Setelah ulang tahun Luigi yang pertama,
beberapa minggu sesudahnya, ada hal yang berbeda dari dia. Beberapa diantaranya
:
Makannya jadi sedikit dan pasti ada
adegan muntah. Atau kalau tidak muntah, dia pasti mual (mau muntah tidak jadi).
Batuk yang kemudian sembuh kemudian
kambuh lagi
Kadang diare, kadang tidak. Dibuktikan dengan
BAB lebih dari 3X sehari. Padahal sebelumnya cuman pagi aja.
Namun beberapa hari batuknya tidak juga
sembuh dan muntahnya lebih sering. Setiap makan pasti muntah. Setiap makan
pasti dikembalikan lagi. Selesai menyusu, muntah. Luigi dibawa Ibuku kembali ke klinik sebelumnya.
Diagnosis dokter saat itu tenggorokan Luigi radang. Oleh dokter diberi obat
batuk untuk menangani radangnya dan obat anti muntah. Dokter berpesan pada
Ibuku, “kalau masih muntah dibawa lagi kesini ya, Bu.” Dan Ibu mengangguk tanda
setuju.
Semakin hari, tidak ada kemajuan dari
Luigi. Ia terus batuk dan muntah setiap kali makan. Tapi Luigi tidak seperti
orang sakit. Dia tidak lemas. Dia tetap ceria seperti biasanya. Bersemangat main.
Namun ketika makan muntah dan ada batuknya. Dan napasnya jika malam, jadi
berat.
Entah kenapa hatiku bilang aku harus
cuti. Luigi harus kubawa ke dokter spesialis anak pikirku. Tanggal 29 Maret
2017 kubawa ia ke RS Darmo Surabaya, menemui dr. Paulus A. Suhamzah, Sp.A.
Ketika di periksa dokter, Luigi di bilang infeksi usus, akhirnya diberi obat
salah satunya Liprolac. Ketika Liprolac habis, Luigi masih saja muntah.
Sesekali ia batuk. Akhirnya aku belikan lagi Liprolac, dan baru dapat di RS
Semen Gresik. Apakah semakin membaik? Tidak.
Tanggal 12 April 2017 aku pulang ke
Surabaya, berniat mengajak Luigi jalan-jalan karena kemaren aku tidak pulang. Beli
puzzle knop di Toys Kingdom Tunjungan Plaza. Berduaan motoran kesananya.
Paginya dia rewel. Setelah minum susu muntah. Selesai sarapan, langsung byor.
Muntah. Ibuku nyalahkan aku, karena Luigi pasti masuk angin diajak nge-mall
motoran. Karena pagi itu aku kerja, oleh Bapakku Luigi di bawa lagi ke Klinik, dan
dikasih obat anti muntah lagi.
Ternyata dari semua obat dari dokter, muntahnya
Luigi tidak segera berkurang. Batuknya sembuh sebentar namun kembali datang lagi.
Sampai pada Rabu, 19 April 2017 Gresik
habis hujan. Aku rencana tidak pulang ke Surabaya karena capek dan jalanan
pasti makin licin. Tapi hatiku enggak enak. Ku telfon Ibu dirumah menanyakan kabar
Luigi. Ibu bilang Luigi panas, BAB lebih dari 4X, dan muntahnya makin menjadi.
Suami bilang kita naik motor aja ke ke Surabaya supaya cepat, karena sudah
malam jam 11. Tapi hatiku bilang harus bawa mobil, mungkin ada apa-apa.
Sesampainya rumah Ibu, kupegang kepalanya wuih sangat panas. Karena tidak cukup
dengan tanganmeter, aku ambil thermometer. Dan angkanya menunjukkan 39,8. Ya
Allah. Dia makin rewel. Minta gendong terus. Akhirnya digendong Ibuku, dia bisa
sedikit tenang. Sudah malam jam 1 dini hari. Ku lihat dengan seksama napasnya.
Ku pegang perutnya. Napasnya seperti gelombang air laut di perut. Galau. Aku
bawa ke IGD apa menunggu pagi. Lalu, aku yakin. Luigi harus segera di bawa ke Rumah
Sakit. Aku bangunkan suami. Aku suruh ia segera mengambil mobil yang kita
parkir jauh dari rumah Ibu. Maklum, gang kecil. Ketika Adit ambil mobil aku dan
Ibu masih bingung di bawa kemana Luigi ini. Ibu menyiapkan kartu BPJS Luigi, dan
bilang “Apa di bawa ke RS William Booth? Disana bisa pakai BPJS?”. Ketika sudah
di mobil mas Adit bilang, enggak usah Bu. Kami bawa ke IGD RS. Darmo Surabaya. Ya,
kami memilih disini, karena sebelumnya Ibuku dan Luigi juga pernah di rawat inap
disini, pelayanannya baik dan cepat anti ribet karena RS Darmo adalah RS yang belum bekerja
sama dengan pemerintah menggunakan BPJS. Oleh dr. Rhesa Prasetya, dokter umum
yang jaga di IGD di tawarkan, mau di rawat jalan apa rawat inap. Jika rawat
jalan akan diberi obat penurun panas dan obat batuk. Aku dengan sigap bilang “rawat
inap dok”. Huift, akhirnya. Yah akhirnya Luigi di infus, di ambil sample darah dan
langsung dibawa ke ruangan Darmo Children Center (DCC), ruangan khusus pasien
anak-anak. Hasil sample darah menunjukkan ada peningkatan sel darah putih yang
disebabkan infeksi bakteri.
Selama 3 hari dirawat dokter
mendiagnosis Luigi alergi. Bisa karena susunya, sehingga membuat ia batuk dan
diare. Tapi aku mengelak, karena Luigi tidak ada riwayat alergi dari orang tua
dan sejak usia 7 bulan minum susu formula dari sapi juga tidak ada masalah. Nah
dokter bilang kemungkinan dari susu yang terlalu manis atau alergi protein
sapi. Akhirnya dokter menyarankan sufornya di ganti susu soya, protein sapi nya
di ganti protein nabati. Ok lah, kami belikan dan berikan pada Luigi. Bagaimana
respon Luigi. Cuma di kenyot-kenyot doang. Minum gak sampe 5 ml. Jadi setiap
bikin susu, selalu di buang. Makan pun ogah. Untunglah masih ada infus. Ketika
hari ke 4 saya lapor dokter kalo batuknya tidak berkurang meskipun di beri susu
soya. Napasnya juga masih berat. Dari catatan suster pun, suhu tubuh nya masih
naik turun, kadang 36, kadang 39, entar balik lagi 37, entar 38 lagi. “ok kalo
gitu foto thorax ya” seru dr. Paulus A. Suhamzah, Sp.A pagi itu ketika visit
ruangan pasien. Saya mengiyakan. Akhirnya dari scan paru itulah diketahui Luigi
terkena pheumonia. Dari rontgen paru ada bagian berwarna putih di kanan dan kiri
paru. Respon saya biasa aja dikasih tau penyakit itu. Muka saya datar. Saya enggak
ngerti apa itu Pheumonia. Ketika googling, barulah jantung berdebar-debar.
Semakin membaca, semakin sedih. Pheumonia merupakan pembunuh.
Menurut artikel di IDAI, pada tahun 2015, World
Health Organization (WHO)
melaporkan hampir 6 juta anak balita meninggal dunia, 16% dari jumlah tersebut
disebabkan oleh pneumonia sebagai pembunuh balita nomor 1 di dunia. Berdasarkan
data Badan PBB untuk Anak-Anak (UNICEF), pada 2015 terdapat kurang lebih 14
persen dari 147.000 anak di bawah usia 5 tahun di Indonesia meninggal karena
pneumonia. Dari statistik tersebut, dapat diartikan sebanyak 2-3 anak di bawah
usia 5 tahun meninggal karena pneumonia setiap jamnya. Hal tersebut menyebabkan
pneumonia sebagai penyebab kematian utama bagi anak di bawah usia 5 tahun di
Indonesia.
Apa sih Pheumonia?
Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang.
Kantong-kantong udara dalam paru yang disebut alveolidipenuhi nanah dan cairan
sehingga kemampuan menyerap oksigen menjadi berkurang. Kekurangan oksigen
membuat sel-sel tubuh tidak bisa bekerja.
Karena inilah, selain penyebaran infeksi ke seluru tubuh, penderita pneumonia bisa meninggal. Sebenarnya pneumonia bukanlah penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada 30 sumber inefksi dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel.
Karena inilah, selain penyebaran infeksi ke seluru tubuh, penderita pneumonia bisa meninggal. Sebenarnya pneumonia bukanlah penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada 30 sumber inefksi dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel.
Apa sebabnya ?
Manurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, HM Subuh mengatakan "Ada beberapa faktor risiko
terjadinya pneumonia pada balita antara lain bayi yang tidak mendapatkan ASI,
bayi dengan berat badan lahir rendah, bayi yang tidak mendapat imunisasi
terhadap penyakit yang terkait dengan pneumonia,". Selain
itu adanya polusi udara dalam rumah, tinggaldi lokasi yang padat penduduk, dan
keluarga yang tidak berperilaku hidup bersih dan sehat.
Bagaimana pencegahannya ?
Menurut Dr.Nastiti Kaswandani,Sp.A(K)
Untuk menanggulangi pneumonia ada 3 langkah utama yang
dicanangkan oleh WHO; yaitu proteksi balita, pencegahan pneumonia dan tata
laksana pneumonia yang tepat.
Proteksi ditujukan untuk menyediakan lingkungan
hidup yang sehat bagi balita, yaitu nutrisi yang cukup, ASI ekslusif sampai
bayi usia 6 bulan dan udara pernapasan yang terbebas dari polusi (asap rokok,
asap kendaraan, asap pabrik). Pemberian ASI ekslusif dapat menurunkan kejadian
pneumonia pada balita sebesar 20%.
Pencegahan bayi dari sakit
karena pneumonia terutama dilakukan dengan memberikan imunisasi lengkap kepada
bayi. Imunisasi yang lengkap mencakup beberapa jenis imunisasi yang terkait
dengan pneumonia dapat menurunkan kejadian pneumonia sebesar 50%. Mengacu
pada laporan John Hopkins Bloomberg School of Public Health 2015: Pneumonia
& Diarrhea Progress Report 2015, Indonesia adalah salah satu dari negara
dengan kasus pneumonia tertinggi yang belum memasukkan vaksin pneumokokus
sebagai vaksin program imunisasi rutin nasional. Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) telah merekomendasikan pemberian imunisasi PCV untuk anak berumur
2 bulan hingga 5 tahun.
Loh emang Luigi belum imunisasi PCV ya, kogh
jadinya sakit pheumonia?. Iya. Sejujurnya Luigi belum pernah sekalipun di vaksin
PCV. Yah itulah orang tua, belajarnya tiada henti. Saya hanya seorang Ibu yang
fakir ilmu. Dulu sebelum dan sesudah Luigi lahir saya hanya belajar tentang ASI
dan manajemen ASIP, juga mengenai persiapan MPASI untuk ibu bekerja. Toh pikir
saya, imunisasi khan sudah ada jadwalnya di puskesmas. Ternyata, memang
imunisasi di puskesmas adalah imunisasi yang di subsidi pemerintah. Apakah imunisasi
yang tidak di subsidi menjadi tidak penting? Yang tidak disubsidi bukan nya
tidak perlu, karena manfaatnya imunisasi sangatlah banyak untuk pencegahan berbagai penyakit berbahaya. IDAI sudah merekomendasikan jadwal imunisasi anak usia 0-18
tahun yang terbaru. Namun apakah dengan imunisasi PCV pasti tidak bisa pheumonia? Seperti tulisan diatas, imunisasi menurunkan kejadian pheumonia 50%. Sehingga, meski imunisasi tetep bisa kena juga. Namun tidak akan separah yang belum pernah imunisasi.
Luigi enggak dikasih ASI ya, kogh terserang pheumonia?.
Luigi diberi ASI eksklusif 6 bulan. Usia 7 bulan mix sufor, dan saya ‘pumping’
sampai Luigi 10 bulan. Oia sebab pheunomia bukan satu-satunya karena ASI ya 😊
Setelah diketahui sebab penyakitnya, terapi untuk
penyembuhan Luigi diantaranya di nebu, diberi antibiotik melalui infus, diberi
penurun panas (melalui alat khusus) melalui infus, zink dan suplemen bernama
L.Bio untuk pencernaannya, nutrisi makanan melalui infus, obat batuk berupa
puyer, dan obat diare berupa puyer juga.
Ah berarti selama hampir 2 bulan Luigi hanya
diselesaikan gejala penyakitnya saja, muntah dikasih anti muntah, batuk dikasih
obat batuk, dari diagnosis masuk angin, perut kembung, radang tenggorokan,
alergi susu, sampe akhirnya pheunomia lah inti penyakitnya. Maafkan Ibumu ini
ya.
Alhamdulillah 8 hari berlalu di RS. Darmo Surabaya, 8 hari Luigi berjuang dengan Pheunomia. Hikmahnya : saya dan mas Adit
jadi banyak belajar. Belajar tentang kesabaran, belajar tentang ujian, belajar
tentang vaksinasi, dan tidak akan lagi menyepelehkan sedikitpun gejala sakitnya anak.
Bukankah tidak ada yang terlambat, jika memulai belajar?
Bukankah tidak ada yang terlambat, jika memulai belajar?
Masya'Allooh.. sgt bermanfaat. Saya jg sdg mengalami nya. Sy sedang depresi dan sedih, merasa gagal. Takut ada apa2 dg anak
BalasHapus