Maggot BSF Sebagai Alternatif Mengolah Sampah Makanan

 

Masih terngiang ucapan Ibu kala saya masih berseragam putih dan merah. “habiskan makanannya, jangan ada sisa, nanti ayamnya mati” atau lain waktu mengatakan “kasihan nanti nasinya nangis”.

 

Dulu ayam adalah peliharaan yang berharga karena harganya mahal. Ibu saya juga mengatakan, nasi adalah berkah dari Tuhan, sehingga jika dibuang nasinya menangis. Pesan ini penuh makna, dan selalu saya ingat untuk menghabiskan makanan sehingga tidak terbuang di tempat sampah.





 

Beberapa waktu lalu, saya membaca Laporan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dari harian Kompas 4 Maret 2021, menyebutkan ada 17% atau 1,03 miliar ton makanan di seluruh dunia setiap tahun terbuang. Mayoritas limbah makanan itu, dari warung, restoran, kafe, dan sejenisnya 26%, dari ritel 13% dan 61% berasal dari rumah tangga.

 

Sementara, Indonesia adalah negara berkembang sebagai penghasil sampah makanan nomor dua di dunia dengan estimasi sebesar 300 kilogram per orang per tahun sehingga mengalahkan Amerika Serikat (The Economist Intelligence Unit).

 

Mungkin kita berpikir bahwa semua sampah termasuk sampah sisa makanan mudah lenyap seketika dari pandangan karena ada petugas sampah. Padahal sampah makanan yang kita hasilkan tidak kemana-mana. Ia tetap ada. Hanya berpindah tempat yakni menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sementara di sisi lain, ketika masyarakat membuang sampah makanan, masih banyak orang lain yang kelaparan.

 

Apa itu sampah makanan?

Ada dua pengertian yang umum digunakan dalam artikel ilmiah mengenai sampah makanan yakni food loss dan food waste. Pada praktiknya, penggunaan kedua istilah ini sering tertukar, padahal masing-masing mempunyai definisi yang berbeda.

 



Oleh karena itu, yang dapat direduksi dengan merekayasa rantai pasok pangan adalah food waste yang selanjutnya dalam tulisan ini secara konsisten menyebut sebagai sampah makanan.

 

Dampak Sampah Makanan Pada Lingkungan

Sampah makanan yang dibuang, ternyata berkontribusi pada krisis lingkungan khususnya perubahan iklim. Jika sampah menumpuk pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA), akan membusuk dan menghasilkan gas metan. Gas metan adalah salah satu gas rumah kaca yang berdampak pada pemanasan global.

 

Tumpukan sampah dan gas metan pada TPA juga memicu terjadinya ledakan sampah karena metan mudah terbakar. Seperti pernah terjadi TPA di Leuwigajah Bandung yang meledak pada 2005 silam. Dua desa luluh lantak tertimbun sampah dan memakan korban sebanyak 143 orang meninggal dunia.

 

Riset Barilla menyebutkan, mengurangi sampah makanan di Amerika 20% akan mengurangi 18 juta ton gas rumah kaca setiap tahun.

 

Selain itu, air hujan yang merembes pada sampah makanan akan menghasilkan air lindi. Air lindi sangat berbahaya bagi manusia karena mengandung logam berat, tembaga dan besi.

 

Dampak lain dari air lindi yang meresap ke tanah juga mencemari air minum. Dan jika air lindi mengalir ke sungai, akan merusak ekosistem sungai. Pada akhirnya sampah makanan benar-benar menyumbangkan gangguan lingkungan yang saling terkait.

 

Sampah makanan yang terbuang berarti juga hilangnya sumberdaya dan energi. Karena dalam satu produksi makanan, ada banyak proses yang tidak kita sadari.

 

Nenek saya adalah seorang petani desa di Kabupaten Trenggalek. Untuk menghasilkan beras berkualitas, beliau membutuhkan sumberdaya pertanian, seperti lahan, air dan pupuk. Proses tersebut memerlukan traktor untuk mempercepat proses pembajakan tanah.

 

Sementara traktor perlu bahan bakar, termasuk membawanya ke pasar setelah panen. Bahan bakar itu menggunakan energi.

 

Menurut Project Executive Waste4Change, Adhitya Prayoga pada Kumparan menyebutkan, jika kita membuang 1 kg daging, berarti sama saja kita membuang 50.000 liter air yang digunakan saat memproduksi daging tersebut. Bayangkan jika setiap hari, semua orang melakukan hal serupa -.-

 

Artinya, dari sampah makanan yang terbuang juga hilang pula sumberdaya pertanian berupa air, lahan, bibit, benih dan pemborosan energi selama proses pembuatan.

 

Mulai dari Rumah

Data PBB menyebutkan bahwa 61% sampah makanan berasal dari rumah tangga. Rumah tangga merupakan rantai akhir pasokan makanan. Sehingga kita bisa mengurangi sampah makanan dari rumah.

 

Cara sederhana yang bisa dilakukan untuk memulai gaya hidup minim sampah makanan adalah mempersiapkan makanan dengan food preparation. Setelah makanan matang, mengambil makanan secukupnya dan menghabiskan.





Bagaimana jika terpaksa sisa? Berikan pada hewan peliharaan. Kebetulan saya memelihara anak ayam di belakang rumah. Sisa hasil dapur akan diberikan pada ayam-ayam itu.

 

Jika ada makanan sisa seperti pinggiran roti, dimasak kembali menjadi puding. Tulang ayam atau kepala udang digunakan sebagai kaldu agar makanan berkuah lebih beraroma. Sisa nasi diolah kembali menjadi nasi goreng, dan lainnya.

 

Pada praktiknya tidak semua sampah makanan dapat diberikan pada hewan peliharaan dan diolah untuk dimasak kembali. Adakalanya sampah seperti sayuran dan kulit buah butuh diuraikan menggunakan tong aerob. Tantangan untuk menjadikannya kompos butuh waktu lama hingga berbulan-bulan.

 

Hingga akhirnya saya belajar pada remaja Surabaya yang memiliki project mengolah sampah makanan dengan bantuan larva lalat tentara hitam/Black Soldier Fly atau biasanya disebut maggot BSF. Maggot BSF merupakan siklus pertama (larva) Black Soldier Fly yang perlahan bermetamorfosa menjadi lalat dewasa.


Belajar Mengolah Sampah Makanan dengan Maggot BSF.
sumber : https://www.instagram.com/areya_kesyandria/


Sejak akhir Desember 2020 hingga sekarang, remaja bernama Areya ini telah berhasil mengolah 5 ton sampah makanan.

 

Hasil penguraian sampah makanan oleh maggot BSF akan menghasilkan kasgot (bekas maggot) yang ternyata merupakan pupuk organik berkualitas tinggi.

 

Maggot BSF Sebagai Alternatif Mengolah Sampah Makanan

Lalat tentara hitam atau Black Soldier Fly (Hermetia Illucens) termasuk jenis serangga yang dapat ditemui di seluruh dunia yang wilayahnya beriklim tropis dan substropis. Lalat jenis BSF mempunyai ukuran lebih besar dari lalat lainnya. Pada siklus pertama, ia menjadi maggot.


Maggot BSF. Dokumentasi penulis


Maggot BSF mampu mengurai sampah organik dengan sangat cepat. Tidak hanya itu, maggot BSF dapat menekan pertumbuhan bakteri dan mengurangi bau tidak sedap pada sampah makanan dengan baik (penelitian Stefan Diener).

 

Maggot BSF adalah dekomposer yang bisa diandalkan. Departemen Pengembangan Sanitasi Air dan Limbah Padat, menyebutkan maggot dapat mengkonversi sampah serta mengurangi massa sampah 52%-56% sehingga maggot dapat dijadikan solusi untuk mengurangi sampah organik khususnya sampah makanan.

 



Selama makan limbah organik, maggot BSF akan menghancurkan (mengurai) media pakan dari sampah makanan, menyerap nutrisinya, dan mengubahnya menjadi produk yang bermanfaat yakni pupuk organik bekas maggot (kasgot)

 

Alasan Menggunakan Maggot BSF?

Tidak membawa penyakit

Orang awam menganggap semua belatung sama saja. Menjijikkan, menimbulkan aroma tidak sedap, dan menjadi pembawa sumber penyakit. Anggapan ini sebenarnya hanya berlaku untuk belatung lalat hijau atau lalat hitam. Dalam fase kehidupannya, lalat BSF sama sekali tidak menjadi sumber penyakit karena masa hidupnya hanya untuk kawin dan bereproduksi.

 

Menghasilkan pupuk berkualitas tinggi

Pemanfaatan maggot BSF sangat ramah lingkungan. Maggot BSF yang menetas dari telur lalat BSF akan merombak, mengekstraksi, dan mengonversi nutrisi yang masih tersimpan pada sampah makanan. Proses biokonversi sampah makanan yang dibantu oleh maggot BSF akan menghasilkan nutrisi dalam bentuk baru, yakni berupa pupuk organik berkualitas tinggi (kasgot).

 

Waktu penguraian lebih cepat

Dari 150 gram telur lalat BSF, bisa dihasilkan sekitar 750 kg maggot BSF (dalam pemeliharaan yang optimal) mampu mengurai sekitar 2 ton limbah organik, dalam kurun waktu 2-3 minggu.

 

Proses penguraian limbah makanan memanfaatkan maggot BSF jauh lebih cepat dibandingkan dengan proses pengomposan secara konvensional (fermentasi dan pengadukan rutin), yang membutuhkan waktu sekitar tiga bulan.


Belajar Mengolah Sampah Makanan dengan Maggot BSF


Dari bahan limbah organik sebanyak 2 ton tersebut, nantinya akan menghasilkan maggot BSF berkisar 220-250 kg dan pupuk organik (kasgot) berkisar 150-200 kg. Hal ini bisa dimanfaatkan kembali pada bidang pertanian.

 

Dengan manfaat maggot BSF diatas, jika dalam satu rumah tangga mempunyai 1 wadah komposter berisi maggot BSF, harapannya dapat menurunkan penggunaan lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Karena pada akhirnya sampah makanan tidak diangkut ke tempat sampah.

 

Bagaimana Caranya?

Pengoperasian pemeliharaan maggot BSF tidak membutuhkan teknologi canggih, bahkan bisa dilakukan pada tataran rumah tangga. Ingat selalu bahwa rumah tangga adalah rantai terakhir pasokan makanan. Setidaknya kita butuh 3 bahan yakni maggot BSF, wadah komposter dan sampah makanannya. Hanya itu saja !!!

 

Untuk memperoleh maggot, bisa melalui pembudidaya maggot BSF yang tersedia di berbagai daerah. Atau jika berlokasi di Surabaya, bisa datang ke green house Areya di Jalan Pandegiling untuk mendapatkannya.

 

Sekumpulan maggot diletakkan pada wadah. Wadah ini bisa menggunakan nampan plastik yang memiliki tinggi sekitar 10-15 cm.


wadah berisi maggot BSF untuk menaruh sampah makanan. Dokumentasi penulis

 

Agar media maggot tidak becek dan bau, Areya menggunakan perhitungan 50% nasi, 25% buah dan 25% sayur untuk pakan maggot BSF-nya.

 

Wadah komposter yang berisi 10.000 maggot BSF mampu menghabiskan sampah makanan dalam waktu 24 jam saja.

 

Mengenal Bandung Food SmartCity

Pemerintah Bandung pun juga menggunakan maggot dalam pengelolaan sampah organik. Wali Kota Bandung, Bapak Oded N. Danial pada Januari 2020 menuturkan, penggunaan maggot adalah bagian dari program pengelolaan sampah di Kota Bandung yang menggunakan konsep Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan).

 

Bandung adalah kota yang mendukung konsumsi dan produksi pangan yang berkelanjutan. Sehingga Bandung sudah mendeklarasikan sebagai kota cerdas pangan yang diwujudkan dengan menjadi anggota Milan Urban Food Policy Pact yang pertama di Asia Tenggara.




Kita juga bisa ikut berkontribusi mengurangi sampah makanan dengan bergabung bersama program Bandung Food SmartCity. Program ini adalah kolaborasi antara Rikolto veco, Fisip Unpar, dan Pemerintah Kota Bandung untuk mewujudkan Bandung menjadi kota cerdas pangan guna mengurangi sampah makanan melalui banyak program dan kegiatan yang dilakukan. Salah satunya adalah food sharing.

 

Penutup

There’s no planet B. Tak ada planet lagi selain bumi yang bisa kita tinggali. Sehingga, siapa lagi yang menjaga lingkungan di bumi jika bukan kita?

 

Yuk memulai gaya hidup minim sampah makanan dan berkontribusi mengolah sampah makanan. Dengan cara food preparation, mengkonsumsi makanan lebih bijak dengan menghabiskan makanan, memberikan kepada hewan peliharaan, dan mengolahnya kembali menjadi bahan makanan baru.

 

Juga dikomposkan menggunakan maggot BSF yang dapat menjadi alternatif solusi mengolah sampah makanan tataran rumah tangga bahkan perkotaan.





 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5 komentar

  1. Wah, aku juga udah jalan BSF untuk food recycle. Jadi pengen up artikel tentang ini juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. selamat berpetualang dengan sampah makanan :)) makasih sudah mampir kesini :)

      Hapus
  2. Mbaa, Jadi tau ttg air Lindi segala aku :o. Sereem juga yaaa apalagi kalo air Lindi itu masuk ke tanah dan mencemari air minum ATO sungai :(. Selama ini aku juga mengira sampah makanan bakal cepet terurai. Ternyata ada lagi efek2 sampingnya kayak air Lindi dan gas metan :(.

    Thanks for sharing mba.

    Selama ini aku berusaha juga utk tidak boros makananm dihabiskan, ambil secukupnya, masak seperlunya. Krn aku juga dibiasain dr kecil utk ga buang2 makanan. Nyesek kalo ngeliat banyak makanan bersisa :(. Kebayang aja Ama orang2 ga mampu yg mau makan aja susah . Makanya kalo anakku nyisain makanan, aku marah biasanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak, sampah makanan ternyata dampaknya sampe panjang :( akupun juga berusaha menghabiskan makanan apalagi yang memang ambil sendiri. Kalo dibuang itu berasa proses dari bahan mentah sampe proses masaknya berasa percuma :( sia sia gt hiks

      Hapus
  3. sampah rumah tangga memang semakin tinggi dan harus diberdayakan dengan baik dan bijak agar bisa dimanfaatkan dengan baik dan menghasilkan

    BalasHapus