Hutang Kehadiran Pada Anak

Disuatu pagi yang sudah menampakkan pak matahari, saya melihat status mba Farda yang merupakan leader fasilitator nasional,  komunitas Institut Ibu Profesional.
Berikut teks statusnya

Pertanyaan yang paling menarik yang saya terima selama sesi kelas, kulwap, seminar, japri, mini workshop JPPSFTM adalah .. “Bun, jika anak sudah besar, sudah sekolah, akan banyak waktu luang jika dirumah dan kerepotan saat kecil sudah lewat karena banyak dibantu ortu atau daycare, saya bekerja, apakah saya terlambat untuk kembali kerumah sebagai Ibu? Bagaimana dengan membayar hutang kehadiran saya kepada mereka ?
Hmm…ada tanggapan ?



Dari status mba farda ini memunculkan beberapa komentar. Termasuk saya yang komentar “Ah baper niiih kalo istilahnya hutang”. Yah saya suka baper, masak dikatakan hutang sih istilahnya, hehe. Yang saya pahami jika membaca teks dari status mba Farda, maka ada banyak Ibu-Ibu yang awalnya pekerja publik (ketika anaknya masih kecil), namun ketika anaknya sudah semakin besar, sudah sekolah, ia ingin menjadi ibu pekerja domestik yakni menjadi ibu rumah tangga. Namun si Ibu galau, toh kalau sudah besar masa repot udah gak ada, dan sudah banyak waktu luang.
Pertanyaan pertama : Apakah sudah terlambat untuk ‘kembali bekerja dirumah?’
Pertanyaan kedua : Bagaimana dengan membayar hutang (waktu) kehadiran Ibu ke anak?

Dalam setiap hidup selalu ada pilihan-pilihan. Ibu bekerja diranah publik atau bekerja diranah domestik pasti ada perhitungannya. Seperti yang pernah mba Hepi katakan saat bedah buku JPPSFTM, bahwa setiap keluarga memiliki visi dan misinya masing-masing. Sebagai asumsi yang ada dipikiran saya bahwa kewajiban mencari nafkah adalah tugas suami. Namun kita tidak bisa memungkiri beberapa alasan mengapa Ibu harus bekerja diluar. Alasan-alasan tersebut diantaranya ada ibu yang bekerja karena ingin membantu suami, ada yang ingin membanggakan orangtuanya karena sudah menyekolahkan tinggi, ada yang karena si Ibu butuh berperan di sektor masyarakat sesuai dengan ilmu yang dimiliki, dan lainnya mungkin bisa ditambahkan sendiri.

Nah untuk menjawab pertanyaan pertama, apakah sudah terlambat untuk ‘kembali kerumah’? Jawaban saya, ditanyakan saja pada diri sendiri.
Dulu saat anak masih kecil, mengapa kita harus tetap bekerja? Bukankah dulu menjadi pilihan Ibu.
Apakah memang ada ‘tangan panjang' pengasuhan anak yang bisa dipercaya selama anak ditinggal kerja?.
Apakah target pengasuhan kita bisa dilimpahkan (sebagian) keorang lain?
Misalnya, kita mentarget anak kita harus mendapat MPASI homemade, padahal kita bekerja. Bu Ibuk, sekarang kita tidak tinggal dihutan atau tempat yang sulit mendapatkan informasi. Tinggal pakai satu jari, sudah banyak informasi bertebaran tentang tata cara memasak MPASI untuk ibu pekerja.

Pun halnya dengan stimulasi tumbuh kembang.
Adakah yang bisa dialihkan ke ‘tangan’ yang lain?
Jika tidak bisa, maka kita bisa gunakan waktu yang tersedia untuk bermain bersama anak sesuai tahapan tumbuh kembangnya.

Ada beberapa Ibu yang menurunkan standart ketika meninggalkan anaknya dirumah. Minimal dijaga dengan baik dan makan yang benar, sudah cukup. Selanjutnya untuk stimulasi tumbuh kembang dilakukan setelah pulang dari kantor.

Jika pertimbangan meninggalkan anak saat anak masih kecil dirasa rasional dan sesuai kondisi keluarga, ya tidak usah disesalkan. Jika memang saat itu sudah ada ‘tangan panjang’ lain dalam pengasuhan, bagi saya kita sudah menunaikan hak anak.

Seperti saya contohkan penyiar radio faforit saya sejak SMP, dr. Meta Hanindita, Sp. A yang dimana ketika masa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), banyak waktu meninggalkan Naya anaknya untuk piket jaga di rumah sakit. Namun, apakah dokter Meta melewatkan perkembangan, pertumbuhan dan stimulasi anaknya? Ternyata tidak. Bahkan meski beliau sibuk, masih menyempatkan membuat DIY (do it yourself) untuk permainan anaknya yang gifted. Yang akhirnya ia tuliskan dalam sebuah buku Play and Learn. Dokter Meta ini setiap tahun pasti menelurkan satu buku baru. Dalam blog pribadinya, ia sering menuliskan bagaimana dekatnya hubungan secara emosi dengan anak semata wayangnya.

Sehingga meskipun dr. Meta berkiprah di sektor kesehatan, lebih banyak waktu di Rumah Sakit, namun ia tetap menyediakan waktu berkualitas bersama anaknya.

Ada juga namanya mbak Wynanda Wibowo yang seorang Magister Manajemen, pekerja kantoran 10 tahunan, namun akhirnya harus menjadi ibu rumah tangga karena anaknya yang kedua terlahir spesial dengan penyakit langka. Yang membutuhkan banyak wara-wiri di Rumah Sakit. Pemeriksaan A sampe Z. Dan pendambingan khusus untuk anaknya. Waktunya banyak dihabiskan untuk usaha menegakkan rentetan diagnosa dokter, sehingga tidak memungkinkan baginya bekerja kantoran lagi. Namun ia tetap membuat kebermanfaatan dengan membuat support group untuk orangtua yang juga memiliki anak spesial dengan penyakit langka yakni Indonesia CARE for RARE Diseases.

Sehingga alasan sebuah pilihan entah menjadi ibu bekerja dengan ibu rumah tangga adalah keluarga itu sendiri yang bisa menjawab. Tidak usah disesalkan jika memang alasannya logis dan rasional. Juga sesuai dengan kondisi keluarga.

Jadi, tidak ada yang terlambat jika ingin menjadi ibu rumah tangga karena ibu satu memiliki kondisi yang berbeda dengan ibu yang lain.


Menjawab pertanyaan kedua. Jika anak yang masih kecil ditinggal kerja, lalu saat anaknya sudah besar ia ingin kembali kerumah, bagaimana dengan membayar hutang (waktu) kehadiran Ibu ke anak?

Saya tidak sepakat dengan istilah hutang. Kenapa? Karena apa anak kita akan merasa Ibunya punya banyak hutang ke dirinya jika ibunya bekerja? InsyaAllah besok jika kita jelaskan kepada anak, alasan sang Ibu kenapa bekerja, pasti dia bisa mengerti. Anak juga bisa bangga pada pilihan Ibunya.

Jikalau akhirnya memutuskan bekerja dirumah menjadi ibu rumah tangga, ya tataplah yang ada didepan. Gak usah noleh kebelakang lagi, bukankah yang kemaren ditinggal ada pertimbangannya?

Disaat bekerja apa iya setiap fase pertumbuhan anak-anak diwaktu kecil tidak ada yang kita saksikan. Beneran lewat gitu saja? Misalnya ketika Luigi bisa jalan pertama kali, dapat saya saksikan sendiri, meski saya bekerja. Termasuk dulu ketika pertama kali bisa mengangkat kepala dengan tegak, tengkurap dan duduk.

Berbeda lagi seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang dengan petimbangan rasional akhirnya memilih berpisah jauh dari anaknya. Di beberapa hal pasti melewatkan perkembangan anaknya. Termasuk teman saya sendiri yang ketika wisuda sarjana tidak didampingi Ibunya karena masih berada diluar negeri.

Perempuan bernama Ibu, apapun pekerjaannya, dimanapun dia berkontribusi, entah didalam rumah maupun di wilayah publik, dia tetap Ibu. Tidak akan mengurangi apapun sehingga akhirnya si Ibu memiliki hutang kehadiran.

Fokus saja pada pilihan sekarang dan yang didepan mata. Kalaupun seorang Ibu kembali menjadi ibu rumah tangga karena pilihan rasional, ya siapkan diri. Siapkan ilmu dan mental.

Khan masa repotnya sudah hilang, banyak waktu luang

Menjadi orang tua itu belajarnya tiada henti. Apalagi menjadi orangtua dijaman serba tekhnologi sekarang. Akan banyak sekali tantangannya.

Bagaimana seorang ibu menjadi tempat curhat anak meski dia sendiri sudah punya geng, bagaimana ibu masih bisa mengontrol kegiatan anak disaat dia sudah tidak mau dipeluk, bagaimana anak selalu jujur terhadap apapun yang ia lakukan saat ia sendiri sudah tidak mau dicium ibunya, bagaimana anak tetap bisa menjaga shalat dan menjaga sopan santun meski waktunya lebih banyak di tempat les atau nge-band.

Kalau dirumah masih ngerasa banyak waktu luang, tuh lihat dapur. Kapan terakhir masakin anak dan suami? *sambil ngomong sama diri sendiri* haha. Tuh di lemari es banyak bahan makanan. Bisa segera eksekusi nyontek buku resep. Taraaaa jadi deh, masakan ala ibu.

Apapun pilihan ibu, cintailah pilihan tersebut. Apapun resiko dan tantangannya. Resiko dan tantangan ini bukankah sudah terpikirkan?


Seorang ibu bekerja
Gresik, 22 Mei 2017
#30dwcjilid6
#day5

Tidak ada komentar