Merawat Cagar Budaya Indonesia di Kota Surabaya


Sebuah hall besar tampak penuh oleh rombongan anak muda Surabaya. Pagi yang sejuk, ruang depan kantor Gubernur Jawa Timur ramai oleh peserta blusukan yang diadakan komunitas Love Suroboyo. Lebih dari 50 orang akan mengunjungi bangunan cagar budaya yang dimiliki kota Surabaya.

Blusukan berasal dari bahasa Jawa yang artinya masuk ke tempat tertentu untuk mengetahui sesuatu. Agenda hari itu adalah menelusuri jejak-jejak kisah perjuangan dibalik peninggalan Belanda ini. Saya termasuk datang terlebih dahulu, karena tak ingin tertinggal sedetik pun penjelasan tour guide. Buat sebagian orang mungkin kegiatan blusukan terkesan jadul alias kuno dan gak kekinian. Padahal, ada kenikmatan dalam setiap penjelajahan ke cagar budaya..


Untuk mengetahui sejarah singkat gedung kantor Gubernur Jawa Timur ada monumen penanda yang berisi kenapa bangunan yang dibangun tahun 1929 termasuk cagar budaya. Di gedung ini presiden Soekarno berunding dengan Jenderal Hawthorn untuk mendamaikan pertempuran Oktober 1945. Gubernur Soerjo tanggal 9 November 1945 jam 23.00 memutuskan menolak ultimatum Jenderal Mansergh sehingga terjadilah pertempuran 10 November 1945. Sebuah pertempuran yang diceritakan dari generasi ke generasi. Sejak kecil saya mendapat banyak cerita bahwa kota Surabaya punya julukan Kota Pahlawan karena peristiwa besar itu.  

Sejak acara blusukan, saya jadi ketagihan keluar masuk cagar budaya Surabaya. Ternyata inilah minat saya sejak duduk di bangku sekolah - belajar sejarah. Bersama komunitas Love Suroboyo saya beberapa kali berkesempatan mengunjungi cagar budaya lainnya, bahkan sebelum proses revitalisasi seperti kawasan Kota Tua Surabaya. Ternyata, Surabaya kaya akan peninggalan masa lalu dan beberapa diantaranya menjadi cagar budaya.  Berdasarkan laman tutwuri.id, hingga bulan Agustus 2019 kota Surabaya memiliki 181 objek yang sudah didaftarkan ke laman cagarbudaya.kemdikbud.go.id dan 101 objek sudah terverifikasi. Sementara itu ada 76 objek penetapan dari SK Wali Kota Surabaya.

saya dan teman-teman dari komunitas Love Suroboyo mengunjungi kantor Gubernur Jawa Timur

Pada tanggal 3-5 September 2019, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, mengadakan Kampanye Pelestarian Cagar Budaya di Surabaya. Surabaya dipilih sebagai tuan rumah kampanye Pelestarian Cagar Budaya karena merupakan kota yang memiliki cukup banyak Cagar Budaya Nasional dan banyak objek yang diduga cagar budaya.

Sejarah Surabaya sebagai Catatan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Jika diruntut kebelakang, Surabaya memiliki banyak cagar budaya karena merupakan kota yang tak lepas dari catatan perjuangan negara Indonesia. Hanya Surabaya kota di Indonesia yang memiliki julukan sebagai kota Pahlawan. Identitas ini bukanlah tanpa makna. Hampir setiap sudut kota menyimpan kisah heroik didalamnya.

Bagaimana pada tanggal 28-30 Oktober arek-arek Suroboyo melawan pasukan Inggris. Puncaknya pada 10 November 1945 rakyat Surabaya melawan kekuatan lebih kurang 24.000 pasukan Inggris. Sebuah kekuatan yang tidak seimbang. Namun dengan semangat perlawanan, arek Suroboyo yang hanya bersenjatakan bambu runcing harus melawan Inggris dengan persenjataan lengkap.

Media-media Inggris menyebut pertempuran 10 November sebagai “HELL” yang menggambarkan ganasnya pertempuran. Hingga Brigjen Mallaby seorang jenderal Inggris terbunuh dalam insiden di Jembatan Merah Surabaya. Tercatat lebih dari 30.000 orang Surabaya gugur membela setiap jengkal tanah pertiwi. Untuk menghormati perjuangan tersebut, setiap tanggal 10 November diperingati sebagai hari pahlawan dan Surabaya disebut sebagai Kota Pahlawan.

Oleh karenanya sisa-sisa masa penjajahan terlihat dari banyaknya bangunan kuno bersejarah di Surabaya. Banyak bangunan kuno yang menjadi cagar budaya erat kaitannya dengan peristiwa perjuangan. Sebut saja Hotel Yamato yang menjadi lokasi heroik insiden pengibaran bendera merah putih biru – bendera Belanda (The Flag Incident) yang menimbulkan kemarahan rakyat Surabaya. Hingga dirobek oleh beberapa pemuda Surabaya dan tersisa warna merah dan putih.

aku memegang foto The Flag Incident yang dipasang di samping lobby hotel

Didirikan oleh Lukas Martin Sarkies tahun 1910 tempat ini sekarang bernama Hotel Majapahit. Tetap beroperasi dan mempertahankan keaslian arsitektur bangunan untuk menjaga nilai sejarahnya. Setiap tahun pemerintah Kota Surabaya memperingati hari bersejarah itu dengan diadakan Teatrical Flag Incident (teatrikal peristiwa perobekan bendera) setiap tanggal 19 September karena merupakan bagian sejarah kota Surabaya.

Saya pernah mengikuti Heritage Hotel Tour, Hotel Majapahit bersama kawan sesama pecinta cagar budaya. Kami diajak berkeliling melihat setiap sudut bersejarah dengan seorang tour guide profesional. Selama tour heritage itu, beberapa foto tempo doeloe hitam putih dipasang di lokasi yang sama, sehingga kita seakan berada di sebuah lorong waktu. Ikut terhanyut saat tour guide menceritakan sejarah masa pasca kemerdekaan itu. Bahkan kami diantar ke lokasi perobekan bendera di lantai 2. 


Lokasi perobekan bendera dari depan lobby

Angin semilir sejuk dari jantung kota Surabaya turut menghanyutkan lamunan, betapa kisah itu sungguh heroik. Membayangkan pemuda Surabaya tidak takut mati untuk mempertahankan kemerdekaan. Saat ini Hotel Majapahit menjadi salah satu cagar budaya nasional SK Menteri nomor 021/M/2014.

Bertandang ke beberapa cagar budaya Surabaya, saya semakin menyadari bahwa betapa nikmatnya hidup zaman sekarang. Saya tidak perlu melakukan yang hal yang sama seperti pendahulu kami. Kita hanya bisa action untuk memamerkan foto di media sosial dengan latar cagar budaya yang eksotik. Bahkan mungkin menjadi penghamba like belaka. Hanya sebatas ingin eksis.

lantai 2 Hotel Majapahit, dekat dengan lokasi perobekan bendera

Ternyata akan berbeda kondisinya ketika kita tahu sejarah dibalik cagar budaya yang ada. Saya jadi ikut merinding dengan perjuangan para moyang. Dengan menjelajahi cagar budaya, kita bisa belajar sejarah dengan cara yang asyik. Sejarah tidak lagi monoton menghafal tanggal, bulan dan tahun, juga hanya melihat foto jadul. Namun sejarah akan bisa mengena jika kita ikut melihat peninggalan yang ada dan merasakan setiap hikmah kisah didalamnya. Efek sering bertandang cagar budaya, jadi semakin mencintai kota Surabaya - tempat saya lahir dan dibesarkan.

Akhirnya saya punya ide mengajak anak saya – Luigi (3 tahun) untuk mengikuti hobby saya, mengunjungi cagar budaya. Di minggu yang sejuk, kami sengaja bangun lebih pagi untuk menjelajah Tugu Pahlawan. Tugu Pahlawan adalah monumen yang dibuat perintah Republik Indonesia atas keberanian arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan, baik dari kekuasaan Jepang maupun Sekutu yang diboncengi Belanda dalam pertempuran 10 November 1945. Tugu Pahlawan juga dilengkapi dengan museum 10 November dibawah tanah.

Bersama Luigi mengunjungi Tugu Pahlawan sebagai cagar budaya nasional. Dalam foto : Cak Gepeng dari komunitas Roodebrug Soerabaia

Museum ini ada bukan dibentuk kemarin sore. Sebagai museum tua, penataan barang tidak membosankan. Dalam suasana tempo doeloe, membuat betah setiap pengunjung yang datang. Apalagi terdengar sayup-sayup instrumen lagu Gugur Bunga. Disini kita bisa mendengar suara Bung Tomo yang berkobar-kobar dalam memantik semangat arek Suroboyo. Sungguh merinding membayangkan jika saya berada dalam kondisi itu. Apakah saya akan menyerah mati, atau tetap berjuang dengan segenap jiwa raga. Pilihan pejuang Surabaya saat itu hanya “Merdeka atau Mati”. 

Selain mendapatkan cerita sejarah, kami juga bisa melihat berbagai peninggalan pertempuran Surabaya. Beberapa persenjataan arek Suroboyo seperti bambu runcing masih disimpan. Bambu runcing merupakan senjata andalan yang digunakan untuk melawan penjajah pada masa itu.

bambu runcing pejuang yang disimpan menjadi koleksi Museum 10 November Surabaya

Pada area seluas 2,5 hektar, saya baru mengerti detail peristiwa yang terjadi di Surabaya setelah proklamasi. Surat kabar dan radio menjadi media yang vital untuk mengabarkan kemerdekaan. Meski para pimpinan Jepang berusaha mencegah tersebarnya berita proklamasi, namun media massa tidak kekurangan akal. Mereka menyebarkan proklamasi dengan cara penyamaran, yakni ditulis dengan bahasa Jawa dan Madura agar sulit dimengerti Jepang.

Yang paling membuat bulu kuduk merinding adalah makam pahlawan tak dikenal. Ah... mungkin mereka tak dikenal dunia, namun di akhirat semoga namanya semakin harum. Tugu Pahlawan tidak hanya menjadi kebanggaan warga Surabaya, namun juga rakyat Indonesia. Pantaslah Tugu Pahlawan termasuk cagar budaya nasional SK Menteri nomor 022/M/2014.

Cagar budaya diatas adalah contoh cagar budaya Indonesia yang menjadi jalan penghubung ke masa lalu untuk menapaki masa depan sebuah bangsa.

Sehingga, mengapa kita harus merawat cagar budaya?
Cagar budaya adalah identitas bangsa
Perjalanan bangsa Indonesia dapat dilihat dari peninggalan yang masih ada. Misalnya candi, prasasti, situs, persenjataan yang masih tersimpan di museum dan lainnya kita bisa tahu Indonesia kaya akan budaya dari cagar budaya yang ada.

Dengan melihat berbagai peninggalan persenjataan tradisional jaman penjajahan, rakyat Surabaya bersatu padu untuk hidup merdeka. Identitas persatuan dan kesatuan menjadi kekuatan dahsyat yang mendorong mereka lepas dari belenggu penderitaan.  

Cagar budaya menggambarkan identitas kota
Julukan kota Pahlawan tentu tidak datang begitu saja. Dari kisah cagar budaya Tugu Pahlawan misalnya, kita jadi tahu bahwa identitas kota Pahlawan adalah karena jasa arek Suroboyo yang mengorbankan jiwa raga demi kemerdekaan. Generasi hari ini menjadi tidak kabur terhadap nilai historis yang tersirat dalam cagar budaya.

Cagar budaya merupakan pereka ulang sejarah
Dari peninggalan cagar budaya yang masih ada, dapat direkontruksi kisah di masa lampau. Tanpa ada peninggalan yang bisa dijejaki, pengungkapan narasi sejarah akan sangat sulit. Contohnya cerita Hotel Yamato, jika hotel itu diratakan dengan tanah tentu generasi hari ini tak akan pernah tahu ada kisah The Flag Incident yang menjadi bagian dari sejarah kota dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Cagar budaya sebagai Maha Karya yang Indah
Cagar budaya di Surabaya -contohnya- lebih banyak berupa bangunan-bangunan kuno. Dengan ciri khas arsitektur merupakan karya seni yang sangat indah dari setiap perancangnya. Kita bisa mempelajari sejarah dari maha karya Belanda, saat merancang dan membangun berbagai bangunan eksotik di Surabaya.  

arsitektur Hotel Yamato, yang sekarang menjadi Hotel Majapahit Surabaya

Cagar budaya memiliki umur yang sudah puluhan tahun, bahkan lebih
Cagar budaya rentan oleh kerusakan karena faktor alam. Seringnya terkena hujan dan sinar matahari, membuat cagar budaya mudah rapuh. Oleh karenanya perlu dirawat agar tetap lestari. 

Mengetahui nilai yang dianut pada masa itu
Sebuah cerita dari cagar budaya bukan romantisme sejarah belaka, namun ada sisi lain yang juga penting. Kita bisa mengetahui nilai-nilai apa yang dijadikan pedoman masyarakat saat itu. Seperti kisah heroik The Flag Incident yang mengandung nilai kejuangan dan kepahlawanan. Setiap jengkal cagar budaya di Surabaya, banyak yang menjadi bagian dari sejarah perjuangan pertempuran 10 November.

Mengutip tulisan David Wehl dalam bukunya yang berjudul The Birth of Indonesia dan disadur oleh Ady Setyawan, mengatakan : “fanatisme dan kemarahan rakyat Surabaya tidak pernah dihadapi lagi dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya. Tiada lagi pertempuran yang dapat disejajarkan dengan peristiwa di Surabaya baik dalam hal keberanian, keteguhan dan ketabahannya”.

Ketiga nilai inilah yang menjadi pembakar semangat arek Suroboyo dalam melawan penjajah. Keberanian, keteguhan dan ketabahan pahlawan Surabaya semata-mata karena cinta tanah air.

Lalu, Bagaimana Konstribusi Masyarakat untuk Merawat Cagar Budaya Indonesia?
Pemerintah kota dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tidak bisa sendirian dalam upaya merawat cagar budaya. Butuh dukungan semua pihak, terutama masyarakat umum. Beberapa ide konstribusi yang bisa kita lakukan diantaranya :

Turut berpartisipasi mendaftarkan benda yang diduga cagar budaya.
Saya belajar dari salah satu komunitas pegiat sejarah, Roodegrug Soerabaia yang melakukan penelitian tentang Benteng Kedung Cowek. Mereka mengajukan Benteng Kedung Cowek sebagai salah satu cagar budaya Surabaya. Akhirnya dilakukan diskusi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surabaya dan pengecekan kondisi lapangan karena penetapan cagar budaya butuh pertanggung jawaban akademik.

sejarah Benteng Kedung Cowek yang saya foto dari Museum 10 November

Kini, warga Surabaya sedang menanti penetapan Benteng Kedung Cowek sebagai cagar budaya Surabaya. Dulu saat kesana, Benteng Kedung Cowek kondisinya menakutkan karena banyak vegetasi liar menutupi benteng. Sekarang sebagian tanaman liar dibersihkan.

Ternyata peran masyarakat juga penting dalam upaya pendaftaran cagar budaya daerahnya. Karena pelestarian cagar budaya diawali oleh proses pendaftaran sebelum upaya penetapan cagar budaya.  

Benteng Kedung Cowek Surabaya. Difoto oleh : Rachmad Juliantono

Mengunjungi cagar budaya, minimal yang terdekat di daerahmu
Dengan mengunjungi cagar budaya, kita mendapat ilmu pengetahuan dan pengalaman yang baru. Dengan mengunjungi cagar budaya, biaya retribusi bisa digunakan untuk merawat cagar budaya yang ada. Tak perlu menginap di hotel bintang lima sekelas Hotel Majapahit Surabaya hanya untuk merasakan sensasi sejarahnya. Cukup membayar Rp.85.000 kita sudah diajak heritage tour setiap sudut bangunan.

Bagaimana jika tidak punya uang? Masih banyak cagar budaya yang gratis alias tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Salah satunya rumah guru para pendiri bangsa, Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto yang merupakan ketua organisasi pergerakan terbesar di Hindia Belanda. 

Rumah di jalan Peneleh VII Surabaya ini menjadi salah satu cagar budaya nasional dengan SK Menteri No 189/M/2017. Saat ini kediaman Tjokroaminoto menjadi museum yang bisa dikunjungi kapan saja tanpa biaya. Kita bisa melihat peninggalan Tjokroaminoto yang masih ada. Disediakan pula tour guide profesional yang akan menjawab segala keingintahuan kita tentang guru presiden Soekarno ini.

Melindungi dengan 2 cara :
Tidak menjualnya
Surabaya pernah memiliki Bangunan Cagar Budaya (BCB) di Jalan Mawar 10-12. Ditempat itulah rumah radio perjuangan Bung Tomo membakar semangat arek Suroboyo. Suara Bung Tomo menggetarkan siapapun yang mendengarnya sehingga pilihannya hanya Merdeka atau Mati. Namun,  bangunan bersejarah ini pernah musnah, rata dengan tanah.

Dalam sejarahnya Surabaya juga memiliki Rumah Sakit Simpang. Di buku Surabaya Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu, Ady Setyawan menulis ketika Pertempuran Surabaya meletus, Rumah Sakit Simpang adalah salah satu rumah sakit utama yang menampung para korban pertempuran. 

Replika kondisi Rumah Sakit Simpang pernah saya lihat di museum 10 November. Pada replika ini digambarkan bagaimana korban pertempuran ditandu penuh simbah darah. Kini Rumah Sakit Simpang sebagai bangunan sejarah juga musnah dan telah beralih fungsi menjadi pusat perbelanjaan.

Sungguh hal ini sangat disayangkan, bangunan bersejarah akhirnya kalah dengan derap pembangunan kota. Padahal semua bisa terintegrasi asal dilakukan dialog antara pemilik bangunan dan pemangku kebijakan. Sehingga ada konsep tata ruang kota modern tanpa mengorbankan cagar budaya.

replika Rumah Sakit Simpang di Museum 10 November Surabaya

Tidak melakukan vandalisme
Cagar budaya adalah hal yang unik dan bisa jadi tidak akan ada lagi gantinya. Sehingga penting buat kita untuk tidak melakukan pengrusakan dan pencoretan agar terjaga nilai sejarahnya.

Mendokumentasikan dan Menuliskannya
Kecintaan saya akan cagar budaya membuat saya suka mendokumentasikan perjalanan melalui blog ini. Pikiran saya sederhana saja, esok bisa dibaca anak saya (Luigi). Di zaman serba digital seperti sekarang, mudah sekali jika mendokumentasikan berbagai cagar budaya yang telah dikunjungi. Tak lupa saya menuliskan apa saja hal penting penjelasan dari tour guide. Esok, tak selamanya saya hidup di dunia. Namun dengan dokumentasi foto dan cerita pada saat itu, akan menjadi warisan untuk anak cucu.

Mengajak
Setelah mendapat pengalaman baru dengan mengunjungi cagar budaya Indonesia, kita bisa mengajak orang lain. Tidak hanya mengajak komunitas sejarah dan budaya, namun masyarakat umum. Dimulai dari mengajak keluarga menjadikan cagar budaya sebagai tujuan wisata, kemudian meningkat mengajak teman-teman. Kita ceritakan nikmatnya menjelajah cagar budaya dan manfaat apa yang telah didapatkan.

Saya saat mendampingi Forum Anak Surabaya (FAS) menjelajah Tugu Pahlawan Surabaya

Mempromosikan
Menghargai jasa pahlawan tak perlu lagi dengan ikut mengangkat bambu runcing untuk melawan penjajah. Setelah mengajak orang lain, kita bisa mempromosikan cagar budaya Indonesia melalui narasi ataupun foto di media sosial.

postingan di Instagram setelah sambang Hotel Majapahit


Mengutip kalimat dari Neil Armstrong saat menjejakkan kaki di Bulan
“that’s one small step for (a) man, one giant leap for mankind.” yang artinya “.. satu langkah kecil yang dilakukan oleh seseorang tapi lompatan besar bagi umat manusia.”

Derap pembangunan kota tak bisa dihindari, pengembangan kota dan insfrastruktur modern adalah keniscayaan. Namun cagar budaya adalah identitas sebuah bangsa dan jejak peradaban. Siapa lagi yang akan merawat cagar budaya Indonesia jika bukan kita.

Kunjungilah cagar budaya Indonesia, minimal di tempat tinggalmu, agar kau mengenali kotamu. Dengan mengenali kotamu, kamu akan mencintai negerimu. Berkontribusilah dalam merawatnya agar kelak anak cucu kita masih bisa melihat peninggalan nenek moyangnya yang hebat. Karena sekecil apapun yang kita dedikasikan kepada cagar budaya, pasti akan bermanfaat untuk generasi berikutnya.

Sudahkah kamu mengunjungi cagar budaya didaerahmu? Jika sudah, share pengalaman yang berkesan di kolom komentar dan ikuti juga kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia : Rawat atau Musnah! 






Yuk ikut merawat cagar budaya agar lestari !!!

#CagarBudayaIndonesia 
#KemendikbudxIIDN 




Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia : Rawat atau Musnah! #CagarBudayaIndonesia #KemendikbudxIIDN. Semua foto yang digunakan adalah milik penulis dan foto pada sampul adalah foto pribadi yang diedit menggunakan Canva.


Referensi buku :
Aminuddin, Kasdi. 2009. Profil Cagar Budaya Surabaya 2009. Surabaya : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya
Setyawan, Ady. Marjolein van Pagee. 2018. Surabaya Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?. Yogyakarta : Matapadi Presindo
Surabaya Kota Pahlawan, Ide Indonesia, edisi 05, Juni 2012

Referensi daring :
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/kampanye-pelestarian-cagar-budaya-di-surabaya/ diakses 18 November 2019
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/pemerintah-ajak-daftarkan-cagar-budaya/ diakses 18 November 2019
http://www.tutwuri.id/2019/09/04/kemendikbud-surabaya-salah-satu-kota-yang-miliki-banyak-cagar-budaya/ diakses 18 November 2019
https://surabaya.liputan6.com/read/4071069/menanti-benteng-kedung-cowek-jadi-cagar-budaya-di-surabaya diakses 18 November 2019



5 komentar

  1. Luar biasa KOta Surabaya dalam merawat cagar budaya setempat. Pemkotnya kreatif sehingga situs atau benda bernilai budaya tetap lestari hingga kini. Namun tetap perlu partisipasi masyarakat ya agar warisan budaya itu bisa dinikmati hingga generasi-generasi terdahulu. Apalagi anak-anak millenial dan genersi Z, mesti terlibat aktif nih. Moga cagar budaya di Indonesia tetap terjaga dengan kepedulian warganya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyak, betuullll Mas.
      Pemkotnya kreatif, inovatif, semangaaatt, tapi kalo warganya ogah ngerawat cagar budaya, yaaaa sama juga bo'ong :D

      Hapus
    2. @rudi G. Aswan : banyak cagar budaya yang dirawat bahkan gratis mas hihi. Ayuklah kalo ke Surabaya, jalan-jalan ke cagar budaya. :D entar aku kasih tahu, cagar budaya mana aja yang asyik bawa keluarga

      @nurul Rahma : Semoga warga Surabaya ikutan merawat cagar budaya ya mba, agar tetap lestari dan nilai sejarahnya tidak hilang

      Hapus
  2. Aku cuma punya foto tugu pahlawan. Padahal banyak bangunan cagar budaya di Surabaya. Apalagi ketika lewat kota tuanya, pengen berhenti sejenak dan menikmati bangunan-bangunan kuno.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo ke kota Tua, parkir di Jembatan Merah Plaza (JMP) atau di Taman Sejarah aja mba hihi :) banyak bangunan cagar budaya eksotik di daerah kota Tua mulai Jalan Panggung, Kembang Jepun, Jalan Gula sampai Jalan Karet :)

      Hapus