Menjadi Moderator Bedah Buku

Tanggal Minggu, 19 Maret 2017 saya di daulat menjadi moderator acara Bedah Buku “The Jibaku Post Power Syndrom Full Time Mom”, sebuah buku ontologi dari 9 Ibu-Ibu dari komunitas Institut Ibu Profesional (IIP). Berawal dari dari sebuah WA dari mba Farda yang menawarkan kepada saya untuk menjadi moderator. Tanpa babibu, saya langsung mengiyakan. Kenapa?
Karena saya figur dengan Bu Septi Peni Wulandari, founder Komunitas Institut Ibu Profesional yang banyak prestasi. Kedua, saya penasaran sama Komunitas ini. Menciptakan banyak Ibu idealis dalam proses ikhtiar menjadi Ibu Profesional. Dan ketiga saya seneng belajar. Mencoba berada dalam lingkungan baru. Saya beberapa kali di daulat moderator, namun moderator dalam Majelis Taklim dan moderator debat. Jadi ini adalah pengalaman pertama saya menjadi MC sekaligus moderator acara bedah buku.



Emang apa siih buku “The Jibaku Post Power Syndrom Full Time Mom (JPPSFTM)”? Buku ini merupakan project Sehat Waras Sesarengan yang di prakarsai oleh Itsnita Husnufardani. Acara ini diselenggarakan di Café Wakacao Gresik Kota Baru (GKB) menghadirkan mba Itsnita Husnufardani, yang merupakan Leader Fasilitator Nasional Institut Ibu Profesional, Ketua Institut Ibu Profesional Surabaya Raya (yang meliputi Surabaya, Sidoarjo, Madura, Mojokerto dan Gresik), Penulis buku ‘The Diary of Learner Mommy.
Dan mba Hepi Risenasari, lulusan IPB dan mahasiswa beasiswa Magister Georg August Gottingen Jerman yang juga kontributor penulis buku JPPSFTM.

mba Hepi (kiri), saya (tengah), dan mba Farda (kanan)
Acara ini di awali dengan pembukaan oleh saya sendiri, mengenai profile kedua nya. Lalu sebelum narasumber sharing mengenai perjalanan terapi Post Power Sindrom, saya melemparkan sebuah penawaran dari peserta yang hadir. Adakah yang berkenan membagikan pengalamannya mengenai perjalanan menjadi Full Time Mommy?

Diawali Bu Anik yang sangat bersemangat bercerita, kira-kira seperti ini ya kisahnya “Bulan ini merupakan tepat satu tahun saya melepaskan seragam dinas. Awal menjadi Ibu Rumah Tangga saya sangat bahagia, tanpa beban. Seakan bebas dari segala kepadatan aktifitas di pagi hari. Dan bisa bebas seharian sama anak-anak. Ternyata semangat tersebut hanya bertahan sampai 2 minggu. Yang kemudian berfikir ‘Setelah ini ngapain ya’, ada terbersit rasa bosan dan ingin kembali bekerja” begitulah kita-kira cerita beliau. Lalu dilanjutkan dengan mata yang berkaca-kaca “Keputusan saya menjadi Ibu Rumah Tangga ini sebenarnya di tentang oleh Ibu saya, namun saya harus memilih keputusan ini”. Disambut oleh uluran tangan peserta lain yang secara cepat memberi sehelai tisu untuk air mata beliau sebelum benar-benar tumpah.


Lalu dilanjutkan dengan cerita mba Lia “Saya sebelumnya bekerja di salah satu Bank Syariah dengan posisi dan gaji yang lumayan, dan dari bekerja saya bisa melanjutkan kuliah S2 yang bagaimanapun ini merupakan pencapaian saya. Dan ini adalah tahun ketiga saya resign. Alhamdulillah saya tidak menyesal dengan keputusan ini, karena akhirnya saya bisa menyusui anak saya selama 2 tahun seperti yang Allah perintahkan dalam Al Qur’an, meski awalnya orang tua berat terutama Ibu berat menerima keputusan ini”.

Hmm 2 (dua) kisah pembuka ini lumayan menguras emosi peserta yang hadir, mereka pasti berfikir “apa bisa kita melakukan keputusan tersebut sementara karir sudah mapan atau sudah yakin resign namun orang tua tidak sepakat?”

Akhirnya barulah saya beralih ke narasumber dari mba Hepi Risenasari, diawali dengan pertanyaan sejak kapan jadi Ibu rumah tangga dan bagaimana seorang magister dari Jerman akhirnya menjadi full time mommy.


“Suami saya itu setiap shalat pasti mengusahakan ke masjid. Buat saya, meski terkesan sepele, namun hal yang jarang dan istimewa buat saya. Kenapa sih kogh mas bisa gitu? tanyanya pada suami. Karena saya di didik Ibu dirumah. Begitu jawaban suami. Dan saya melihat keluarga suami sangat berbeda jauh dengan keluarga saya. Menurut saya gambaran keluarga suami adalah sakinah mawadah warahmah. Dalam kamus keluarga saya tidak ada yang menjadi Ibu Rumah Tangga, dan dalam gambaran impian saya pun tidak pernah terbersit akan full berada dirumah mengurus anak dan suami. Saya sudah menggambarkan mau jadi apa. Sampai akhirnya saya menjadi dosen di almamater saya dan mendapat beasiswa S2 ke Jerman. Awalnya saya bilang ke suami “buat apa ini ijazahnya?” “ya buat mendidik anak” jawab singkat suami. Ketika memutuskan menjadi Ibu Rumah Tangga, mama lah yang paling menentang keputusan ini. Sampai akhirnya dijelaskan panjang. Saya masih berproses menerima kondisi saya, mama pun demikian. Dalam proses penerimaan untuk bisa disebut status “Ibu Bekerja” saya jualan online shop, yang secara omset lumayan. Namun balik lagi, saya tanya dari dalam hati, buat apa saya melakukan ini? Akhirnya saya mencoba menerima pilihan ini, dengan meng upload kegiatan dengan anak saya, Pandya di rumah. Saya percaya setiap keluarga punya misinya masing-masing. Dan akhirnya saya kumpulin teman-teman SMA saya di Malang untuk saling sharing kegiatan dengan putra putrinya“



Akhirnya mba Farda menceritakan pengalamannya yang ia tuangkan pula di buku. Bedanya dengan cerita diatas, mba Farda memutuskan menjadi Full Time Mommy adalah sejak awal, ketika setelah menikah, bukan setelah memiliki anak. Namun meski begitu, ia merasa bosan dan tidak percaya diri apalagi jika bertemu dengan teman-teman. Sebelumnya mba Farda bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan tekstile. Yang mengagetkan lagi, efek stress ini mengakibat nya berat badannya yang turun drastis, 20 kg. Sampai akhirnya beliau mencari solusi dan inspirasi. Adalah bapaknya lah yang secara tidak sengaja menginspirasinya, karena memiliki kemiripan dengan yang Farda rasakan meski dengan konteks berbeda. Bapaknya pegawai BUMN yang setelah pensiun kembali ke desa yang akhirnya mencangkul menjadi petani. Kontras dengan kehidupan beliau sebelumnya ketika masih dinas. Ada kata yang sangat mengena buat mba Farda dari Bapaknya saat itu. Apa yang dilakukan mba Farda selanjutnya? Gabung dalam komunitas Institut Ibu Profesional salah satunya, selain juga menulis.


Acara ini lebih kepada sharing pengalaman dinamika ketika awal memutuskan menjadi Full Time Mommy. Apa yang mereka rasakan dan bagaimana sampai akhirnya penolakan menjadi penerimaan. Mba Farda juga menjelaskan proses terapi Post Power Syndrom (PPS) melalui pendekatan psikologi (sebagai asumsi beliau lulusan Psikologi), dimulai dari apa siiih PPS itu? Dan ternyata PPS ini bisa dialami sapa saja karena sebuah perubahan peran yang mendadak. Lalu bagaimana cara mengatasinya? Caranya adalah mengubah paradigma. Ya inilah sebuah tahap awal yang sulit, yakni mengubah paradigma menjadi penerimaan. Proses panjang ini juga ditulis di buku Jibaku Post Power Sindrom Full Time Mommy, sampai bagaimana teknis terapinya. Buku ini juga sebenarnya salah satu terapi ke 9 penulis, oleh karenanya dinamakan project Sehat Waras Sesarengan. Dan diantara tangis dan rasa haru yang menyeruk dalam ruang café Wakacao, ada sebuah hikmah untuk bisa di jadikan pelajaran (meski saya tidak tergabung dalam komunitas IIP).

Menurut saya, Ibu Profesional bukan dilihat dari status Ibu Rumah Tangga atau Ibu Pekerja, karena mereka sama-sama bekerja. Hanya tempatnya yang berbeda. Yang satu bekerja di wilayah publik dan ibu rumah tangga bekerja di ranah domestik. Belum tentu Ibu rumah tangga lebih professional ketimbang Ibu pekerja publik. Pun juga sebaliknya. Ibu rumah tangga yang seharian sibuk dengan gadget nya, mengabaikan rumah, anak dan suaminya ini yang malah kurang pas menurut saya.

Nah dari cerita diatas keputusan dari yang pekerja publik menjadi Full Time Mommy itu ternyata tidak mudah. Hmm belum tentu saya juga sanggup. Biasa bertemu banyak orang, menyalurkan ide ketika mengajar akhirnya berkutat dengan anak dan kerjaan rumah. Namun ternyata menjadi full time mommy itu banyak kerjaannya, ada anak yang harus di didik, diajarkan nilai-nilai kebaikan, memastikan asupannya sehat, dan bermain dengannya, menjadi full time mommy bukan cuma “masak, manak, macak” seperti istilah orang-orang Jawa dulu. Menjadi full time mommy adalah pilihan. Saya pun ibu pekerja publik. Namun menjaga keseimbangan semuanya bukan hal yang mudah. Susah menciptakan kualitas tanpa kuantitas waktu.

Maka dibutuhkan ilmu, sharing dengan yang berpengalaman, dan mengingat kembali apa tujuan keluarga. Tujuan keluarga menutut saya pasti sama, yakni menjadi keluarga pejuang yang bahagia untuk kembali berkumpul di SurgaNya Allah. Namun ada jalan-jalan yang berbeda di setiap keluarga yang harus dilalui. Entah menjadi Ibu rumah tangga atau Ibu pekerja publik, kita semua (termasuk saya) harusnya sama- sama ber-Ikhtiar menjadi professional. Saya ingat potongan puisi dari ustadz IAW yang selalu terpatri dalam hati :

“keluarga pejuang, mereka menjaga hak-hak keluarga, dengan kasih sayang dan tanggung jawab, membesarkan dan mendidik anak SECARA PROFESIONAL”

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
profesional/pro·fe·si·o·nal/ /profésional/ a 1 bersangkutan dengan profesi; 2 memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya: ia seorang juru masak --; 3 mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir): pertandingan tinju –

Berarti menjadi menjadi Ibu Profesional adalah profesi sepanjang hayat kita sebagai perempuan, yang memerlukan kepandaian khusus alias ILMU karena ruang lingkup keluarga itu banyak, ada anak, ada suami, ada keluarga besar dan ada fasilitas berupa rumah dll yang harus dikelola dengan baik, dan mengharuskan ada pembayaran. Ya sebuah upah yang tidak melulu soal materi, tapi pelukan anak, tumbuh kembangnya yang berproses lebih baik dari hari ke hari, anak yang mengerti nilai-nilai Tuhannya, anak yang bisa empati, suka menolong orang susah, keluarga sehat bahagia dan lainnya adalah contoh kecil bayaran dari seorang Ibu professional.

Sehingga tidak perlu memperdebatkan full time mommy VS ibu pekerja publik, karena bagaimanapun mereka tetaplah Ibu yang ingin yang terbaik bagi keluarganya masing-masing. Yang harusnya sama-sama profesional menjadi IBU. Memahami tugas dan misinya.

Semoga kita semua tidak lalai dalam misi penciptaan kita di dunia, berkontribusi peran untuk agama, terus belajar menjadi istri yang baik, menjadi Ibu yang baik dan menjadi diri sendiri yang berkualitas. Kelak, semoga anak-anak yang dilahirkan dan di didik oleh Ibu yang memahami tugas dan misinya, Ia akan tumbuh berkembang menjadi pribadi yang baik, esok Ia akan bangga dan selalu mengingat Ibu nya di tiap kesuksesaannya di masa dewasanya. Amin Ya Allah.


Mengakhiri bulan Maret dengan suka cita
Gresik, 30 Maret 2017

Tidak ada komentar