Covid-19. Sebagai asumsi bahwa anak Indonesia juaranya infeksi. “Kita (di Indonesia), (penyakit) pembunuh anak no 1 adalah pheumoni dan diare” ujar dokter Aman.
Bisa dibayangkan, sehari-hari dokter anak Indonesia
berperang dengan pheumoni dan diare, dan kali ini ditambah melawan Covid-19
pada anak yang gejalanya adalah 2 penyakit tersebut. Pheumoni dan diare adalah komorbid (penyakit penyerta) Covid-19 pada anak.
Kembali ke Sekolah
Indeks kemungkinan anak bisa menularkan Covid-19
adalah 5-10%, dan 90% yang bisa menularkan adalah orang dewasa. Namun, anak juga
bisa menjadi OTG alias orang tanpa gejala. Jika anak dibiarkan ke area publik
sama saja bisa menularkan.
Hari ini, setiap hari dokter Aman menerima
banyak pesan masuk melalui media sosial, hanya untuk bertanya anak yang panas
harus diberi apa. Para orang tua takut membawa anak ke Rumah Sakit, namun bingung
apa yang harus dilakukan jika anak sakit. Bagaimana jika dengan sakit Covid-19?
Dokter menyatakan “Ketika ada (wabah) hand foot and mouth
disease atau Flu Singapura sekolah TK harus ditutup hanya karena luka di mulut
anak”. Tentu buat saya lebih menyeramkan Covid-19 karena belum ada vaksinnya dan ini jenis virus baru yang para ahli saja masih juga terus meneliti.
”Sementara anak Indonesia sekarang ada 90 juta yang berusia 0-18 tahun, jumlah sebanyak ini yang harus diurus” ujarnya.
”Sementara anak Indonesia sekarang ada 90 juta yang berusia 0-18 tahun, jumlah sebanyak ini yang harus diurus” ujarnya.
Lalu apa
saran IDAI jika sekolah dibuka bulan Juli?
dr Aman mengharapkan pemerintah mengajak
dokter anak dan ahli epidemologi untuk menentukan kapan sebaiknya sekolah
dimulai. Bukan ahli ekonomi atau ahli pendidikan yang menentukan. Jangan sampai
kejadian seperti di Prancis dan Finlandia juga terjadi di Indonesia.
Sumber gambar : https://health.grid.id/read/352157878/sekolah-dibuka-kembali-anak-anak-di-prancis-dan-finlandia-terinfeksi-covid-19 |
Kapan waktu yang tepat adalah setelah daerah
PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) ditinjau kembali kondisinya dan daerah lain
yang tidak PSBB ditinjau case by case. Karena setiap daerah ada ketua
dokter anak, dan di IDAI ada satgas Covid sendiri (yang bisa diminta masukan).
Sehingga dokter Aman tidak setuju sekolah
dibuka bulan Juli, hingga dilihat bagaimana data anak kasus Covid-19. Saat ini,
setiap minggu ada kasus anak yang baru. Dan setiap ada anak yang sakit, dokter Aman
rasanya ingin menangis karena anak tidak mau diisolasi
“Ada anak 17 tahun menangis minta orang
tuanya menemani (di isolasi). Bisa kebayang, apalagi belum ada Rumah Sakit
khusus anak untuk Covid. Dimana dirawat di isolasi terpaksa digabung dengan RS
orang dewasa” ucapnya sedih.
Dampak lain anak yang terkena Covid-19 lainnya adalah trauma anak, seperti trauma sakitnya di swap
(karena anak di swap juga tidak mudah), trauma diisolasi, bahkan trauma karena
ditinggal orang tua meninggal karena Covid.
Menjaga Kesehatan
Anak Pada Masa Pandemi
Karena masuk sekolah belum aman, orang tua
harus menjaga kesehatan anak di dalam rumah. Jika masih ada orang tua yang di
luar rumah karena tanggung jawab pekerjaan, maka harus melakukan protokol
kesehatan dengan sangat hati-hati.
·
Menggunakan
masker
·
Mencuci
tangan
·
Setelah
tiba dirumah tidak menyentuh anak
·
Dan mandi
Namun yang lebih utama adalah tetap
dirumah
Meski di rumah, orang tua tetap mengontrol
anak-anak dalam 3 hal yakni pertumbuhan,
perkembangan dan imunisasi. Untuk
pertumbuhan tetap cek tinggi badan dan berat badan. Lalu dipantau di aplikasi
dari IDAI yakni Primaku.
Jika
imunisasi cari tahu klinik anak yang tidak menerima anak sakit. Imunisasi tidak
boleh putus, harus tetap dilakukan. Untuk imunisasi paling lama tunda 1 bulan,
terutama untuk anak dibawah 2 tahun.
Hindari keramaian saat lebaran. Kendali ada
di orang tua. Orang dewasa saja tidak betah menggunakan masker, apalagi anak
apa betah pakai masker lama-lama.
Pesan dokter Aman, tetap dirumah, ini
cobaan, dan bersabar. Dokter Aman titip anak Indonesia kepada orang tuanya.
Keputusan Menunda/Melanjutkan Sekolah Juli
Akhirnya keputusan kami adalah menunda
sekolah formal tahun ini untuk Luigi. Dengan beberapa alasan, diantaranya :
Anak
adalah tamu yang diamanahkan (dan dimintai pertanggung jawaban) yang harus
dijaga haknya
Kesehatan
adalah hak anak, maka berikhtiar menjaga kesehatan anak adalah keharusan
Pelajaran
sekolah bisa dikejar, namun tidak bisa jika sakit. Apalagi jika sakitnya
Covid-19 yang bisa mengakibatkan kematian.
Tidak bisa
memastikan Luigi mengikuti protokol kesehatan di sekolah seperti memastikan
kerasan memakai masker dan tidak mengusap tangan ke mata, hidung dan mulut
Tidak bisa
memastikan mencuci tangan setelah menyentuh benda di sekolah
Tidak bisa
memastikan sekolah untuk tetap menjaga jarak pada anak usia 4 tahun
Tidak
percaya semua anak yang sekolah adalah anak yang sehat (bebas Covid-19),
mengingat ada data anak yang OTG, termasuk juga para guru/ustadzahnya.
Kurikulum
di sekolah bisa dipelajari di rumah (apalagi ini masih TK)
Baca juga : Mengenal Metode Montessori Anak Usia Dini
Baca juga : Mengenal Metode Montessori Anak Usia Dini
Untuk saat
ini rumah adalah tempat terbaik bagi anak bersama orang tuanya
Terlalu
tua di sekolah karena telat? Tidak juga, jika dihitung penundaan sekolah ini,
saat masuk SD Luigi usia 7 tahun. Lagian emang kenapa sekolah yang telat?
Jika
misalnya uang muka masuk sekolah hilang, anggap infaq. Uang bisa dicari lagi. Allah
maha kaya, maka minta rezeki pada Allah. Jika rezekinya Luigi, insyaAllah
dimudahkan sekolah formal di tempat yang direncanakan (di waktu yang tepat).
Semoga menjadi pertimbangan untuk orang
tua yang lain ya.
Salam
Anggraeni Septi
Paragraf terakhir mantul..."jika..."
BalasHapusKalau dibaca ber-ulang² hati jadi ringan. Karena yg utama kesehatan anak. Semoga dimudahkan rizki pengganti, misalnya SPP melayang yah...
Semoga pandemi bisa selesai, dan semua aktivitas bisa kembali normal seperti biasanya, Amin
BalasHapusagak serem ya kalo sekolah di buka masih pandemi gini
BalasHapusah jadi nunda dulu ya baiknya..
BalasHapusmungkin aku juga seperti itu, apalagi aluna sebenarnya juga masih malas sekolah
Semoga Allah SWT segera mengangkat virus corona dari Muka Bumi ini agar tidak ada lagi ke khawatiran para Ortu, terutama bukibuk terhadap Virus Corona.
BalasHapusSepertinya lebih nyaman sekolahnya diliburkan lagi, sampai situasi betul betul aman, kasian para anak - anak penerus generasi Bangsa. Gimana Mbak, setuju gak kalau dikasih tambahan libur... ?
Jadi ingat terakhir kali kita ketemu dan ngobrolin tentang sekolah ya say.
BalasHapusSiapa sangka malah keadaannya malah jadi kayak gini.
Tapi saya rasa pemerintah nggak bakal jadi buka sekolah, setidaknya dalam waktu dekat ini.
Orang kemaren aja sebelum dikeluarkan kebijakan sekolah di rumah, udah banyak ortu yang meliburkan anaknya duluan.
Yang jelas saya juga nggak bakal bolehin si kakak masuk Juli nanti, meskipun sekolahnya bilang mau nerapin ini itu.
Plis deehhh, selama berbulan si kakak nggak sekolah, Alhamdulillah dia jarang sakit, nggak batpil, padahal biasanya ampun deh bolak balik batpil.
Mereka saling menularkan di sekolah.
Lah batpil aja kayak gitu, apalagi virus yang serem kek koro koro ini.
Palingan sekolah yang agak berat nih, soalnya kudu motong biaya spp, tapi sekolah anakku potongannya dikit doang, dan terus terang pengajaran via online nggak seefektif via langsung, karena pakai perantara, di mana, gurunya ajarin ortu, ortu ajarin anak, hahahaha.
Tapi biar deh, yang penting anak-anak aman, masalah pelajaran bisa dikejar, tapi kalau udah sakit rempong sendiri
Anakku yang bungsu, Sandrina, sampai saat ini hanya melakukan kegiatan sekolah secara virtual. mengerjakan tugasnya di rumah masing-masing. Kami sebagai orang tua masih belum mengizinkan anak masuk sekolah karena masih khawatir.
BalasHapus