Pernah gak sih galau karena ngerasa
orang lain kok gak seperti keinginanku. Misalnya nih, “anakku tuh kurus, aku pengen anakku makannya lahap tanpa drama”.
Seperti Kawa gitu loh (kalo gak tahu siapa Kawa jangan tanya ya, haha). Asli!!! itu
pasti bikin baper kalo akhirnya si kecil diajak mangap aja ogah.
Atau pernyataan “aku tuh pengen suami selalu mengerti perasaanku yang terdalam, tahu kalo aku lagi ngambek, jadi dia tiba-tiba kasih kejutan emas berlian gt loh”. Lalu sebel setengah mati saat semua orang dirasa gak memenuhi harapannya.
Atau pernyataan “aku tuh pengen suami selalu mengerti perasaanku yang terdalam, tahu kalo aku lagi ngambek, jadi dia tiba-tiba kasih kejutan emas berlian gt loh”. Lalu sebel setengah mati saat semua orang dirasa gak memenuhi harapannya.
Hal diatas bener apa salah? Ya bisa
bener kalo kita anggap suami kita Ki Gendeng Pamungkas wkakaka. Apa hayo yang
bikin sebel sama cerita diatas? Karena kita meletakkan tujuan yang orang lain
sebagai kendalinya. Atau tujuan kita yang gak jelas. Gimana gimana nih
maksudnya.
Bertempat Jalan Embong Sawo 20
Surabaya, Alhamdulillah semua terjawab di Enlightening Parenting Alumni Dialog's (31/8).
Dipandu mba Fira dan mba Ninta sebagai team
sharing EP, para alumni sejumlah 10 orang berdialog tentang penerapan
aplikasi mengenai WFO.
Tentang
Tujuan
Tujuan adalah penggerak otak manusia. Dan
bawah sadar hanya mengenali tujuan yang bentuknya jelas (well-formed outcome). Pernyataan yang saya sampaikan diatas itu
adalah tujuan yang tidak WFO. Ada beberapa variable yang harus dipenuhi supaya
tujuan kita WFO, diantaranya
1.
Diri sebagai kendali
2.
Spesifik dan terukur
3.
Kalimatnya positif
4.
Melibatkan VAK
5.
Selaras/ekologis
Lima hal ini lah yang kemarin kami review. Tetapkan dulu tujuannya yang DIRI sendiri sebagai kendali. Misal
tujuannya : saya harus bisa berenang. Jika kata-katanya saya, maka dirilah
sebagai kendali. Bisa berenang ini ukurannya sampe seperti apa? kudu spesifik. Misalnya
harus bisa 3 gaya (gaya bebas, gaya katak dan gaya punggung).
Nah apa yang keliru dari cerita diatas
diparagraf awal? Karena tujuan tersebut orang lain sebagai kendali. “saya
pengen anak saya setiap makan lahap”. Kalo anaknya makannya gak lahap, apa yang
terjadi? Mungkin kita bakal jadi murka huahaha.
Padahal mengutip kata Bu Okina “tujuan
yang menggantungkan hasilnya kepada perubahan perilaku orang lain adalah tujuan
yang paling rawan menghasilkan perasaan frustasi”. Bayangan VAK (visual,
auditif dan kinestetik) kita jika tujuannya makan lahap adalah anaknya makannya
hap hap sambil tersenyum. Uift beratnya tujuan ini.
Dan dari kalimat tujuan tadi, harus
menggunakan kalimat positif. Karena kalimat positif memberi arah. Contoh
kalimat negatif “jangan hadap ke timur” lalu hadap mana? Ya bisa kemana aja
selain timur. Makin bluur tujuannya. Contoh lagi “jangan mikirin hape”. Yang
ada malah kita mikirin hape dulu, baru kepikiran mikir apa lagi ya. Ye kan.
Dan tentu kudu ekologis “saya pengen si
kecil gak main hape dengan cara saya enggak main hape didepannya”, hal ini
tentu gak ekologis kalo Emaknya jualan online yang notabene kudu sering ngecek
hape. Nah loh.
Proses
Sharing
Kemarin kami akhirnya lebih banyak sharing alias latihan bagaimana membuat
tujuan yang WFO. Mba Mirda ngasih contoh misalnya “saya akan ngajak Arraas main”. Jika tujuannya mengajak, maka jika
anaknya nolak ya gak papa. Ukuran tercapainya khan mengajak. Mengajak itu
berarti sudah terucap lisan. Kalo anaknya gak mau ya its OK. Kadang kita tuh ber”nafsu” pengen selalu di-iya-in anak.
VAKnya terbayang “setelah mengajak bakalan main sama anak”.
Lalu apa yang harus kita lakukan kalo
anak menolak diajak main. Kitanya yang evaluasi, balik ke 5 pilar pengasuhan
ala Enlightening Parenting.
1.
Selesaikan emosinya
2.
Fokus pada tujuan
3.
Bangun kedekatan
4.
Ketajaman indera
5.
Fleksibel dalam tindakan
Misalnya dia nolak ya gunakan ketajaman
indera. Jangan si kecil lagi asik main bola, tetiba kita “ayo Nak, bikin-bikin seni”.
Saya sendiri ikutan curhat karena pernah mengalami frustasi
ketika Luigi harus saya masukkan kelas musik sejak usia dua tahun. Latar
belakang kenapa Luigi saya masukkan kelas musik adalah karena sejak kecil saya
pengen les musik tapi gak dibolehin sama Bapak (ini kayak agenda terselubung
orang tua ya haha).
Tujuan “pencitraannya” sih supaya Luigi seneng sama musik, sukur-sukur dia bisa punya keahlian di salah satu alat musik. Makanya saya getol dimulai dari 2 tahun. Apa yang salah dari tujuan itu? Luigi sebagai kendali.
Tujuan “pencitraannya” sih supaya Luigi seneng sama musik, sukur-sukur dia bisa punya keahlian di salah satu alat musik. Makanya saya getol dimulai dari 2 tahun. Apa yang salah dari tujuan itu? Luigi sebagai kendali.
Lama-lama saya gak melihat Luigi
seperti harapan saya. Dikelas dia sering mangkir, tidak memperhatikan Miss,
malah bikin kacau forum. Huaaah.
Sudah dibriefing and role playing? Sudah dong. Sudah dipuji efektif ketika fokus? Tentu dong.
Tapi ya namanya bocah, ada saja tingkah yang bikin saya mengangkat satu alis. Ditambah suster temen lesnya suka melirik saya ketika Lui mulai “bertingkah”. Bikin saya yang awalnya mengangkat satu alis, jadi nambah omelan marah ke Lui -.- (hati-hati bener sama lirikan guys, saya ngerasainnya aja enggak enak loh dilirik, hiks)
Sudah dibriefing and role playing? Sudah dong. Sudah dipuji efektif ketika fokus? Tentu dong.
Tapi ya namanya bocah, ada saja tingkah yang bikin saya mengangkat satu alis. Ditambah suster temen lesnya suka melirik saya ketika Lui mulai “bertingkah”. Bikin saya yang awalnya mengangkat satu alis, jadi nambah omelan marah ke Lui -.- (hati-hati bener sama lirikan guys, saya ngerasainnya aja enggak enak loh dilirik, hiks)
Tujuannya gak WFO, dan saya gak balik
ke lima pilar pengasuhan. Ambyar.
Sebenarnya Agustus adalah bulan terakhir kelas musik Lui. Tapi sejak Juli awal,
saya stop. Karena merasa saya makin gak
“waras” kalo anter Lui les musik.
Apalagi terkadang saya anter dari Gresik padahal lesnya di Jalan Sulawesi
Surabaya. Sungguh tujuan yang tidak ekologis -.-
Lalu apa dong evaluasinya? Coba misal diganti tujuannya : "saya akan mengenalkan Luigi pada musik". Mungkin bakalan lebih rileks saat mengantar dan menemaninya les musik.
Lalu apa dong evaluasinya? Coba misal diganti tujuannya : "saya akan mengenalkan Luigi pada musik". Mungkin bakalan lebih rileks saat mengantar dan menemaninya les musik.
Kita sepertinya merasa sudah melakukan
semuanya ke anak, tapi dengan cara yang sama tapi pengen hasil beda. Seperti
kata Einsten “kegilaan adalah melakukan hal yang sama terus menerus berharap hasil
yang beda”. Jleb banget ketika mba Fira nyampekan ini.
Ada lagi yang jadi catatan saya tentang
pertanyaan mba Chintya. Menyuruh anak mandi bukan sesuatu hal yang terlalu
penting, tapi bukan mandinya sebenernya. Namun dengan tujuan menyuruh mandi
kita mengajarkan anak disiplin.
Jawaban mba Fira kurang lebih seperti
ini. Tidak ada disiplin tanpa kesepakatan. Dan kesepakatan tadi sesuai value keluarga. Value adalah nilai yang dianut keluarga. Misalnya jika kita
keluarga menganut value mandi harus
5x sehari. Dari 5 kali bisa di range
waktunya agar ekologis. Trus “what if” nya kudu jelas.
Misalnya ada jadwal mandi setiap jam 7 malam, lalu bagaimana jika tiba-tiba ada tamu. Dan jangan lupa role playing ke anak, karena ada perilaku yang pengen kita harapkan.
Trus dikasih standart ke anak, mandi tuh sampe seperti apa, mandi cepet tuh gimana, perlu enggak pakai timer dan lain sebagainya. Menyesuaikan kondisi keluarga masing-masing.
Misalnya ada jadwal mandi setiap jam 7 malam, lalu bagaimana jika tiba-tiba ada tamu. Dan jangan lupa role playing ke anak, karena ada perilaku yang pengen kita harapkan.
Trus dikasih standart ke anak, mandi tuh sampe seperti apa, mandi cepet tuh gimana, perlu enggak pakai timer dan lain sebagainya. Menyesuaikan kondisi keluarga masing-masing.
Disiplin itu tentang tanggung jawab. Kalo
tanggung jawab tentu ada hukumnya. Ada wajib, sunnah dan mubah. Mba Fira
ngingetin kita semua buat fokus sama hal yang wajib dulu.
Boleh gak menganut value mandi 5x ? Ya boleh-boleh aja asal itu menyenangkan. Jangan sampe kita melepas kewajiban gara2 yang mubah. Jadi, mengajak anak disiplin kudu menyenangkan dulu. Tentunya dengan pola komunikasi yang efektif.
Boleh gak menganut value mandi 5x ? Ya boleh-boleh aja asal itu menyenangkan. Jangan sampe kita melepas kewajiban gara2 yang mubah. Jadi, mengajak anak disiplin kudu menyenangkan dulu. Tentunya dengan pola komunikasi yang efektif.
Segala kesepakatan dengan anak harus
diasumsikan bahwa anak kudu diberi pengetahuan atau knowladge (ibaratnya ditanam dulu). Diberi strong why. Kenapa harus melakukan hal tersebut. Baru diberi
pilihan kesepakatan. Bila perlu kita melakukan perseptual position sebelum briefing
ke anak.
Mba Ninta menambahkan, jika sudah
“menanam” value yang keliru ke anak, minta maaf ke anak terlebih dahulu tanpa tapi. Lalu bikin kesepakatan
ulang ke anak.
Obrolan
lain-lain
Dari obrolan kemarin juga ada beberapa
tambahan yang perlu saya ingat melalui tulisan ini. Seperti konsep percaya
diri. Pemahaman bahwa percaya diri yang dipersempit dengan ukuran berani tampil
didepan umum.
Padahal ketika anak mengatakan “kalo buah aku maunya semangka aja” itu salah satu bentuk percaya diri anak karena berani mengatakan apa yang dia mau.
Padahal ketika anak mengatakan “kalo buah aku maunya semangka aja” itu salah satu bentuk percaya diri anak karena berani mengatakan apa yang dia mau.
Tentang membuat anak cinta akan shalat.
Pernah mba Fira membatalkan shalat karena tidak pamit anaknya. Daripada anaknya "benci" shalat mending kita yang mengulang shalat.
Dan obrolan komunikasi suami istri yang
disampaikan mba Ninta di akhir. Sungguh itu bikin saya mikir, karena kayaknya
saya lempeng-lempeng aja selama ini.
Kurang ada usaha dalam perbaikan komunikasi ke suami. Padahal jika komunikasi berjalan
baik dengan memulai terlebih dahulu, jadi enak kok sebenernya.
Dan terakhir, kami diberi soal untuk latihan WFO. Soalnya jenis study kasus dan mengidentifikasi apakah case tersebut WFO atau tidak. Ah seru deh. Emang dialog pagi itu sangat hidup. Semua alumni aktif bertanya ataupun ngasih masukan. Dan saya ngerasanya kayak kita semua udah lama kenal :D
![]() |
Fokus pada tujuan :) |
Kesimpulan
Memang sepertinya dialognya tercampur
dengan bahasan lain, karena memang semua materi Enlightening Parenting saling
berkaitan satu sama lain. Namun kesimpulan dari dialog kemarin adalah tentukan
dulu kita ini pengen apa? gambarkan tujuan. Karena tujuan yang menggerakkan
otak kita. Dan tanyakan kenapa tujuan itu penting?
Jangan lupa saat membuat tujuan kitalah
kendalinya, bukan orang lain. Tentu dengan kalimat yang positif. Buatlah ukuran
yang jelas terhadap tujuan tersebut sampai terbayang VAK yang diinginkan. Dan
pastikan tujuan tersebut selaras/ekologis.
Jangan suka stres atau marah-marah
padahal kita sendiri yang suka bikin benang kusut karena tujuan yang kurang
jelas.
Yuk evaluasi tujuan setiap tindakan yuk. InsyaAllah gak lagi terpaku sama masalah itu itu lagi.
Yuk evaluasi tujuan setiap tindakan yuk. InsyaAllah gak lagi terpaku sama masalah itu itu lagi.
Cakeep banget tulisannya.. lengkap, runut, memudahkan untuk memahami lagi tentang WFO. Terimakasih mbak Septi
BalasHapusSuka baca ini. Banyak belajar dari tulisannya Mama Lui. Trims sharingnya
BalasHapusTerimakasih mama lui.. baru baca sekarang padahal linknya udah berseliweran di grup alumni EP 🥰😍
BalasHapusMba septi.. bagus tulisannya. Makasih ya mbaa uda mau sharing tentang ini. Kapan2 kita dialog bareng yaa insyaaAllah
BalasHapus