Di sudut dusun Bendet, Siti Harnanik
datang pada Achmad Irfandi dan menceritakan perubahan Chiko –anaknya - setelah
mengikuti kegiatan Kampung Lali Gadget.
Chiko untuk pertama kalinya minta di
foto, posisi dekat dengan Ibunya sambil tersenyum.
“Baru kali ini aku ngelihat
senyumnya kayak gini, mas” tutur Siti Harnanik kala itu.
Sebelumnya jangankan difoto.
Hubungan Ibu dan anak ini renggang. Sehari-hari Chiko hanya bermain gim daring
tanpa beranjak dari tempat duduk. Bahkan kalimat yang diucapkannya pun sama
dengan tontonan pada gawainya. Pernah ia menjawab gurunya dengan narasi “bacot”
saat ditanya mengenai tugas belajar.
Chiko menjadi pemarah. Siti Harnanik
hanya bisa menangis karena semua omongannya tak ada yang digubris. Lalu ia
datangi Irfandi sambil memohon agar anaknya bisa “sembuh”.
Momen liburan sekolah, Chiko
didorong Ibunya mengikuti kegiatan di Kampung Lali Gadget. Bertemu banyak
teman, awalnya ia hanya mojok sendiri. Sesekali melirik namun akhirnya mau
bergabung untuk mencoba permainan dan membuat jemblem. Pelan-pelan ia membaur
dengan sebayanya.
Hingga akhirnya Chiko membuat Ibunya
sangat bahagia, pertama kali mau difoto dan tersenyum. Sebuah ekspresi langka
dari anak yang sebelumnya mudah meledak-ledak karena kecanduan gim daring.
DUSUN BENDET MELUPAKAN INTERNET
Cuaca Sidoarjo siang itu panas. Setelah
menempuh perjalanan hampir 30 km dari Surabaya, tiba juga saya di sebuah
pedesaan yang rindang. Angin berembus pelan, membuat wajah sesekali tertutup
jilbab. Suara gelak tawa anak-anak terdengar nyaring.
Mereka sedang bermain tarik tambang dan
hadang lumpur di tengah pematang sawah yang belum ditumbuhi padi. Kaki mereka
terendam lumpur namun mulut tak henti terbahak. Saya mengamati dari kejauhan,
lalu duduk bersama Achmad Irfandi di Balai Among.
![]() |
tarik tambang Kampung Lali Gadget. dokumentasi penulis |
Kisah Chiko memang salah satu cerita
yang membuat terharu Achmad Irfandi hingga kini. Achmad Irfandi atau yang akrab
dipanggil Irfandi adalah pendiri Kampung Lali Gadget yang berada di Dusun
Bendet, Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Lali dalam
bahasa Jawa artinya lupa. Gadget merupakan telepon pintar atau gawai. Jadi
Kampung Lali Gadget punya makna Kampung Lupa Gawai. Sebuah kawasan yang
bertujuan untuk mengurangi kecanduan gawai pada anak.
“Dulu saya melihat banyak anak-anak
yang tidak tahu waktu” ia mengawali pembicaraan.
“Anak-anak nongkrong di warung kopi
tanpa henti, nggak pulang-pulang. Modal uang cuma Rp.2.000 untuk membeli teh,
lalu memakai wifi. Waktunya ngaji malah nggak ngaji, waktunya belajar nggak
belajar” ungkap Irfandi pada (19/12)
Yang banyak digandrungi anak-anak
adalah gim daring. Di sisi lain, Irfandi semakin gundah gulana ketika menonton
berita televisi bahwa banyak anak-anak kecanduan gadget. Bahkan ada yang sampai
gila hingga masuk Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
Di desanya memang belum ada yang sampai
masuk rumah sakit jiwa karena gawai, namun ia khawatir jika ini diteruskan. Kecanduan
gadget terjadi ketika anak memakai internet berlebihan.
Cerita Siti Harnanik, meyakinkannya
bahwa kecanduan gadget dapat mengganggu perilaku. Belum lagi marabaya yang
mengintai anak-anak. Mulai cyberbullying hingga ancaman pornografi.
Semakin hari, ia makin gelisah.
Benar saja Irfandi cemas. Berdasarkan
temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 55 persen anak melihat
tayangan dan iklan tidak sopan melalui gawai, 34,6 persen dikirimi foto tidak
sopan, 25 persen ditipu, dan 23,1 persen dikirimi video tidak sopan.
Dari pengamatan di desanya, orangtua semakin
mudah memberikan ponsel pada anak untuk selancar digital.
“orangtua tidak menyadari ada
konsekuensinya, sementara anak-anak tidak diajarkan cara berkomunikasi melalui hp,
gimana cara aman berinternet, cara menghindari pornografi, sudah itu dibiarkan
saja” ucap Irfandi menerawang.
“nggak cuma itu, masak mereka
mengirim pesan saja tidak membuka dengan kalimat Assalamualaikum, tapi tebak
apa mbak?” Irfandi balik memberi pertanyaan pada saya.
“Hah!!! apa ya mas” saya bingung.
“P atau Ping, bayangkan” kami tertawa
bersama sekaligus prihatin. Adab sopan santun anak-anak pun mulai menghilang.
Namun Irfandi menyadari bahwa jeratan
gawai itu mengasyikkan bagi anak-anak. Hal ini harus diimbangi juga dengan hal
yang tak kalah menarik. Maka ia mengajak anak-anak di desanya untuk memainkan
kembali dolanan tradisional (permainan tradisional).
PERMAINAN TRADISIONAL
Perjalanan awalnya dilalui Irfandi
dengan membuat kegiatan literasi mendongeng. Ada 60 peserta yang ikut diambil
dari 3 sekolah dasar di desanya. Irfandi tidak sendiri, karena menggandeng
Nicho –rekannya- dan teman lainnya. Aktivitas selain mendongeng diantaranya
mewarnai dan menggambar dari cerita yang didongengkan.
Pemuda asli dusun Bendet ini semakin
bersemangat dengan membuat acara serupa karena masalah sudah di depan mata.
Sebagai lulusan jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, Irfandi mengotak-atik
istilah. Lalu ia membuat gagasan Dolanan Tanpo Gadget (bermain tanpa
gadget), upaya menyembuhkan penyakit kecanduan gadget.
“saya menggunakan narasi ‘penyakit’
biar seakan-akan jadi hal yang harus disembuhkan” tutur Irfandi. Kegiatan kedua
ini berhasil mengumpulkan 100 anak. Berbagai komunitas dan anak muda
berduyun-duyun mengikuti.
Pada kegiatan ketiga barulah ia punya
mimpi membuat kampung tematik seperti desa edukasi. Namun ia sadar desanya tak
punya potensi. Hingga munculah ide, bukankah potensi desanya adalah masalah
kecanduan gadget pada anak.
Akhirnya pada tahun 2018 ia resmi
mendirikan Kampung Lali Gadget (KLG). Ia menekankan bahwa ini bukan untuk
menjauhkan anak-anak dari gawai sama sekali, namun mengimbangi penggunaannya
dengan bermain khususnya permainan tradisional.
Kenapa bermain? Karena itu paling
menyenangkan dan mudah diajarkan kepada anak-anak. Irfandi tidak hanya
mengusung dolanan tradisional, namun segala aspek kehidupan di desa, baik
kearifan lokal, budaya, kuliner tradisi, dan seni tradisi.
“bermain itu dunia anak-anak, paling
dekat dengan mereka, apalagi kalau ngomongin generasi lanjutan ya
anak-anak. Bermain itu menyenangkan dan permainan tradisional adalah permatanya
Indonesia bahkan ada di Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan” tutur Irfandi
serius.
Permainan tradisional dan olahraga
tradisional termasuk pemajuan kebudayaan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017
tentang Pemajuan Kebudayaan. Dua dari sepuluh obyek pemajuan kebudayaan
tersebut dimainkan di Kampung Lali Gadget.
![]() |
Balai Among dan Gubuk Kampung Lali Gadget. dokumentasi penulis |
Lokasi utama Kampung Lali Gadget berada
tepat di depan rumah Irfandi. Ia membuat Balai Among dan gubuk baca. Selain itu
ada di lahan belakang rumahnya, yakni gubuk kebun gayam. Irfandi sengaja
membuat tempat yang sederhana berupa gubuk dari kayu-kayu agar anak-anak
menikmati suasana sederhana khas kehidupan desa.
Banyak permainan yang dikenalkan
anak-anak di Kampung Lali Gadget (KLG). Yang paling umum dimainkan mereka adalah
egrang, kelompen panjang (sandal panjang), gasing, klompen batok, kitiran
(baling-baling) dan itu mainan tradisional yang sering dimainkan di KLG.
Bagi Irfandi, kekuatan permainan
tradisional itu selain menjadi pembelajaran, juga mengandung nilai luhur.
Permainan kelompen panjang –misalnya- melahirkan kerja sama, karena jika tidak
kompak pemain-pemainnya akan jatuh.
“permainan itu tidak melulu tentang
mainan. Kitiran (baling-baling) itu bentuk mainan. Tapi ada juga permainan
tanpa alat” tukas pemuda kelahiran 1993 ini.
Permainan tanpa alat yang dimaksud
contohnya permainan menggunakan tembang dolanan. Biasanya anak-anak bermain
bersama sambil menyanyikan lagu Padang Bulan atau Cublak-Cublak Suweng.
Sementara permainan lain yang
dikenalkan contohnya patil lele, engkle, sumpitan, petak umpet, gobak sodor,
kelereng, layangan, dakon atau dakonan, telepon kabel, perahu kipas dan masih
banyak lagi termasuk permainan olahraga.
Permainan enkle misalnya dilakukan
dengan cara melempar batu kecil ke sebuah kotak. Teknis engkle dibuat dari
tujuh kotak yang digambar di aspal atau ubin menggunakan kapur atau spidol.
Cara bermainnya membutuhkan gerakan keseimbangan tubuh karena anak-anak
melompati kotak dengan satu kaki saat menapaki kotak selanjutnya. Jika berada
di dua kota yang berdampingan, barulah meletakkan dua kaki.
“siapapun bisa memainkannya tanpa
diberitahu caranya. Hingga berkembang muncul permainan lainnya, Misalnya
permainan dari daun, lumpur, dari batu, dari kreweng, dari angin, dan
bermain dengan bahan bekas” ujar Irfandi yang sering mengajak bermain dari bahan
alam.
Anak-anak KLG yang setara usia TK, SD
dan SMP sederajat ini terus dikenalkan permainan yang bervariasai. Sehingga
permainan hari ini adalah permainan yang tidak dimainkan minggu kemarin. Permainan
minggu kemarin adalah permainan yang tidak dimainkan 2 minggu yang lalu. Irfandi
ingin mengenalkan bahwa khasanah bermain itu banyak.
![]() |
kelompen panjang. dokumentasi Kampung Lali Gadget |
Selain itu anak-anak diajak mengenal
kearifan lokal desa, misalnya pada tema makanan ia jelaskan asal usul nasi.
“kalian tahu nggak pohon nasi? ya saya
sesuaikan dengan bahasa polos anak-anak bahwa pohon nasi adalah padi. Saya ajak
mereka nyemplung (mencebur) ke sawah, pengamatan secara langsung”
Irfandi menjelaskan. Irfandi ingin anak-anak menghargai makanan karena tahu
sulitnya produksi bahan pangan.
Pernah juga cooking class
makanan tradisional dengan membuat jemblem. Jemblem adalah makanan tradisional
dari Jawa yang terbuat dari singkong dan kelapa parut. Di dalamnya diisi gula
merah dan digoreng. Mereka jadi tahu, apa itu jemblem dan bagaimana cara
membuatnya. Irfandi mengenalkan kuliner ini dengan cara praktik secara
langsung.
Tidak hanya bersama relawan, Irfandi
mulai menggandeng komunitas lain untuk membuat tema yang menarik. Lulusan
Magister Universitas Negeri Surabaya ini merambah ke komunitas satwa. Selain
dolanan tradisional, ia ingin menggabungkan dengan pembelajaran kontekstual
agar anak-anak tahu jenis hewan, pencernaan hewan, perkembangbiakan hewan dan
rantai makanan.
Dolanan tradisional dan semua kearifan
lokal desa rupanya membuat anak-anak betah bermain di Balai Among Kampung Lali
Gadget. Mereka bisa berjam-jam bermain dan membaca di gubuk baca. Apalagi
ketika kegiatan Beasiswa Bermain Mingguan setiap hari minggu. Mereka bisa lupa
pulang, saking asyiknya bermain bersama.
![]() |
tawa anak-anak bermain di Kampung Lali Gadget. dokumentasi penulis |
KRITIKAN BERBUAH MASALAH
Untuk
mengajak anak-anak ke Kampung Lali Gadget tentu tak semudah membalikkan telapak
tangan. Ada saja tanggapan sinikal dari masyarakat. Gadget yang asyik kok malah
disuruh melupakan. Masih banyak para orangtua yang menganggap bahwa gawai itu
segalanya. Buat mereka gadget adalah “mainan” solusi agar anak tidak rewel dan
bisa diam.
Tidak
hanya itu, kritikan Irfandi yang menganggap bahwa pemerintah desa Wonoayu
kurang mendukung kegiatan KLG juga malah membuat miskomunikasi. Omongan Irfandi
menjadi ada tambahan narasi, bahkan menjadi bergeser maknanya.
“mereka
malah nerimanya gini, Irfandi bilang kalau pemerintah desa itu tua-tua”
cerita Irfandi. Bahkan layaknya gosip, kalimat itu disebar ke grup perangkat
desa dan banyak grup lain bahwa ada pemuda Bendet yang menghina pemerintah
desa.
Akhirnya
Irfandi mendapat surat resmi untuk dipanggil ke kantor pemerintah desa. Ia
sendiri menghadapi 7 orang anggota pemerintah desa. Anak pertama dari 3
bersaudara ini pun klarifikasi bahwa bukan itu maksudnya. Sebagai lulusan
jurusan Bahasa Indonesia, ia jelaskan kalimat itu adalah anggapan mereka
sendiri. Kejadian itu saat KLG masih merintis dan akhirnya terselesaikan dengan
damai.
Irfandi
juga pernah mengalami masa pahit pada tahun 2019. Saat itu kegiatan KLG
“terusir” dan ia disuruh pindah venue dalam waktu 2 hari saja. Hal ini
karena kegiatan KLG bertepatan dengan pemilihan Badan Permusyawaratan Desa
(BPD).
Pihak
keamanan desa menyuruh Irfandi untuk memundurkan tanggal kegiatan. Pemilihan
aparatur desa dianggap menjadi hajat besar warga desa. Jika orangtua mengantar
anaknya kegiatan di KLG, maka tidak ikut nyoblos dan suara untuk calon akan
berkurang.
“nek nggak mbok undur, tak buntu dalanmu. Aku ngerahno karang taruna
mbuntu dalan”
(jika tidak dilakukan pengunduran hari, saya tutup jalannya. Saya mengerahkan
karang taruna untuk menutup jalan) ucap salah seorang panitia.
Irfandi
bersikukuh tidak akan pernah mengundurkan waktu penyelenggaraan apalagi
membatalkan kegiatannya. Karena ia telah menyebar pengumuman jauh-jauh hari.
Tim KLG pun sudah memesan banyak makanan untuk panitia dan peserta.
Bukan
Irfandi jika mudah menyerah. Ia mencari solusi dengan cara berdiskusi bersama
Pak RT.
“ojok diterusno Mas. Ngkok konflik. Yaopo nek pindah ae” (jangan diteruskan, mas.
Nanti malah konflik. Bagaimana jika pindah tempat saja?” ujar Irfandi menirukan
kalimat Pak RT
“pindahe nang deso Wonokalang, mburine deso’ne kene. Aksesnya ngkuk
lewat kene. Awakdewe ijin karo RT ne kono” (pindahnya di desa Wonokalang,
belakangnya desa kita. Aksesnya nanti lewat sini. Kita ijin dulu sama Pak RT
nya disana)” lanjut Pak RT dusun Bendet ini.
Pemuda
kelahiran Sidoajo ini menjelaskan kepada Pak RT desa Wonokalang bersama Pak
RTnya. Namun tetap ditolak, karena dianggap merepotkan.
Irfandi
pun dibantu Pak RW untuk melobi. Hingga akhirnya diperbolehkan memakai lapangan
desa sebelah. Saat itu Pak RW menjelaskan bahwa pihak desa tidak akan terbebani
apapun, karena sudah ada panitia dari KLG. Bahkan bisa menggandeng karang taruna
setempat untuk mengelola parkir, jadi desanya malah dapat pemasukan. Dari sini
Irfandi belajar, bagaimana berkomunikasi dengan pendekatan humanis.
Akhirnya
acara terlaksana dengan lancar dan lebih meriah, dan didukung banyak warga.
Bahkan ada celetukan dari warga desa sebelah.
“kapan
mas, ada kegiatan KLG lagi disini?” begitu Irfandi menirukan ucapan seorang
Ibu.
MELEBARKAN SAYAP KAMPUNG LALI GADGET
Nyala semangat Irfandi semakin bersinar
terang. Alih-alih berpuas diri, Irfandi mulai berpikir agar kegiatan dolanan
tradisional dan mengenal kebudayaan di KLG juga bisa dirasakan banyak desa
lainnya.
Apalagi semakin banyak desa yang
“melihat” keseruan kegiatan yang diadakan Kampung Lali Gadget. KLG merambah jangkauan
dengan mengadakan roadshow di desa-desa sekitar. Irfandi ingin menyentuh
banyak desa.
“KLG juga keliling desa, karena ada
desa yang ingin dikunjungi KLG. Wes nggak perlu mikir biayane,
dana berapa aja yaudah tetap dilakukan” ungkap pemuda pelopor Jawa Timur bidang
pendidikan 2020 ini.
Pernah ada orangtua ingin mengikutkan
anaknya dalam kegiatan KLG namun jauh dari desanya. Irfandi memberikan
kemudahan dengan jemput bola.
“gini aja Buk, kita bikin
kegiatan di rumah atau desa sampeyan, asal siap mendatangkan anak-anak.
Dia tanya, bayar berapa mas? Ibuk ada budget berapa, yaudah itu aja.
Kita nggak mematok” ujar Irfandi menirukan percakapannya dengan Ibu
tersebut.
Sudah ada 4 desa disekitar dusun Bendet
yang didatangi tim KLG. Ketika pandemi Covid-19 ada 2 desa. Diantaranya KLG Roadshow
ke desa Mulyodadi kecamatan Wonoayu pada November 2018 dan Tim Pelaksana
Inovasi Desa (TPID) kecamatan Sukodono pada Desember 2018. Juga KLG Roadshow
Wonoayu pada Maret 2019 dan KLG Roadshow di desa Kemantren kecamatan
Tulangan, Kabupaten Sidoarjo di September 2019.
![]() |
bermain dengan pelepah pisang, dokumentasi penulis |
Meski awalnya terseok dengan perizinan
dan sarana prasarana yang digunakan dalam setiap kegiatan, namun tidak ada kata
berhenti bagi Irfandi. Irfandi makin
bergerak, menjelaskan dengan detail program Kampung Lali Gadget hingga
akhirnya ia terus mendapatkan dukungan elemen masyarakat desa.
Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan
(Forkopimka) selalu memberi izin dan jaminan keamanan setiap kegiatan Kampung
Lali Gadget. Kepala desa yang selama ini menjadi penanggung jawab kegiatan di
desa selain memberi izin juga meminjamkan perlengkapan milik desa yang
dibutuhkan. Belum lagi ketua RW dan ketua RT yang menjadi konsultan harian
bahkan memberi izin menggunakan teras rumah pribadi mereka.
Dengan adanya dukungan ini, KLG bisa
mengadakan program KLG Roadshow, dimana tim relawan KLG digerakkan memberi
edukasi permainan tradisional, juga ada cooking class makanan
tradisional, mendongeng, giat literasi dan kebudayaan yang khas dari desa
tersebut.
Achmad Irfandi dan tim KLG terus
berinovasi. Ia ingin Kampung Lali Gadget semakin berdampak dan menjadi solusi
masalah anak-anak yang kecanduan gawai, tidak hanya di dusun Bendet namun di
seluruh Kabupaten Sidoajo bahkan di kota lain.
Tim KLG menjalin kerjasama dengan
komunitas, organisasi kepemudaan, dan instansi swasta. Pada November 2018 KLG
menjadi mitra lembaga SD Kreatif Insan Rabbani, berlanjut Maret 2019 KLG
bermitra dengan Asia Wangi BCA dan KLG bergandengan dengan MI Assyafiiyah pada
Maret 2019 juga sebagai mitra lembaga.
Irfandi tak menutup diri dan tetap
membutuhkan saran dari berbagai pihak. Ia pernah mengadakan pertemuan bersama
budayawan Sujiwo Tedjo pada Juli 2018 dan Komnas Perlindungan Anak pada Mei
2019. Semua dilakukan agar kegiatan Kampung Lali Gadget semakin solutif dan berdampak
dengan sharing atau menerima masukan dari ahlinya.
Hingga akhirnya KLG menjadi kawasan
ramah anak yang berbadan hukum bernama Yayasan Kampung Lali Gadget sejak Mei
2020.
![]() |
tim Kampung Lali Gadget. dokumentasi Achmad Irfandi |
Semakin hari, semakin banyak tamu yang
berkunjung ke dusun Bendet tempat KLG berada. Mereka berasal dari perseorangan,
komunitas, atau swasta. Yang dilakukan biasanya mulai mencoba permainan
tradisional, ikut bersama pada kegiatan edukasi, ingin kerjasama, atau sekadar
ingin tahu.
Irfandi memang membolehkan siapapun
berkunjung ke KLG toh tempatnya memang tidak ada pintunya. Jadi siapa
saja bisa masuk dan mengakses buku dan semua permainan yang ada.
Sampai
tahun 2021 ada lebih dari 1.000 anak telah bermain di Kampung Lali Gadget.
Program KLG telah menyentuh banyak anak-anak, baik warga lokal, luar desa, juga
orangtua secara umum sehingga dampaknya terasa oleh siapapun.
KLG
telah melaksanakan kegiatan besar seperti KLG on season. Program KLG ini
adalah program edukasi berskala besar yang telah berjalan dengan berbagai tema
mulai tema dongeng, tema dolanan tradisional, seni budaya, tema satwa dan alam,
tema cita-citaku, tema Pancasila, IPTEK, mainan kedirgantaraan hingga tema
kehidupan desa. Rata-rata pesertanya 200-400 anak-anak.
“Yang
terbanyak mendatangkan 475 anak. Jumlah itu belum termasuk orangtua dan
panitia. Saat itu selain dolanan tradisional, anak-anak juga main gamelan,
membuat layang-layang dan egrang” kenang Irfandi.
Achmad
Irfandi telah bekerja sama dengan hampir 50-60 komunitas di Jawa Timur, mulai
dari berbagai komunitas anak, komunitas anak jalanan, komunitas satwa,
komunitas reptil hingga Pramuka.
![]() |
Proklamasi Bangsa Bermain, dokumentasi penulis |
Dengan
banyaknya masyarakat yang berdatangan ke KLG baik anak-anak maupun para
orangtua, ada beberapa warga sekitar yang bisa berjualan seperti para ibu rumah
tangga. Mereka berjualan makanan kecil dan minuman. Berkat KLG, para ibu-ibu
ini bisa punya pemasukan.
UMKM
juga turut terdampak adanya kegiatan di KLG. Dengan penjualan souvenir untuk
tamu yang datang seperti udeng pacul gowang asli Sidoarjo Jawa Timur. Belum
lagi penjual insidentil yang ikut meraup rezeki saat ada program KLG.
Suatu ketika salah satu pengurus KLG
tiba-tiba didatangi orangtua dengan mimik muka kecewa.
“mas, kok nggak onok kegiatan maneh
nang KLG, aku kadung ngejak tonggo-tonggo mas” (mas, kok
tidak ada kegiatan lagi di KLG, saya terlanjur mengajak tetangga saya?) Irfandi
menirukan Ibu-Ibu yang kecewa.
Pengurus KLG itupun minta maaf karena
tim ada jeda sejenak untuk pembenahan tempat. Ternyata kegiatan KLG selalu
dinanti juga oleh para orangtua.
Selesai kegiatan tema satu, anak-anak
selalu tidak sabar dengan tema berikutnya. Sekarang, saat Irfandi keluar masuk
desa dan bertemu anak-anak pasti saling sapa dan senyum. Mereka bahagia karena
Irfandi selalu mengenalkan permainan baru yang mereka suka.
Bahkan di KLG, anak-anak tidak pernah
dimarahi. Jika ada barang yang rusak, justru anak-anak inisiatif untuk
memperbaiki bersama-sama. Ketika bertemu dalam suasana dialog kecil pun,
anak-anak mengutarakan kerinduannya pada kegiatan di Kampung Lali Gadget.
KLG tidak hanya membuat anak-anak
melupakan gadget, namun banyak orangtua dan kakek nenek yang terbantu dan
terinspirasi pada setiap kegiatan. Tidak segan-segan beberapa diantara mereka
berpartisipasi secara tenaga, waktu bahkan menjadi donatur agar kegiatan KLG
berjalan lancar.
Program KLG mulai multiplier effect.
Menyentuh banyak sasaran, tidak hanya anak-anak lokal desa Bendet, luar desa,
komunitas, orangtua, namun juga para relawan.
KLG tidak hanya mengenalkan permainan
tradisional dan kearifan lokal yang membuat anak-anak melupakan gawainya.
Namun, Irfandi juga telah menggerakkan banyak pemuda Sidoarjo untuk menjadi
relawan di setiap kegiatan KLG. Saat KLG on sesion yang berhasil
mendatangkan 475 anak-anak, Irfandi juga mengkoordinasi 100 volunteer dari
lintas komunitas.
Dampak lain yang juga sangat terasa
adalah pada lokasi KLG. Warga desa yang mulai merasakan manfaatnya, mulai
gotong royong ikut membangun Kampung Lali Gadget. Lahan yang saat ini digunakan
KLG pun juga adalah bentuk dukungan warga sekitar.
Beberapa
orangtua mulai sadar bahwa mengasuh anak tidak hanya memberi fasilitas gadget,
namun ada pilihan lain yang mengasyikkan untuk anak.
Selain itu, branding desa semakin
melejit sejak animo masyarakat pada KLG semakin tinggi. Saat ini Dusun Bendet,
Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo berkembang statusnya
menjadi desa maju. Kunjungan tamu semakin meningkat ke desa.
Irfandi juga berhasil memberi identitas
Jalan Lali Gadget (konfirmasi google) pada jalan dusun. Hal ini
memudahkan pencarian di maps dan jalan ini telah dilihat sebanyak 6.781 kali.
Hingga bulan Agustus 2020 gubuk Kampung Lali Gadget ditampilkan 24.000 kali
pada kolom pencarian google.
![]() |
dokumentasi penulis |
Irfandi terus menginspirasi. Gagasan
luhurnya bisa mempengaruhi pihak lain untuk memodel kegiatan KLG di kecamatan
lain. Hingga akhirnya ada 9 desa dari 3 kecamatan yang terinspirasi dan replikasi
kegiatan serupa seperti Kampung Lali Gadget di desa mereka.
Beberapa celoteh orangtua mulai
diterima Irfandi. Banyak yang mengucapkan terima kasih dan bercerita mengenai
perubahan anaknya setelah bermain bersama di Balai Among.
Misalnya ada anak yang di rumah tidak
mau membuang sampah. Jijik!!! Itulah alasannya. Namun karena sering bermain ke
KLG yang dimana mainnya “jorok” mulai main lumpur dan menangkap ikan, sekarang
anak tersebut mau membuang sampah.
![]() |
dokumentasi penulis |
Selain itu ada seorang anak yang tidak
mau berbicara dengan temannya. Ia kurang bisa bersosialisasi. Hingga
orangtuanya bercerita pada Irfandi bahwa sepulang dari kegiatan KLG ia
menunjukkan sesuatu pada kawannya. Si anak memamerkan bahwa daun-daunan itu
bisa digunakan untuk aneka mainan. Ia presentasi pada kawan lainnya bagaimana
caranya daun dimanfaatkan sebagai media bermain.
“saat itu dia kesini pas penjelajahan,
ketemu daun apa lalu bikin mainan, ketemu daun lain juga buat mainan lagi” ujar
Irfandi sumringah.
Dengan seringnya anak-anak bermain dolanan
tradisional dan memanfaatkan benda sekitar, ternyata berdampak pada cara berpikir mereka.
Ketika
dikepung pandemi covid-19 dan anak-anak tidak sekolah, mereka bingung mengisi
kegiatan selain belajar. Irfandi pun mulai mencari anak-anak yang biasanya berkumpul
di Balai Among. Dinanti satu minggu, tak kunjung muncul juga.
Hingga
ada yang memberi informasi bahwa anak-anak berada di Kidul Kali (sungai sebelah
selatan). Ketika menemukan anak-anak, mata Irfandi terbelalak. Ia tertegun
sejenak dengan apa yang dilihatnya.
![]() |
karya anak-anak KLG masa pandemi. dokumentasi Achmad Irfandi |
Anak-anak
ini membuat gubuk dari bambu. Mereka saling bekerja sama untuk mengumpulkan
terpal bekas, memotong bambu, membelahnya, mengikat dengan paku, menggali tanah
sendiri hingga membentuk fondasi tanpa bantuan orang dewasa sama sekali. Gubuk
tersebut bisa untuk bersantai atau sebagai panggung. Mereka mengerjakan dengan
sungguh-sungguh selama 3 hari.
“oh
ternyata mereka kreatif” ujar Irfandi bangga. Kebiasaan bermain di alam dan
dolanan tradisional telah mengembangkan sikap kerja sama dan imajinasi mereka.
![]() |
gubuk yang dibangun dari persahabatan dan kerjasama. dokumentasi Achmad Irfandi |
Bagi
Irfandi pendidikan itu bukan melulu ada di ruangan bersekat empat sisi dengan
pandangan terbatas, dan penjelasan guru satu arah. Ia meyakini di setiap
kegiatan KLG, banyak hal yang bisa dipelajari anak. Inilah pembelajaran
konteksual, pembelajaran pengamatan, pembelajaran karakter dan nilai-nilai luhur
kearifan lokal. Mereka semua Merdeka dalam Belajar.
Atas segala kegigihan dan perjuangan
Achmad Irfandi mewujudkan pendidikan berbasis budaya untuk mengatasi kecanduan
gadget, ia mendapat penghargaan Pemuda Pelopor Kabupaten Sidoarjo bidang
pendidikan 2017-2018 dan Pemuda Pelopor Jawa Timur Bidang Pendidikan 2019-2020
dari Gubernur Jawa Timur.
Puncaknya, gagasan mulia dan
konsistensi Achmad Irfandi melindungi anak-anak dari kecanduan gadget diganjar penghargaan
Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Award pada bidang pendidikan tahun
2021.
SATU Indonesia Award adalah apresiasi PT. Astra
International Tbk untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok,
yang punya kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagi dengan masyarakat
sekitarnya pada bidang Pendidikan, Kewiraushaan, Kesehatan, Lingkungan, dan
Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.
![]() |
penghargaan SATU Indonesia Award 2021, dokumentasi Kampung Lali Gadget |
Awalnya Irfandi mendapat kabar lolos 60
besar. Hingga ia tak percaya akhirnya masuk 12 besar. Karena masih pandemi, awarding
dilakukan secara online.
“saat itu saya diwawancara secara online
melalui zoom meeting dengan 10 juri dan host” Irfandi mencoba mengingat.
Ada pertanyaan dua juri yang lekat
dalam ingatan Irfandi, yaitu cendikiawan Prof Emil Salim dan seniman Dian
Sastrowardoyo.
“Saudara Irfandi, saudara membikin
KLG sementara sekarang sudah ada aplikasi atau teknologi yang memungkinkan bisa
mengurangi kecanduan gadget. Kan ada yang lebih berkemajuan. Kenapa Saudara
milih permainan tradisional padahal ada yang lebih berkemajuan?” ujar Irfandi
menirukan Prof Emil.
“sesuatu yang berkemajuan itu ternyata
tidak menyentuh hati. Kalau permainan tradisional itu ada interaksi, hubungan
antar teman, ada sentuhan langsung, ada merasakan senang dan bahagia, bisa juga untuk melatih
pendidikan karakter. Kalau secara teknologi nggak sampe segitu.” jawabnya
lantang kala itu.
Mengurangi kecanduan gadget dengan
gadget itu sendiri sudah ada dipikiran Irfandi. Misalnya aplikasi untuk
mengingatkan anak-anak untuk berhenti, atau bahkan pada durasi tertentu bisa
membuat ponsel mati otomatis. Namun, ia tetap percaya kekuatan permainan
tradisional.
![]() |
tangkapan layar zoom dokumentasi Achmad Irfandi |
Pertanyaan dari pemeran, model dan
produser asal Indonesia –Dian Sastrowardoyo- juga tak pernah dilupakannya. Ia
menganggap wawancara itu lebih mendebarkan daripada ujian skripsi atau tesis.
“Mas Irfandi tadi menyebutkan mainan
berdampak. Apa itu maksudnya?” Irfandi mengulang pertanyaan Dian Sastro.
“Mba Dian, mainan berdampak itu semua
mainan yang bisa untuk mengurangi kecanduan gadget. Semua mainan itu bisa. Itu
dibuktikan dengan eksperimen kami. Ada kitiran (baling-baling), ini sudah ada
dampaknya pada anak, yang kecanduan berat terbukti bisa mengurangi
kecanduannya. Itu adalah dampak dari mainan. Kitiran ini menggerakkan
teman-teman se-Sidoarjo membuat gerakan perubahan. Artinya mainan itu juga
berdampak untuk kegiatan pemuda.” Jawab Irfandi meyakinkan pemain Pasir
Berbisik ini.
Pada saat itu, video wawancara bersama Siti
Harnanik juga ditampilkan sebagai salah satu orangtua terdampak karena Chiko –anaknya-
adiksi pada gadget.
DAMPAK SETELAH KEMENANGAN
Tak lama setelah kemenangan Irfandi
pada SATU Indonesia Award 2021 bidang pendidikan, Kampung Lali Gadget
mengadakan Elingpiade. Ibarat olimpiade, bedanya Elingpiade adalah singkatan
dari eling permainane dewe (ingat permainannya sendiri). Mereka semuanya
bermain dan berkompetisi memainkan dolanan tradisional.
Anak-anak yang ikut bergabung ada 120
peserta dari berbagai kota mulai Sidoarjo, Malang, Bojonegoro dan Mojokerto.
Hadiah yang diberikan adalah Alutsisdol (Alat Utama Sistem Dolanan).
Alutsisdol itu plesetan dari Alutsista atau Alat Utama Sistem Senjata Tentara
Nasional Indonesia, yang maknanya mereka sama sama berperang namun KLG melawan
kecanduan gadget.
Menurut Irfandi, wajah saat itu anak-anak
berseri. Apalagi semua anak mendapat hadiah. Irfandi berkeyakinan, hal ini akan
menjadi pengalaman tak terlupakan untuk anak. Salah satunya dari anak pesisir
Sidoarjo dari komunitas Senyum Anak.
Kakak-kakak Senyum Anak tidak bisa
menjemput ke desanya karena akses jalan menuju kesana berlumpur sehingga sepeda
motor juga sulit lewat. Akhirnya anak-anak pesisir ini jalan kaki dari desanya
melewati tambak berlumpur, lalu dijemput kakak dari Senyum Anak di sudut desa
menuju Kampung Lali Gadget. Dengan segala perjuangan itu, anak anak pesisir ini
akhirnya tak henti menyanyikan yel-yel sebagai wujud bahagianya berkompetisi
dan bermain di Elingpiade.
![]() |
teruslah bermain, teruslah bahagia. dokumentasi penulis |
Komunitas Senyum Anak adalah salah satu
komunitas jejaring dari Kampung Lali Gadget. Hingga tahun 2022, Kampung Lali
Gadget telah bekerja sama dengan 72 komunitas.
Mulai Kampung Ramah Anak Wedoro, Karang
Taruna Desa Kraton Krian, Kampung Literasi Teras Barat, Youth Forum Sidoarjo, Save
Street Child Sidoarjo, Senyum Desa Indonesia Sidoarjo, Forum Indonesia Muda
Sidoarjo, Krian Pecinta Satwa, Lentera Alam Balongbendo, Earth Hours Sidoarjo,
Forum Anak Sidoarjo dan banyak lainnya.
Hari ini kegiatan Kampung Lali Gadget
telah dimodel oleh 4 kecamatan di Sidoarjo seperti kecamatan Buduran, kecamatan
Prambon, kecamatan Sukodono dan kecamatan Jabon.
Tidak hanya lingkup Sidoarjo, KLG telah
direplika kegiatannya di 3 kota yakni Pasuruan, Probolinggo dengan nama Negeri
Dolanan Anak Desa dan kota Demak yang bernama Dolaget (Dolanan Lali Gadget).
Setiap saat selalu ada sekolah yang berkunjung
ke Kampung Lali Gadget terkait project sekolah dan penguatan profil pelajaran
Pancasila. Awal Desember 2022 ada 5 kampus dan 15 sekolah yang telah belajar di
Kampung Lali Gadget.
“pada Oktober sebanyak 578 anak dan
November 688 anak main di KLG” kata Irfandi. Hingga hari ini, lebih dari 5.000 anak
telah bermain dan bergembira di Kampung Lali Gadget.
![]() |
saya bersama Achmad Irfandi |
Bagaimana anak-anak yang selancar
digital di warkop? Apakah berkurang?
“Saya
tidak berani bilang berkurang. Tapi setidaknya anak anak warkop ada pilihan
baru. Masih ada yang di warkop, saya tidak menampik, saya nggak memarahi, ya
itu bagian kemajuan zaman, dan fenomena sosial. Tugas kita menjadi penawar
baru. Membuat pilihan baru. Dengan menambahkan aktivitas lain sampe anak
nggak kepikiran gadget.” ujar Irfandi.
PENUTUP
Chiko yang dulu kecanduan gadget, kini bisa
senyum dan ingin dekat dengan Ibunya. Atas perjuangan mulia mendirikan Kampung
Lali Gadget, Achmad Irfandi telah melindungi Chiko dan anak-anak lainnya dari candu
selancar digital.
Bersama pemuda Sidoarjo dan warga lokal,
sang inisiator dari Bendet bangkit bersama menyelamatkan generasi penerus dari
ancaman penyakit mental, gangguan perilaku, cyberbullying dan paparan
pornografi karena #KitaSATUIndonesia mengimbangi gawai.
Hari ini, Kampung Lali Gadget tidak
hanya hanya memainkan kembali dolanan tradisional warisan nenek moyang. Namun
menjelma menjadi embrio pusat edukasi budaya bagi masyarakat.
![]() |
saya memainkan kitiran (baling-baling) ala Kampung Lali Gadget |
Langit Bendet mulai gelap. Suara adzan
mahgrib bersahut-sahutan. Saya pamit dan Irfandi memberikan 5 buah kitiran pada
saya.
“untuk anaknya, ya mbak. Anaknya mbak
Septi pasti suka memainkannya” ajak Irfandi pada saya sebelum mengendarai
sepeda motor membelah jalanan desa yang makin pekat.
Irfandi mengajak semua orangtua ikut Bangkit
Bersama Untuk Indonesia. Dari Dusun Bendet saya makin optimis menyongsong
Indonesia Emas dengan generasi yang tidak hanya berdaya saing, namun juga
unggul karena berbudi luhur. Sehat fisik dan mental pada era digital.
Referensi :
Anak, Orangtua, dan Jeratan Gawai - Harian Kompas, Minggu 21 Maret 2021 hal 15
Mas AIrfandi luar biasa!
BalasHapusAku udah niat banget mba, kalo nanti aku ke Surabaya, bakal mampir ke kampung ini dan nagjakin anakku kesana utk main2 👍. Kereen sih idenya. Tapi yg paling penting, dampak yg dihasilkan.
BalasHapusWalopun sebenernya anakkubga kecanduan gadget juga Krn aku Batasin mereka, tapi permainan seperti ini jujurnya aku juga udh ga paham. Makanya kalo mereka bisa dpt banyak pengalaman dari bermain di sana, aku ga ragu utk ngajakin anak2